Tuesday, October 28, 2014

The Mosquito Attack

 
www.en.wikipedia.org

If you don’t know what a mosquito attack means, let me tell you. 

For the past month, every night has been a sleepless night for me. Tens of mosquitoes flew inside my house since the sun sets. They stay until the next morning, or even have their “overtime work” until 10 a.m. That’s crazy.

It’s unusual, I can tell. They’re a lot, like never ending flow of flying insects. If usually we only have one until three mosquitoes biting us each night, it’s not. I remember I could kill one every minute. After I hit one, I went back to sleep. Not even a minute, I woke up again because I felt a bite, the very itchy one, and I started to look for the suspected mosquito. I gave it a hard slap, resulting in splashed blood on the bed sheet, floor, or curtain. At the beginning, I always cleaned the blood stain, but as the biting-scene got more severe, I just let it be. I didn’t have time to clean it because when I did that they’d bite me again. Hghghhh… At least, I collected all the dead mosquitoes together so I could count how many I killed.

Beside the stain, they also left red spots on my son’s skin. That’s one of the reasons why I killed them passionately and emotionally. Sometimes I came back to my bedroom and saw 4 mosquitoes on my son’s skin, altogether! Most of them were soooo fat with blood. They couldn’t even fly away when I got closer. I hit them, though it means I hit my son, too. But it wasn’t as hard as his father. I could give him a really hard hit on his leg, arm, or even forehead. Sometimes he woke up and mumble in anger unconsciously. I felt sorry but I was more to happy if I got the mosquitoes with blood around them, haha..

Of course, I tried to prevent them from coming into my house. I sprayed bug spray all over the bedroom, some corners of my house, and under the desk. I closed the door and waited few hours until the scent went away and safe enough for my son. When I entered the room, it was clear…only in two or three hours. The next, they started to look for prey.

I wonder why they kept coming back although I feel that I killed all already. The ventilation holes are covered with net. The windows are closed, but yaa…they’re not perfectly closed. The window frame wasn’t fit in to the wall, so there are spaces in between, and that’s the only way the mosquitoes could enter our room. I tried my best to cover the window with curtains, but it failed. They can walk.

Walk? Mosquitoes? Well, I couldn’t believe my eyes but it happened. When i was typing, it walked on my laptop screen. I saw it again in my room, it walked on the floor since the stomach was full of blood so it couldn’t fly. Then, this thought crossed my mind: they’re mutant. First, they can walk. Second, they can fly again after I hit them. Third, they are strong enough to fly in front of the fan. Fourth, bug spray can’t kill them directly unless we spray it an inch from the mosquito. Whatever they are, they are survivor and I’m not. Neither my son nor my husband.

Every night during this attack, I could wake up more than three times. It was because I got bitten so much, or because my son cried of feeling itchy. My weapons were my hands and seblak (a kind of broom made from the bones of coconut leaves, tied together, used for sweeping the dust from the mattress). When I couldn’t handle that, I used bug spray although it is prohibited when someone is in the room. Did it help? Not really.

Some of my neighbors used mosquito racket, a kind of tennis racket whose strings have electricity. I didn’t have it, so the last few days I put on mosquito repellant. Sadly, it’s not for kids under 6 years old. He wore long sleeved shirt and pants, though. That’s why the mosquitoes targeted his head, face, hands, and feet.

Along with mosquito repellant, I also wore long sleeves plus blanket. Was it hot? Not really, since the fan was on. Don’t ask me what happened when the lights went out. It was a disaster!

One day, I ran out of bug spray. Two cans. In less than two moths. Crazy.

So, I bought a new one with different brand. It seems like the new one worked better since the mosquitoes didn’t come again the whole night after I sprayed my room. Of course I was thrilled. Bug spray effect, yo!

The next few days, the numbers of mosquito decreased rapidly without I sprayed anything. Mmm, so it’s not about the brand.

Oh, I know! It must be the rain that chased the mosquitoes away.. Fortunately, the last few days we got quite heavy rain, and the mosquitoes disappeared ever since. Thank God..

I still can see the blood stain all over the wall and the bed sheets. Let it be a reminder that a war had ever happened in our bedroom, and we survived.

Thursday, October 23, 2014

Say Thanks, Please..

www.speakupforsuccess.com


Seberapa sering anda mengucapkan terima kasih pada orang-orang terdekat anda?

