Sunday, May 19, 2019

Bukuku Sayang, Harus Berkurang



Jujur, proses decluttering buku merupakan salah satu tahap bebenah KonMari yang saya lakukan dengan waktu paling cepat. Berbeda dengan proses menyortir baju yang perlu banyak pertimbangan,  saya bisa dengan cepat memilih buku yang tidak lagi sparks joy dan rela melepaskannya. Buku saya tapi ya… bukan buku anak, haha.. Meski sudah robek sana sini maupun anak nggak pernah tertarik, saya menganut prinsip bahwa selera anak akan berubah seiring dengan usia dan kemampuan baru yang ia kuasai. Jadi, daripada menyesal kemudian, saya pertahankan semua buku anak. Toh, jumlahnya hanya sepersekian total buku saya dan suami.

Karena prosesnya cepat, saya melakukan proses sorting tanpa melalui kategori. Most of our books are located in the living room, beberapa di kamar tidur untuk bedtime stories, dan sekitar 15an buku di storage room. Buku yang ini adalah buku yang saya beli di Gramedia Warehouse Sale dan Mizan Out of The Boox dan masih disegel. Ada juga sih yang sudah saya buka, tapi belum tuntas membacanya. 

Jadi, saat decluttering, saya hanya perlu memiringkan kepala mengikuti posisi penyimpanan buku secara vertikal, dan mengambil yang kira-kira sudah tidak ingin saya baca lagi ataupun tidak lagi memiliki nilai informasi di kemudian hari, seperti novel.

Setiap buku di rumah sudah memiliki tempat, hanya saja sudah pas. Jika menambah 5 buku lagi misalnya, harus ada yang mengalah dan keluar dari rak buku, walaupun suami memberi sinyal we-definitely-need-a-new-bookshelf, hahhah..

Prinsip decluttering yang saya gunakan di posisi pertama adalah rapi dan teratur. Saya sempat berdebat sedikit dengan suami masalah ini. Buatnya, tidak masalah meletakkan buku yang tidak muat secara horizontal di atas deretan susunan buku vertikal. For me, it’s a big no no. Karena itu saya sodorkan beberapa buku yang jarang ia baca dan merupakan gift dari konpers atau seminar, suami pun memilih beberapa untuk direlakan.


Prinsip berikutnya adalah aman. Ini saya berlakukan khususnya untuk buku anak premium nan mulus yang saya letakkan di lemari kaca. Jadi, anak butuh effort lebih untuk mengambilnya meskipun sekarang saya sudah tidak terlalu heboh jika si kecil mendzolimi buku-buku tersebut. Dulunya, saya selalu meletakkan buku yang mahal ini di atas rak buku. Karena makin lama buku yang eman-eman kalau rusak ini makin banyak (dan tidak indah dipandang, berdebu pula), saya pun memindahkannya ke lemari kaca di saf paling bawah agar tetap accessible bagi anak-anak.

Dalam proses organizing, buku saya simpan berdasar kepemilikan. Milik suami di rak partisi ruangan bersama milik anak di saf terbawah. Milik saya berada di lemari kaca beserta buku premium anak dan sebagian buku suami. Alasannya, suami sering mengakses buku randomly and frequently jadi lebih mudah rasanya jika ia tidak harus buka tutup pintu kaca. Selain itu, setiap buku kami saya tata berdasar kategori yaitu parenting, fiksi, mothering stories, teaching stories, kesehatan, biografi, olahraga, agama, komik, bahasa, komunikasi, dan majalah.

Dengan penataan demikian, saya dapat mempertahankan kebiasaan mengeluarmasukkan buku dengan mudah, semudah menemukannya.

