Monday, February 9, 2015

Yang Saya Suka dari Awul-awul


Saya sempat sedikit sedih ketika membaca berita koran kemarin. Pemerintah bakal melarang impor pakaian bekas. Alasannya, pakaian-pakaian tersebut berpotensi menyebabkan penyakit kulit hingga kutu kelamin. Sebagai seseorang yang beberapa kali menjadi pembeli pakaian bekas, alhamdulillah saya belum pernah terkena gatal-gatal atau bahkan panu gara-gara memakai pakaian bekas. Tentu saja, pakaian tersebut harus dicuci dulu, kalau perlu direndam air panas untuk mematikan kuman.

Karena itu, saya agak menyayangkan kebijakan pemerintah tersebut. Menjamurnya pedagang pakaian bekas impor menandakan banyaknya permintaan bukan? Menurut beberapa konsumen yang diwawancarai merdeka.com, harga yang jauh lebih murah menjadi alasan mereka membeli pakaian bekas, sehingga sisa uangnya masih bisa digunakan untuk keperluan lain. Hmmm..masuk akal sih, tetapi mungkin pengalaman saya agak sedikit berbeda.

Dulu ketika masih mahasiswa, saya dan beberapa teman suka berburu pakaian awul-awul. Istilah tersebut digunakan khususnya untuk pakaian bekas yang ditaruh di boks, sehingga kita harus mengaduk-aduknya untuk mencari pakaian yang cocok, karena itu dinamakan awul-awul (dari kata awut-awutan alias berantakan kali, ya?). Walaupun sama-sama pakaian bekas, awul-awul tidak sama dengan toko bertuliskan “pakaian impor”.

Pertama, awul-awul biasanya dijual musiman sementara toko pakaian impor buka terus. Di Jogja, awul-awul bisa ditemui di alun-alun utara saat perayaan Sekaten. Kedua, pakaian yang dijual di awul-awul belum tentu dari luar negeri. Ketiga, (ini yang paling penting) saya lebih banyak menemukan pakaian “keren” di awul-awul, sementara toko pakaian impor lebih banyak menjual jaket, celana jins, serta pakaian yang berukuran besar dan warnanya sudah kusam.

Percaya atau tidak, pakaian yang saya beli tahun 2007 di awul-awul masih saya pakai hingga sekarang lho! (dan tidak pakai gatal-gatal) Saat itu harganya Rp 15.000, lebih mahal dari standar awul-awul yang Rp 5000an, karena modelnya bagus. Saya mendapatkannya di Jalan Wirobrajan, tetapi sekarang toko tersebut sudah tidak ada.

Sekarang, saya tinggal di pinggiran Bogor dimana ada lebih dari satu kios pakaian bekas impor di komplek perumahan saya. Ada satu yang pernah saya datangi karena dari luar baju-bajunya terlihat lebih “cewek” dan berada di salah satu ruko sehingga cukup bersih. Baju batik kuning berkancing batok kelapa di gambar di atas, adalah salah satu hasil buruan saya disini, hanya seharga Rp 15.000. Saya tidak tahu apakah ini karena daya beli saya menurun, atau baju dan rok batik lucu di luar sana yang harganya ratusan ribu rupiah.

Setiap kali berhasil mendapatkan baju bagus dan murah, saya kok merasa berhasil sekali ya, haha.. Beda dengan ketika berhasil membeli pakaian bagus tapi harganya lumayan, saya jadi takut.. Takut kalau bajunya luntur lah, kecoret pulpen, atau kecantol paku. Kalau yang bekas kan, tidak semenyesal itu kalau nanti terkena noda :p

Selain itu, ada beberapa alasan tambahan mengapa baju bekas pantas dilirik. Lihat post saya berikutnya, ya!

2 comments:

  1. Iya mba. Seharusnya kalau beli yang gini ya dicuci dl spt yang mba lakukan. Eman2 ya mba. Dah byr mahal eh rusak atau ternoda

    ReplyDelete
  2. iya mas, semua tetep aman dipake selama perawatannya bener..

    ReplyDelete