Sebelum memutuskan untuk kembali bekerja, saya berpikir tentang siapa yang akan mengasuh anak saya. Ketika akhirnya saya menemukan daycare yang sesuai kriteria, saya harus berpikir lagi tentang bagaimana saya harus mengantar jemput anak saya. Alhamdulillah ada kendaraan pribadi sehingga kami tidak perlu naik kendaraan umum. Mertua sudah mewanti-wanti kalau bisa anak saya jangan "kena angin" dulu sampai minimal usia 3 tahun. Selain karena ayah ibunya sempat bermasalah di bagian paru-paru waktut kecil, ibu mertua juga sempat merasakan betapa buruknya kualitas jalan di daerah kami. Naik mobil saja tidak nyaman, apalagi naik motor, balita pula.
Saya dan suami sempat bingung karena mobil dipakai suami ke kantor, sementara tidak ada stasiun KRL yang dekat dengan tempat tinggal kami (jika saya naik mobil dan suami naik motor lanjut KRL). Akhirnya kami memutuskan untuk 50:50. Suami mengantar anak naik mobil sementara saya menjemputnya sepulang kerja naik motor. Masalah yang muncul kemudian adalah, bagaimana saya bisa membonceng anak saya dengan aman? Usianya saat itu 22 bulan, beratnya hampir 11kg. Jelas, gendongan bayi yang biasa saya pakai sudah lama masuk kardus.
Jadilah saya hunting gendongan lagi yang bisa menopangnya dengan baik kala saya mengendarai motor. Secara tidak sengaja saya melihat seorang ibu yg membonceng anaknya yang kurang lebih seusia Aksa. Saya tanya ke ibu tersebut dimana ia membeli gendongan yang ia pakai, dan ia pun menyebutkan tokonya. Saya pun belain beli, alhamdulillah cukup, walau tali untuk badan saya terlalu pendek. Saat mencobanya, ternyata talinya tidak kencang karena bahannya hanya kain biasa.
Akhirnya saya dobel ikatan pinggang dengan jarik. Bismillah, saya coba naik motor dengan Aksa di belakang saya. Baru dua tikungan, tetangga saya sudah memperingatkan, "Bu, anaknya miring tuh!" Langsung saya balik arah, kembali pulang. Ternyata tidak berhasil. Tapi saya tidak menyerah. Saya balik posisi gendongan (tadinya saya "berinovasi" bagian pantat saya taruh punggung karena bantalannya bisa menopang kepala). Tetap saya ikat dobel dengan jarik. Suami mengikuti dengan mobil di belakang saya. Rutenya? Langsung ke daycare, kurang lebih 25 menit.
Hasilnya sangat tidak menggembirakan. Beberapa kali saya harus berhenti untuk membenahi posisi anak saya, mengencangkan ikatan, serta tatapan "aneh" dari pengendara lain yang seolah berkata, "Ibu ini gimana sih, anaknya hampir jatuh"
Akhirnya saya browsing tentang boncengan motor plus tanya teman-teman yang pernah memboncengkan balitanya. Hasilnya, saya menemukan beberapa alternatif: menggunakan sabuk bonceng, memasang sandaran di motor bagian belakang, dan memasang kursi lipat di bagian depan untuk motor matic.
Saya dan suami sempat bingung karena mobil dipakai suami ke kantor, sementara tidak ada stasiun KRL yang dekat dengan tempat tinggal kami (jika saya naik mobil dan suami naik motor lanjut KRL). Akhirnya kami memutuskan untuk 50:50. Suami mengantar anak naik mobil sementara saya menjemputnya sepulang kerja naik motor. Masalah yang muncul kemudian adalah, bagaimana saya bisa membonceng anak saya dengan aman? Usianya saat itu 22 bulan, beratnya hampir 11kg. Jelas, gendongan bayi yang biasa saya pakai sudah lama masuk kardus.
Jadilah saya hunting gendongan lagi yang bisa menopangnya dengan baik kala saya mengendarai motor. Secara tidak sengaja saya melihat seorang ibu yg membonceng anaknya yang kurang lebih seusia Aksa. Saya tanya ke ibu tersebut dimana ia membeli gendongan yang ia pakai, dan ia pun menyebutkan tokonya. Saya pun belain beli, alhamdulillah cukup, walau tali untuk badan saya terlalu pendek. Saat mencobanya, ternyata talinya tidak kencang karena bahannya hanya kain biasa.
Akhirnya saya dobel ikatan pinggang dengan jarik. Bismillah, saya coba naik motor dengan Aksa di belakang saya. Baru dua tikungan, tetangga saya sudah memperingatkan, "Bu, anaknya miring tuh!" Langsung saya balik arah, kembali pulang. Ternyata tidak berhasil. Tapi saya tidak menyerah. Saya balik posisi gendongan (tadinya saya "berinovasi" bagian pantat saya taruh punggung karena bantalannya bisa menopang kepala). Tetap saya ikat dobel dengan jarik. Suami mengikuti dengan mobil di belakang saya. Rutenya? Langsung ke daycare, kurang lebih 25 menit.
Hasilnya sangat tidak menggembirakan. Beberapa kali saya harus berhenti untuk membenahi posisi anak saya, mengencangkan ikatan, serta tatapan "aneh" dari pengendara lain yang seolah berkata, "Ibu ini gimana sih, anaknya hampir jatuh"
Akhirnya saya browsing tentang boncengan motor plus tanya teman-teman yang pernah memboncengkan balitanya. Hasilnya, saya menemukan beberapa alternatif: menggunakan sabuk bonceng, memasang sandaran di motor bagian belakang, dan memasang kursi lipat di bagian depan untuk motor matic.
Mana yang saya pilih?
Tunggu cerita selanjutnya!
Tunggu cerita selanjutnya!
0 komentar:
Post a Comment