Semoga bukan saat menerima hadiah saja ya, Moms :p

Jujur, saya dulu bukan orang yang mudah mengucapkan terima kasih khususnya pada keluarga saya. Kalau teman memberi tumpangan atau dokter selesai memeriksa, pasti saya ucapkan terima kasih. Tetapi, setelah Mama membantu mencarikan pakaian saya, rasanya kok jarang sekali saya mengucapkan kata-kata tersebut kepada beliau. It seemed awkward to say thanks for something that you have it daily, to people that you see everyday..

Sampai pada suatu hari, saya berkesempatan untuk  tinggal beberapa bulan di benua Amerika. Saya sempat bingung ketika diminta membuat thank you card untuk juru masak tempat kami mengadakan training. Mengucapkan terima kasih saja, kok harus pakai kartu?   Ternyata begitulah orang disana menghargai jerih payah orang lain, meskipun itu hanya karena sesuatu yang sederhana, seperti masakan si juru masak tadi.

Dalam keseharian pun, saya paling sering menemui kata ini. Setelah transaksi di restoran atau minimarket, wajar ya kalau bilang terima kasih. Disini pun sekarang juga begitu, walau terkadang minus senyuman J Yang tidak biasa itu ketika turun dari bus, para penumpang say thanks ke supir bus. Atau ketika seseorang menahan pintu untuk anda, dan anda mengucapkan terima kasih. Dan, pelukan hangat serta ucapan terima kasih untuk ibu setelah memasak makan malam yang super lezat.

Membayangkan suami atau anak kita yang melakukannya, pasti akan sangat menyenangkan bukan..?

Hal-hal diatas sudah cukup merubah cara pandang saya tentang how to appreciate something. Maka ketika kembali ke Indonesia, saya jadi sedikit culture shock: dikit-dikit bilang makasih, dan nggerundel kalau ada yang tidak bilang terima kasih. Saya masih ingat ekspresi bingung dosen saya ketika saya bilang, ”Mas, makasih ya kuliahnya tadi seru banget.” Sejenak beliau bengong, dan akhirnya tersenyum..

Lalu bagaimana dengan orang-orang terdekat, seperti orangtua dan suami serta anak?

Kepada suami dan anak sih, budaya berterima kasih sudah lumayan diterapkan dengan baik. Misalnya, saat suami membersihkan kamar mandi atau hal lain yang memang sudah menjadi tugasnya, saya tetap mengucapkan terima kasih. Apalagi kalau suami melakukan hal yang membutuhkan effort lebih, terima kasihnya paket lengkap (hugs kisses smile :D). Makanya, saya suka bilang “sama-sama, Ayah” kalau suami langsung melahap habis makanan yang saya masak dengan penuh perjuangan, dan lupa mengucapkan terima kasih (lho kok jadi pamrih ya?).

Karena saya memulai berkeluarga dalam keadaan sudah punya thank awareness, rasanya lebih mudah untuk menerapkan sesuatu yang baru dari awal daripada merubah kebiasaan lama. Kepada orangtua saya, hal tersebut terasa lebih susah karena sejak kecil saya tidak dibiasakan untuk berlaku demikian. Orangtua saya pun jarang mengucapkan terima kasih kepada saya. Yang saya ingat, kita diharuskan mengucapkan terima kasih kalau diberi sesuatu. Bukan, bukan salah orangtua saya sebenarnya, karena setiap keluarga dan masyarakat memiliki budaya yang berbeda. So, perbedaan itu saya anggap wajar.

Meskipun demikian, saya sudah berhasil membuat beberapa perubahan. Sekarang saya sudah bisa say thank you ke Mama dan Papa, khususnya setelah mereka memberi bantuan seperti mengantar ke RS, menjaga Aksa, memijit saya kalau kelelahan… walau kadang ucapan itu bernada lirih dan tanpa memandang wajah mereka karena rasanya masih malu dan canggung, haha..

Karena itu, walaupun Aksa masih belum bisa berbicara, saya sudah membiasakan dia untuk mengucapkan terima kasih. Situasi yang paling mudah untuk menerapkannya adalah ketika ia meminta sesuatu dan saya memberi apa yang ia minta. Saya pun demikian. Setelah mengajaknya ke acara yang lokasinya jauh dan ia tidak rewel, misalnya, saya bilang,  “Terima kasih ya anakku, sudah jadi anak yang sholeh..” Saya menggunakan kalimat tersebut karena terdengar lebih positif dibandingkan “Terima kasih ya Nak, karena tidak rewel sepanjang perjalanan..”

