Wednesday, November 21, 2018

Minim Sampah Itu Mungkin! (Catatan Zero Waste Part 2)

Baca post sebelumnya di sini


Ia pun akhirnya memutuskan untuk memulai mencoba mengurangi sisa konsumsinya dan mendokumentasikannya dalam akun instagramnya pada Mei 2018. Dari yang awalnya hanya 20 hashtag berkembang menjadi 5600 hashtag. Dini pun menantang dirinya untuk “membimbing” 30 orang dalam grup Whatsapp selama 30 hari untuk going zerowaste. Ia membuat sendiri kurikulumnya. Sekarang, grup ini sudah masuk batch 3 (atau 4, saya lupa) dan daftar panjang waiting list. 

Pengalamannya menuju hidup minim sampah memberinya pelajaran bahwa:

Pertama, kita harus mulai dari why: miliki alasan kuat mengapa kita harus menjalani hidup yang bagi masyarakat umum “lebih repot” ini.

Kedua, setiap orang memiliki prosesnya sendiri. So, jangan minder kalau si A sudah bisa bikin kompos sementara kita baru bisa mengurangi plastik. Apalagi Indonesia masih memiliki banyak budaya yang potensial menghasilkan sampah, seperti arisan, rapat, dan ater-ater (hantaran).

Ketiga, konsisten. Cari yang paling sedikiti mudharatnya. Jangan perfeksionis.

Keempat, kita mesti berjejaring. Karena itulah dalam event tersebut, panitia mengundang sejumlah pihak yang memiliki concern yang sama, seperti LSM Lestari, Bproject yang menerima sachet bekas dan mengubahnya menjadi produk kerajinan, Jelantah4Change, Pusat Inovasi Agro Teknologi UGM, Sarah Diorita –founder Pasar Mustokoweni, yang menjual produk berkonsep green living dan zerowaste, serta Milas yang memiliki program Kampung Hijau.


Alhamdulillah, saya berkesempatan untuk bertanya langsung tentang kegundahan saya mengenai masyarakat yang masih memiliki kultur membakar sampah. Ketika pelakunya adalah para tetangga, sementara saya yang uhuk-uhuk dan jemuran bau asap, what to do? Since, “ini desa bung!” I didn’t have the gut to speak up.  

Saran Mbak Dini menurut saya cukup solutif, yaitu mendekati mereka sesuai concern mereka: bisa jadi lewat alasan kesehatan (misal mengganggu sistem pernapasan hingga kanker), ekonomi (sampah anorganik bisa “dijual” ke bank sampah), hukum (ada undang-undang yang melarang pembakaran sampah), or else. Kalau mentok cara satu, pakai cara lain. Saya ingat sekali kalimat penutup jawaban beliau, “ Jalan kita dari satu orang ke orang lain sudah dicatat sebagai amal oleh Alloh.”

So, no worries kalau belum bisa meyakinkan orang lain, yang penting kita sendiri konsisten. Lama kelamaan orang akan melihat hasilnya dan tergerak hatinya untuk melakukan hal yang sama.

Sebagai tambahan informasi, event Menuju Hidup Minim Sampah tersebut benar-benar menerapkan konsep minim sampah dalam pelaksanaannya.

Acara diadakan di pendopo sehingga tidak membutuhkan pendingin ruangan.


Peserta diminta membawa wadah minum sendiri, sementara snack box diganti dengan besek berisi jajan pasar beralas daun pisang. 



Goodie bag berupa paperbag berisi lerak dan kayumanis untuk membuat cairan pembersih dan mouthwash di rumah. 


Peserta bazaar diseleksi, hanya mereka yang produknya menganut konsep zerowaste. Di foto, ada booth makanan organik dan sedotan stainless.

Saat "Nyampah" adalah Biasa (Catatan Zero Waste Part 1)


Tidak perlu campur tangan Tuhan untuk membuat bumi ini “selesai”.