Eh tapi, kalau dipikir-pikir, rak bukunya beneran udah nggak muat deh…soalnya ada tiga kategori baru dalam penyimpanan buku: BBW, GramedSale, MizanSale, hahaha..ketauan nih saya n suami bookworm yang menjurus ke Tsundoku. Tapi semoga bukan hoarder yah. Buktinya, minggu lalu saya decluttering buku masa remaja saya di rumah ortu dan alhamdulillah bisa mendonasikan buku-buku tersebut (lebih dari 20kg!) dengan ikhlas. I only saved less than 5 books, yeayy! Sebelum saya donasikan, saya tawarkan di grup preloved dan olshop saya. Lumayan. laku 5 buku. Motivasinya, saya tidak ingin membuat koleksi buku saya berjamur karena terlalu disayang sampai harus diumpetin di lemari, seperti saat saya SD dulu. Dan, tentang masalah hisab, saya juga terpikir untuk membuka peminjaman buku online walau masih bingung bagaimana sistemnya kelak.

Buku yang di preloved lanjut donasi
Jadi, sukses nggak nih ya decluttering bukunya? Kalau lihat dari segi jumlah, jelas tidak sukses ya hahaha… Tapi, inti decluttering kan menghilangkan clutter alias hal yang membuat kita tidak nyaman, bikin suntuk, mood jelek karena berantakan. Nah, buku-buku saya ini berfungsi sebaliknya: soothing corner where I find my happiness and fulfillment. Surga dunia saya lah!

Hikmah dari decluttering buku ini adalah, saya jadi mudah memahami mengapa ibu saya terus menerus membeli tas-pakaian-sepatu seolah tidak pernah cukup. Padahal yang dipakai juga itu-itu saja. Saya pun beli buku seolah tidak pernah cukup, padahal 90% buku tidak saya baca ulang. Because I found happiness when I read books, when I bought them, and when I own them. At least, ilmu dalam buku tak lekang waktu, tak tergerus siklus layaknya fashion items, dan bisa membuat kita lebih berdaya. Bokek itu hanya sementara, khususnya habis BBW. Hahaha…


Tuesday, May 7, 2019

Ramadhan Kali Ini: Less Anger, Less Sugar, Less Gadget



Alhamdulillah, tahun ini masih diberi usia panjang hingga bisa bertemu dengan Ramadhan lagi. Entah mengapa, satu-dua minggu sebelumnya, saya sudah tidak sabar merasakan 30 hari indahnya bulan suci. Kata-katanya klise banget ya, haha… 

I mean it. Dulu, nggak pernah saya ngerasain Ramadhan itu indah, yang ada nunggu lebarannya aja. The celebration, new dress, food, and stuff. Lalu kemudian berhijrah, dan merasakan privilege untuk genjot ibadah habis-habisan karena belum menikah dan beranak pinak. Sempat mencoba i’tikaf di masjid juga dan setelah ada anak mari kita ibadah di rumah saja..pahalanya alhamdulillah sama kok.

Saat-saat awal punya anak, Ramadhan tidak terlalu terasa greget, karena nggak bisa tarawih di masjid, nggak kuat puasa karena menyusui. Kalau tidak salah, saya bayar fidyah sampai 3x Ramadhan deh. Lalu setelah tahu bahwa kita tetap harus mengganti puasa selagi masih sehat dan mampu, bayar fidyah saya stop. Tahun-tahun berikutnya saya back to work, puasa ngajar TK di sekolah alam yang luasnya hektaran itu lumayan rasanya, dan excitement saya berganti ke mudik. Rasanya nggak sabar nunggu akhir Ramadhan karena pengen ketemu orang tua dan saudara. Tarawih pada masa ini dikuat-kuatin banget karena capek pulang kerja. Kalau wiken bisa gantian tarawih di masjid sama suami sih, tapi agak kurang sreg dengan cara solat yang ngebut, hehe..

Nah, dua tahun terakhir di Jogja ini lah yang saya kembali merasakan nyawa dari Ramadhan itu sendiri. Khususnya, setelah si bungsu lahir. Alasannya saya temukan saat Ramadhan tahun lalu hampir berakhir: saya lebih jarang marah. Jujur saja, love and hate relationship saya dengan si sulung dimulai menjelang adiknya lahir hingga setahun kemudian (atau mungkin lebih). Kalau ingat masa itu, rasanya menyesal. Otak reptil saya aktif banget, huhu… Makanya sewaktu Ramadhan, emosi bisa lebih terkendali.