Saya pernah iseng-iseng menguji murid-murid saya, usia mereka antara 9-10 tahun. Salah seorang dari mereka membawa oleh-oleh berupa makanan dari luar kota. Ia pun mempersilakan teman-temannya untuk mengambil kue tersebut. Saya katakan padanya, “Salsa, nanti coba hitung ya, ada berapa yang mengucapkan terima kasih.” Satu per satu teman-temannya pun mengambil kue hingga habis. Guess what, hanya satu anak yang mengucapkan terima kasih!

Dari sini saya belajar bahwa mengajarkan sesuatu harus dilakukan terus menerus, tidak boleh cepat puas, apalagi berhenti ketika hasilnya tidak kunjung terlihat. Saya percaya, anak adalah peniru yang ulung. So, cara yang paling efektif untuk mengajarkan terima kasih adalah dengan menjadi role model mereka. Inilah salah satu alasan mengapa saya suka memberi thank you card kepada setiap murid saya setelah final test, saat saya menjadi guru les bahasa Inggris. Saya tambahkan pula motivasi serta hal-hal yang bisa mereka tingkatkan. Everybody loves personal touch.

Sementara bagi yang memiliki orangtua seperti Mama Papa saya, cara yang paling tepat untuk membiasakan berthank you ria adalah dengan memulai terlebih dahulu. For this case, I don’t really expect them to thank me, tetapi lebih kepada mendobrak rasa canggung untuk mengekspresikan rasa terima kasih kita. Mengirim sms juga bisa menjadi alternatif lho, khususnya jika kita benar-benar merasa kurang nyaman mengatakannya secara langsung.

Seperti sms saya untuk Papa, kali pertama saya mengucapkannya pada beliau 7 tahun lalu:
Pa, makasih ya udah banyak berkorban buat aku selama ini. Maafin aku yang jarang sms Papa, kecuali kalau ada butuhnya. Aku sayang Papa.
Walau Papa hanya menjawab, “Sama-sama, Papa juga sayang Mbak”, I know that it means a lot for him. And I’m glad that finally I let him know.

see the  published  version   on  http://mommiesdaily.com/2014/11/13/rsay-thanks-please/