Salah satu kalimat dalam opening speech acara Menuju Hidup Minim Sampah bulan Oktober lalu tersebut sangat menohok. Bagaimana tidak, sampah yang dihasilkan oleh manusia sudah mulai merugikan lingkungan. Banjir tahunan hanya sebagian kecil dampak langsung kebiasaan membuang sampah secara tidak bertanggung jawab, TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang longsor dan meledak juga menjadi tanda bahwa menimbun sampah di suatu lokasi bukanlah solusi. Yang paling menyedihkan (dan baru saya ketahui beberapa bulan belakangan) bahwa sampah manusia sudah mencemari lautan, melukai hewan laut, dan masuk ke dalam rantai makanan kita.

Fakta di atas banyak saya dapatkan dari akun instagram bertagar #zerowaste yang kemudian menuntun saya untuk mengikuti akun @dkwardhani, seorang penulis buku anak yang menerapkan gaya hidup zero waste atau minim sampah. Dari akun DK Wardhani itulah saya mengikuti lebih banyak akun serupa dan mulai mencoba untuk mengurangi jumlah sampah yang saya hasilkan. Karena itu, I was beyond happy sewaktu tahu beliau ke Jogja untuk sharing session di Saorsa Kopi.
Saya sudah membaca bukunya yang berjudul Menuju Hidup Minim Sampah, termasuk mengikuti grup Telegram berjudul sama sehingga sempat mendapatkan banyak informasi dan tips untuk ber- zerowaste. Walaupun begitu, tetap banyak informasi baru yang saya dapat dari event tersebut, termasuk kesempatan untuk bertanya langsung.


So, here are important facts I got!

Yang berilmu belum tentu beramal. Dalem ya, kalimatnya. Tapi Dini –begitu ia biasa dipanggil- menyimpulkan hal tersebut dari pengalamannya saat mengajar tentang Manajemen Lingkungan. Hampir setiap hari mahasiswa dan dosen belajar tentang lingkungan tetapi masih banyak yang tidak membuang sampah pada tempatnya, mencampur sampah meskipun sudah disediakan tong terpisah, dan menghasilkan sampah yang banyak setelah acara-acara kampus.  

Ia sadar bahwa masalah sampah ada di hilir, di rumah tangga, sementara teori yang diajarkan di kampus lebih banyak penanganan di hilir. Dini pernah mengusulkan pada rekan-rekan dosen untuk do something mengenai sampah, tetapi yang ia dapatkan adalah jawaban, “Penyuluhan bukan tugas kita. Kita mengurusi bagian teknis.” Para dosen berteori, sampah harus dikurangi. Titik. Sampai di situ saja.

Dari situ, ia melihat bahwa akar masalahnya adalah saat kita membuang sampah pada tempatnya, urusan kita selesai. Padahal sebenarnya, kita hanya memindahkan sampah dari tong sampah ke TPA, sungai,  or oceans (who knows). Sampah tersebut tetap di ada di bumi dan kita merupakan satu ekosistem besar. Sebagai negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia, tentu kita tahu bahwa kebiasaan kita dalam memperlakukan sampah akan mempengaruhi belahan bumi lainnya. Buktinya, Pulau Menjangan yang tak berpenghuni saja penuh sampah.

Pemerintah, apa kabarnya? Kata Dini, urusan sampah bisa baru selesai tahun 2085 kalau mengandalkan pemerintah. There are laws, but waste hasn’t been their priority. Pemerintah menyediakan TPA, hanya saja sistemnya berupa open dumping. Artinya, sampah ditumpuk dan dirapikan saja oleh alat berat. Seharusnya, TPA berbentuk sanitary landfill dimana tumpukan sampah ditutup dengan tanah dulu sebelum ditumpuk oleh sampah yang baru. Sayangnya, sanitary landfill membutuhkan biaya penanganan 20-30 ribu rupiah per harinya, jauh di atas open dumping yang hanya 2000 rupiah. Dengan “setoran” sampah ke TPA Bantar Gebang sebanyak 7000 ton per hari atau ke TPA Malang sebanyak 950 ribu ton per hari, bisa dibayangkan ya gunung sampahnya akan setinggi apa nanti. Karena itu, menurut Dini, yang harus disadarkan adalah masyarakatnya.