Tahun ini, misi utama yang sama kembali saya usung: menahan amarah. Meskipun I control my anger better than last year, tapi tetap saja ada letupan-letupan emosi yang saya sendiri masih belum bisa menyalurkannya dengan cara yang lebih nggak painful.

Second mission-nya adalah: menahan makan berlebihan. Lho, kamu kan kurus? Masa mau diet? Diet makan makanan yang toxic buat tubuh, itu maksud saya. Meskipun underweight, konsumsi makanan bergula tinggi saya lumayan. Sudah baca buku clean eating dan food combining, masih belum maksimal saya mengubah pola makan. I could’ve eaten better, for a better life. Dengan puasa, kerasa banget saya nyemilin biskuit jadi jarang. Di depan laptop juga lebih minim distraksi, because I am a chewing-while-working type of writer. Ketika buka puasa, sebanyak-banyaknya saya makan, tetap saja tidak bisa sebanyak pada saat saya tidak puasa. Yang saya makan pun mostly makanan berat, bukan cemilan unfaedah yang banyak menyisakan sampah sachet. So, I feel satisfied and happy with this holy month.

Third mission (yang mungkin banyak orang juga pengen lakuin): gadget detox. Sering nggak sih, kita ngerasa seharian kok gak accomplish anything and the answer was too much scrolling? Walau saya merasa my screen time is nothing compared to my husband (ya iyalah dia orang media, kerjaannya di hape #alasandia), masih ada keinginan untuk membuat 24 jam saya itu hitungan pahalanya berat. Kita nggak tau mati kapan, jangan sampai alasan yang kita kemukakan kok nggak ngaji, cari ilmu, menghafal Quran adalah karena: main hape. Aduduh…

Jadi, Ramadhan ini saya membuat Ramadhan Tracker, terinspirasi oleh @byputy yang ilustrasi trackernya kiyut abis (kiyut!!!), I made my own with different target. Semoga saja tahun ini, setiap hari di bulan Ramadhan terasa memuaskan dan berfaedah, dan kebiasaan baik yang susah payah dibangun bulan ini bisa bertahan di bulan-bulan berikutnya, atau selamanya. Aamiin…


Sunday, May 5, 2019

Bebenah Pakaian, Begini Praktiknya!


Bye Kitchen!

Setelah dua mingguan bebenah dapur, now we’re moving to the closet…! Enggak closet doank sih benernya, karena setelah dicermati, yang tercakup dalam bebenah kategori pakaian itu termasuk juga aksesoris, tas, sepatu, seprai dan sejawatnya. Huhuu…banyak banget ya. Karena itulah _honestly_ saya belum selesai decluttering kategori ini. But I’m going to answer the questions anyway.

Lipat ala KonMari. Mencegah pakai baju itu-itu saja.
Proses decluttering
Saya memisahkan pakaian yang dipakai sehari-hari dengan yang jarang dipakai (hari khusus). Alasannya, lemari saya berupa lemari plastik Napoli empat pintu, sharing dengan suami. Lemari anak berupa laci plastik empat tingkat serta rak buku kayu Olympic tiga tingkat. So, baju khusus akhirnya saya taruh di storage box. Apa saja baju khusus itu? Baju kondangan, baju formal non busui (saya masih proses menyapih), jaket, baju renang. Sisanya adalah sprei, selimut, bed cover, korden, tas. Merekalah penghuni kontainer plastik. Namun, dua minggu lalu akhirnya saya membeli gantungan baju single untuk menggantung gamis-gamis saya. Beberapa kali saya kesulitan mencari pakaian resmi untuk acara keluarga dan kondangan karena mereka ngumpet di peti. Setelah dikeluarkan pun baunya apek plastik. Jadi, Alhamdulillah sekarang pakaian licin nan agak luxurious tersebut bisa bernapas, hehe..

Kalau sepatu, saya masih simpan dengan boksnya. They’re not exactly on their original boxes, banyak yang sudah saya kombinasi khususnya sepatu anak. Satu boks dewasa bisa untuk dua pasang sepatu si bungsu. Total, saya hanya punya rak sepatu plastic tiga tingkat, namun saf paling atas tumpuk dua boks plus sepatu yang sering dipakai (tanpa boks).