Saturday, October 18, 2014

Nyontek

www.galleryhip.com

Kalau membaca tentang anak-anak sekarang yang stres menghadapi ujian nasional, saya jadi ingat masa-masa ujian jaman saya sekolah dulu. Rasanya, ujian tidak semenakutkan sekarang, walau tetap dihadapi dengan belajar serius.
Namun, ada saat dimana saya “menempuh” jalan pintas, yaitu dengan cara mencontek. Motifnya berbeda-beda sih untuk setiap jenjang pendidikan, ada yang coba-coba, ikut-ikutan temen, takut dibilang pelit, sampai memang karena kepepet beneran, hehe..
Kalau tidak salah, pertama kali saya mencoba menyontek, atau tepatnya contek-contekan, ketika kelas tiga SD. Padahal guru saya selalu memperingatkan di awal ulangan umum (dulu namanya bukan ujian, tapi ulangan), “Yang bekerja sama nilainya dikurangi!”
Waktu itu, caranya memberi contekan adalah melalui sepatu. Saya duduk di bangku paling belakang, dan menyelipkan kertas contekan ke sepatu. Kemudian, saya ayunkan kaki ke bangku seberang saya. Teman saya pun menunduk (pura-pura mengambil pensil yang jatuh) sembari mengambil kertas di sepatu saya, haha... Entah kenapa, waktu itu kok rasanya bangga sekali mencontek tidak ketahuan. Mungkin karena buat anak-anak, itu menantang kali ya..
Alhamdulillah, setelah itu saya enggak main contek-contekan lagi. Bahkan, tergolong pelit kasi contekan (pertarungan ranking di kelas sengit, Bung!). Kalau ulangan, saya dan teman-teman meletakkan map dan buku dalam posisi berdiri di kanan, kiri, depan kami, seperti benteng, haha..
Karena itu, saya sempat takjub ketika diterima di SMP favorit di kota saya, karena para senior ternyata punya budaya saling memberi contekan..! Dari cara yang klasik seperti saling meminjamkan alat tulis yang telah diberi jawaban, menulis contekan penting di anggota tubuh, sampai bertanya langsung ketika guru pengawas sedang lengah.
Untuk kasus terakhir, salah seorang senior saya pernah kena batunya. Dalam satu ruang kelas, setiap bangkunya diisi oleh seorang senior dan seorang junior (misal: kelas 1 sebangku dengan kelas 2). Saat itu, ruang kelas yang digunakan memiliki banyak jendela berukuran besar dan terbuka. Saat pengawas meninggalkan kelas, mulailah salah seorang senior beraksi.
Ia berusaha memanggil temannya dengan berbisik. Sayang sekali, yang dipanggil tak kunjung menoleh walau ia sudah mengeraskan suaranya. Hingga akhirnya...
“Mas, mas...itu dipanggil temannya..!”
Ternyata sang pengawas telah berdiri di luar jendela, berusaha “membantu” si senior memanggilkan temannya untuk dimintai contekan, haha.. Kalau sudah ketahuan, yaa...apa boleh buat. Paling-paling menunduk malu. Syukur-syukur tidak dikurangi nilainya.
Belajar dari pengalaman kakak kelas yang ketahuan, teman saya Wira tidak mau mengandalkan orang lain untuk membantunya. Maksudnya bukan tidak mau mencontek lho ya, tetapi melihat buku. Bagaimana bisa? Peraturan ujian menyebutkan bahwa semua tas siswa harus diletakkan di depan kelas. Tidak kurang akal, Wira menyobek satu halaman penuh buku pelajaran elektro dan melipatnya jadi kecil, lalu diselipkan di bawah jam tangan. Ckckck... Saya tidak tahu apakah usahanya sukses atau tidak. Semoga saja halaman yang ia sobek muncul di ujian, kalau tidak berarti apes..
Ninta, teman SMP saya punya jurus jitu ketika hampir ketahuan nyontek. Saat itu ia memberi kode menggunakan jari tangannya, sementara bibirnya mengucapkan nomor yang ingin ditanyakan, tanpa suara. Mendadak ia bertemu mata dengan pengawas. Maka, ia pun berpura-pura merenggangkan jari jemarinya seolah habis melakukan manikur...!
Jari dan tangan masih menjadi andalan teman-teman saya ketika SMA. Memang contek-menconteknya sudah tidak seheboh waktu SMP, tetapi tetap saja ada teman saya yang kepepet. Irene salah satunya. Karena tidak yakin bisa mengingat rumus fisika yang dipelajarinya semalam, Irene menuliskannya di telapak tangannya.
Saat beraksi pun tiba. Irene membuka telapak tangannya dan memandanginya dengan seksama. Ketika mendongak, ia melihat guru fisika sedang mengamatinya. Karena panik, ia mendadak berpura-pura mengelap keringat. Fiuh..untungnya Irene tidak ketahuan. Saat kesempatan tiba lagi, ia membuka telapak tangannya dan....rumus-rumusnya telah luntur oleh keringat! Hahaha..
Kalau jaman kuliah, nyontek sudah tidak jaman lagi karena jawabannya esai. Lagipula, saya kuliah di FISIP, tidak ada rumus matematika atau ekonomi. Meskipun demikian, saya pernah mendengar trik dari seorang senior. Apabila ada mata kuliah umum, yang ruangannya besar, dimana kesempatan kita untuk bertanya teman juga besar, maka sediakanlah tabloid di meja pengawas. Kenapa tabloid? Karena ukurannya cukup besar. Sehingga ketika pengawas tertarik dan membacanya, niscaya sebagian pandangannya tertutupi tabloid. Dan, kita pun bisa berdiskusi sebentar dengan teman sebelum mulai menjawab. Hmmm..
Saya tidak tahu bagaimana cara anak sekarang mencontek, karena jaman saya dulu handphone belum banyak yang punya. Tapi, seandainya saya menjadi pelajar saat ini, saya memilih untuk tidak mencontek. Takutnya, ketika asyik mencontek, ada teman yang memotret dan mengunggahnya ke media sosial. Bisa beken mendadak nih, haha..!