Mungkin kita sebel sama orang yang buang sampah sembarangan. Tapi, kita juga sebenarnya sama 
saja dengan mereka. Hanya karena kita merasa sudah membayar tukang sampah, maka kita merasa lebih baik dari mereka. Kita tidak diajari untuk men-treat plastik sejak kecil. Kepraktisan begitu memanjakan kita.


Lalu, apa yang kemudian Dini lakukan? Cek post berikutnya ya!

Saturday, November 3, 2018

Inilah Alasan Mengapa Rumah Tak Kunjung Rapi



Pernahkah kita bertanya dalam hati, mengapa rumah orang tua kita (dan generasi mereka) rata-rata penuh dengan barang? I thought it was only my parents’ tapi ternyata barang mertua saya juga banyak, bahkan sampai berdebu tebal karena jarang digunakan (dan entah masih dipakai atau tidak). Rumah orang tua sahabat saya pun demikian: penuh barang. Will I be like them one day?

Saya jelas berharap tidak memiliki rumah penuh barang seperti generasi mereka. Pengennya, rumah rapi dengan barang pun tertata rapi, sehingga anak-anak bebas bermain tanpa kita kuatir mereka bakal senggol sana berantakin sini dan beresinnya butuh tujuh hari. Tapi, seiring dengan bertambahnya anggota keluarga, bertambah pula rezeki saya dan suami, kok ya keinginan untuk membeli itu bertambah juga, haha… Setiap melihat produk IKEA bawaannya pingin, kalau ke mal wajib mampir Informa, namun alhamdulillahnya saya cukup kuat untuk tidak lapar mata, alias liat aja cukup. Memang karena belum ada budgetnya sih #jujur, tapi kalau dipikir lagi, rumah kami kecil jadi lebih bijak untuk ngerem beli perabot besar (tapi buku nambah terus, gimana sihhh).

Karena itu, saya tertarik baca buku Marie Kondo tentang seni merapikan barang. Tamat baca buku 
itu, sudut pandang saya tentang menata barang pun berubah. Namun, penyakit “belum sempat” membuat penataan rumah saya masih belum Konmari enough. Menyortir dan membuang barang tidak terpakai sudah saya lakukan, namun saya masih merasa memiliki banyak barang. Terlebih, proses pindah rumah menyisakan kekecewaan bahwa saya masih belum bisa let go pakaian dan barang-barang yang jarang saya pakai. Akhirnya, saya simpan kembali.

Sabtu lalu, saya mengikuti Seminar Gemar Rapi dengan Aang Hudaya sebagai pembicara. Ia adalah co-founder Komunitas Gemar Rapi, sejenis Konmari-inspired lah ya. Saya senang sekali akhirnya ada seminar seperti ini di Jogja setelah sekian lama hanya cuma bisa mupeng  liat event serupa diadakan di kota lain.

Meskipun sudah membaca bukunya dan melihat videonya, dijelaskan secara langsung ternyata 
rasanya beda. Dari materi kemarin, saya mendapat beberapa fakta penting:

Serapi apapun rumah kita, jika kita masih harus MENCARI ketika membutuhkan barang, berarti belum rapi. Indikator rapi menurutnya adalah ketika kita perlu barang dan kita tinggal ambil saja. Kenyataan sehari-hari yang kita alami adalah, kita memiliki terlalu banyak penyimpanan barang “ekstra” seperti di balik pintu, di atas lemari, di bawah meja, di bawah dipan, dll.