Tentang tas, ada dua lokasi, yaitu container dan rak besi. Yang di container rasanya tidak pernah dipakai, akhirnya kemarin saya jual di preloved group tapi belum ada yang minat. Yang di rak besi pun demikian, terjual satu saja. Insya Alloh ramadhan nanti saya sertakan di bakti sosial sekolah anak. Agak kaget juga sih ternyata saya punya banyak tas, tapi karena alasan sentimental jadi disimpan aja. Banyak juga tas freebies yang didapat suami dari konferensi pers. Saya sudah memutuskan untuk hanya menyimpan 40% nya.

Aksesoris? Hanya satu laci kecil di meja rias. Isi beberapa bros jilbab, jepit rambut, peniti. Kalau jilbab, sudah direlakan beberapa saja, karena saya hanya punya satu wadah sepatu gantung bahan plastik yang memuat sekitar 20 jilbab.

Kalau soal prinsip RASA (Rapi nyAman Sehat Alami) dalam proses decluttering kategori pakaian, yang paling utama adalah rapinya. Meski cara melipat pakaian saya dan suami masih tumpuk vertikal, tapi pakaian anak sudah 30% model konmari karena lemari model laci. Tas di rak besi pun saya jejer rapi. Sepatu di rak juga rapi. Yang di teras yang kadang masih berantakan karena anak masih belajar merapikan. Kalau prinsip nyaman dipakai dan sehat, rata-rata setiap pakaian yang saya beli sudah memenuhi unsur itu sehingga frekuensi pemakaian lebih banyak dipakai sebagai bahan pertimbangan. Memenuhi unsur alami dan berkelanjutan, ada dua daster yang saya jadikan korden dapur, kemudian celana anak yang pinggangnya melar hampir saya buang tapi akhirnya saya putuskan untuk membetulkan karet pinggang di vermak jeans (karena kalau didonasikan nggak terlalu pantas, padahal bahannya pewe). Sisa pakaian dalam saya jadikan lap, namun belum semuanya saya potong. Masih saya letakkan di kardus.

Oh ya, saya melakukan decluttering tidak dengan cara menumpuk semua di tengah…jadi masih berdasar lokasi. Alasannya, anak saya masih sering interupsi. Lihat gundukan pakaian bisa buat berenang ntar, hahah…lagipula, saya bisa cut sewaktu-waktu anak membutuhkan saya, tanpa harus meninggalkan lokasi pertempuran.

Proses organizing
Semua pakaian sisa decluttering yang akan didonasikan sudah saya masukkan ke dalam dua kardus, terlipat baik, hanya saja kategorinya masih tercampur antara pakaian pria wanita anak. Batasan waktu donasi adalah hari ke 10 ramadhan.

Dilema seorang pelanggan laundry ;p

Label storage box hasil kolaborasi dengan anak
Pakaian yang masih digunakan saya simpan seperti cerita di atas. Kemudian seprai yang sering digunakan saya letakkan di container tanpa tutup karena sering sekali ganti. Selimut saya masukkan plastik ex laundry dan saya letakkan di storage box karton berlapis kain serta di kontainer plastik.
Oh ya, karena saya hanya mencuci pakaian anak bungsu saya dan sisanya masuk laundry, saya punya tugas tambahan saat memasukkan pakaian ke lemari, yaitu menyesuaikan lebar lipatan pakaian. Laundry nya agak labil, kadang lipatannya standar, kadang super lebar…jadinya, saya sering melipat ulang. Tapi kalau lebar sekali, saya lipat dua. Takes time banget kalo semua dibongkar. Tapi kalau nggak sempet banget, saya tumpuk apa adanya walau jadi nggak lurus rapi. Yang penting nggak lecek.

Yasss! Selesai sudah cerita declutteringnya. Yang belum selesai malah prosesnya, hahaha.. Mari kita lanjutkan pilah pilihnya ya.


P.S: Post ini adalah bagian dari tugas kelas online Gemari Pratama