Monday, October 13, 2014

Boros

www.mindbodygreen.com

Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah... Tapi sebagai seorang remaja, hidup tidak semudah lirik lagu. Selalu saja ada yang kurang dari diri kita dan membuat tidak percaya diri. Badan yang tidak seperti biola lah, rambut yang tidak mirip iklan sampo lah, dan masih banyak lagi. Dari semua itu, ada satu yang menjadi masalah bagi saya, yaitu wajah yang terlihat lebih “dewasa” dibanding remaja seusia, alias...ehm “boros”.

Saya sadar untuk pertama kalinya ketika saya berusia 14 tahun, kelas dua SMP. Saya pergi ke salon dengan mama. Saat sang kapster memblow rambut saya, dia berkomentar.

 “Mbak, kakaknya itu cantik ya..”. Saya sempat bingung. Ternyata, kapster itu membicarakan mama saya! Sambil berusaha tabah, saya bilang bahwa itu bukan kakak saya, tapi mama saya. Eeh, bukannya percaya, kapster tersebut malah memanggil mama saya, “Mbak, masa ini anaknya? Saya kira kakak adik..!” Sekarang mama saya yang sumringah karena merasa awet muda, sementara dalam hati saya berurai air mata..

Beberapa tahun kemudian, kejadian serupa terulang lagi. Kali ini kejadiannya di sebuah mall. Saya menemani kakak yang datang dari luar kota dengan suami dan anaknya. Sebagai tuan rumah yang baik, saya membantu menjaga anaknya yang berusia setahun ketika sang ayah dan ibu melihat-lihat pakaian.

Ketika sedang asyik menggendong keponakan saya, datanglah seorang ibu yang dengan ramah menyapa si anak.

“Iiiih...lucunya! Anaknya umur berapa mbak?”, tanya si ibu dengan penuh percaya diri, tanpa rasa bersalah sedikitpun. Walaupun sedikit sedih, saya menjawab dengan tidak kalah ramah, “Oh, ibunya di sana... Saya masih kuliah kok, Bu,”

Walaupun si ibu sudah minta maaf dan kalimat terakhir saya seperti sebuah pembelaan bahwa aku-seorang-mahasiswa-bukan-ibu, tetap saja rasa percaya diri saya terjun bebas. Rambut yang habis direbonding, pakaian andalan, dan pulasan make up pada saat itu pun tidak dapat mengembalikan kepedean saya.

Lima tahun berlalu, saya sudah menjadi seorang guru playgroup. Saya sudah bukan remaja lagi, sehingga wajah saya sudah sesuai lah dengan usia saya, hahaha... Tapi kok, kejadian yang bikin gondok tersebut masiiih saja terulang.

Pada saat saya mengunjungi pameran buku dengan bapak saya, selalu saya memilih booth yang menjual buku anak. Ini karena saya butuh referensi untuk mengajar. Saat saya melihat-lihat buku cerita, si mbak SPG bertanya, “Putranya usia berapa bu?”

Huhhh, lagi-lagi..Jurus pembelaan diri saya pun keluar lagi, “Oh, saya belum punya anak. Saya ngajar di TK.”

Kejadian serupa terjadi di booth kedua. Dan jawaban yang sama pun saya lontarkan. Mungkin saja karena saya hanya berdua dengan Bapak jadi dikira suami istri, pikiran positif saya ketika itu. Tetapi ketika di booth ketiga saya mendapat pertanyaan serupa, pikiran saya cuma satu:  ternyata di usia saya yang hampir seperempat abad, tampang saya masih juga boros..!

Akhirnya saya pun mengakhiri masa lajang saya. Sehari sebelumnya, diadakan pengajian di rumah saya yang hanya dihadiri oleh saudara pihak wanita saja. Sang ustadz pun memberikan wejangan-wejangan pranikah setelah membaca doa. Dan di akhir kalimatnya, bapak ustadz bertanya, “Kalau calon (suami)nya asli mana, Mbak?”, sambil menolehkan wajah ke arah...kakak saya!

“Bukan saya Pak, ini yang mau nikah! Saya mah anaknya sudah dua..”, ujar kakak saya sembari menunjuk saya. Kakak saya pun tidak dapat menyembunyikan gurat kebahagiaan di wajahnya, karena mendapat “diskon” umur sampai 8 tahun dari ustadz. Sementara saya...yaaa, begitulah...