Mengapa kita harus berbenah? Selain menghilangkan clutter alias tempat “ekstra” yang bikin kita tidak nyaman di atas, berbenah juga memastikan prinsip health and safety terpenuhi (misal menyimpan daging terpisah dengan es batu di freezer, kabel tidak terurai). Lalu, berbenah bisa membuat kita lebih bahagia (tidy house tidy mind) dan yang paling penting adalah berbenah merupakan wujud kita menyayangi bumi kita, lho.

For Muslims, ternyata ada hadits dan ayat pendukung untuk kita berbenah. HR Bukhari no 1407 mengatakan bahwa sesungguhnya Alloh tidak suka kita menyia-nyiakan harta (idho’atul maal). Memiliki banyak barang tak terpakai merupakan salah satunya. Kemudian, setiap benda itu ada hisabnya. Di akhirat nanti, kita akan ditanya tentang usia kita, ilmu kita, dan harta kita –dari mana saja ia diperoleh dan dibelanjakan untuk apa (HR Tirmidzi no 2147). Yang paling serem, Al Imam Abu Ja’far bin Jarir mengatakan, barang timbunan akan menjadi binatang buas yang melahap kita. Nah lo! Jadi, jangan sepelekan peniti or jepit ya, karena kita akan dimintai pertanggungjawaban tentang benda remeh ini, bukan cuma emas yang dihisab!

Trus, apa penyebab rumah berantakan? Undebatable, jumlah barang terlalu banyak sehingga banyak benda tak berumah. Akhirnya dijejelin kesana diselipin kemari. Boleh aja kita beralasan rumahnya kecil, tapi penyebab lain rumah berantakan adalah kebiasaan dan pola asuh. Satu lagi, suka menunda. Kalau saya nih, nunda ngelipet jemuran kering. Ah, nanti mau saya setrika dulu…dan akhirnya numpuk karena nggak distrika. Rumah boleh rapi (tidak harus selalu ya, we’re humans) dan boleh “hidup” –istilah Pak Aang untuk mengganti kata tidak rapi. Karena itu, ajak anak dan anggota keluarga untuk beberes juga. Jangan cuma ibu aja..

Aku sudah berbenah, kenapa masih juga enggak rapi? Karena kebanyakan orang ketika berbenah tidak melakukan proses mengurangi barang, namun hanya memindahkan barang ke tempat lain. Selain itu, kita tidak mengubah mindset dan lifestyle: masih pengen ini itu, beli barang karena ingin, membeli karena social pressure, dsb.

So, jika ingin berbenah yang efektif, ingat prinsip ini ya!
1.       Komitmen pada diri sendiri
Kalau tidak ada komitmen, rasa jenuh dan malas bisa membuat kita kembali berantakan. Jangan lupa, ini adalah teamwork jadi libatkan anggota keluarga yang lain. Jangan  sampai kita mengupah pembantu hanya untuk membayar kemalasan kita.
2.       Mimpikan gaya hidup ideal
Masih banyak orang sibuk mengejar harta karena mereka tidak menentukan batas atasnya. Akihrnya, makin banyak pendapatan makin banyak pula kebutuhan karena naiknya kelas sosial. Kalau kita sudah menentukan gaya hidup kita mau seperti apa, insya Alloh kita bisa istiqomah sebanyak apapun harta kita. Kita pun tak akan lelah mengejar harta.
3.       Awali dengan mengurangi barang
Jika ingin mengurangi barang dengan metode KonMari, coba googling sendiri or baca bukunya ya. Intinya adalah mengikhlaskan barang yang sudah tidak kita gunakan lagi dan memberikannya pada orang yang lebih membutuhkannya.

Sebagai penutup, Pak Aang mengatakan bahwa Alloh memberikan rizki sesuai kebutuhan kita, tetapi Alloh tidak pernah memberikan rizki sesuai keinginan kita….karena keinginan kita tidak ada batasnya.  

P.S: Event ini adalah event zero waste, jadi peserta diminta membawa tumbler sendiri. Snack disajikan dalam pincuk daun pisang. Super cool!