Saya benar-benar sudah terbiasa dengan pengalaman-pengalaman serupa, dan sekarang sudah mensyukuri apa adanya wajah ini. Termasuk ketika saya diharuskan operasi kuret dadakan, sementara suami masih di luar kota, sehingga Bapak dan Mama yang mendampingi. Pasca operasi, Bapak pun diperbolehkan masuk ke ruang operasi untuk menemani saya yang mulai kehilangan efek anestesi. Mama yang tidak tegaan memilih untuk menunggu di luar.

Setelah satu jam lebih mengobrol, suster pun memperbolehkan saya pindah ke kamar. Bapak sudah lebih dulu keluar, sementara saya masih harus menandatangani beberapa surat keterangan. Sambil menunggu saya tanda tangan, suster pun bertanya, “Mau saya panggilkan suaminya, Bu?”

Hahaha...Bapak dikira suami saya! Saya kini bisa menanggapi hal ini sebagai sesuatu yang lucu, dan masih berharap bahwa suatu hari nanti wajah boros saya tidak berujung pada komentar seperti, “Oh itu suaminya? Saya kira adiknya...”


Friday, October 10, 2014

Ini Cara Ayah!

www.2nm.com.au

Terkadang, ada perasaan tidak percaya ketika saya harus menyerahkan penjagaan anak sepenuhnya pada suami. Bukannya gimana, tetapi kepekaan laki-laki dalam mengasuh anak tentu berbeda dengan perempuan. Apalagi, saya yang 24jam di rumah dengan Aksa saya masih suka kewalahan menghadapi keaktifannya di usia 16 bulan ini.

Beberapa kali suami sering melakukan "kecerobohan" ketika saya sibuk di dapur dan memintanya menjaga Aksa. Karena terlalu khusyuk melihat laptop, tahu-tahu Aksa sudah menumpahkan deterjen cair, atau membiarkan Aksa bermain botol air mineral bekas yang entah dari mana asalnya.

Ini yang membuat saya menjadi ekstra cerewet ketika Ayahnya berniat membantu menjaga Aksa. "Yah, jangan kasi yang itu, kotor," atau "Minumnya harus ditungguin Yah, kalo enggak entar gelasnya dibanting,", dan masih banyak lagi.

Akhirnya, pada suatu titik, suami saya merasa kesal karena si Mrs. Bossy ini tidak pernah menganggap caranya benar. (Ayah maafin aku...)

Meskipun demikian, suami tetap siap sedia berbagi tugas menjaga Aksa. Bahkan, suami bersedia menjaga Aksa sehari penuh ketika saya mengikuti Blogger Workshop kemarin...!

Saya sempat kuatir (lagi), bagaimana jika Aksa ingin minum ASI (saya tidak memerah ASI) dan rewel, dan ayah tidak bisa handle.

Ternyata yang terjadi sebaliknya, Mommies...

Sejak pukul 10pagi hingga 6sore, Aksa tidak rewel. Saya sempat memberinya ASI waktu lunch break dan coffee break. Selebihnya, suami saya full menemaninya.

Saya sempat heran, apa kuncinya menjaga Aksa tanpa ASI. Kata suami, "yang penting tidak bosan". Jadi, mereka jalan ke mal, lanjut makan, naik bus tingkat sampai ketiduran, main di lobi hotel, dan tidak lupa minum air putih kalau haus...

Takjub dan bangga, jelas..hehe..
Dan sedikit refleksi juga, kalau selama ini suami banyak memberikan insight dalam merawat Aksa...

Ketika anak kami haus, atau ngantuk, sementara saya nggak ngeh, suami langsung memberi tahu. Kadang saya masih defensif, "Haus gimana, kan baru aja nyusu," Eh..ternyata haus beneran haha.. 

Ketika si kecil nggak mau makan, saya ngambek dan ngomel, lalu ayah mengambil alih piring dan mencoba menyuapinya...dan Aksa mau. Mungkin karena suami tidak emosi, jadi Aksa juga enggak stres kaya pas liat muka ibunya hehe..

Ketika Aksa mulai mengobrak-abrik tempat penyimpanan barang yang berbahaya, sang ayah pun mengalihkan perhatiannya dengan mengajak bermain bola, atau..simply take him out, just getting some fresh air..

Siang tadi, sebelum berangkat kerja, suami bilang, "Yang, Aksa kalau dielus-elus punggungnya bisa bobok kok, nggak usah harus disusuin dulu.."

Oh yes, my husband did it twice today, successfully. 

So, Mommies, meskipun kita yang melahirkan, bahkan merawat anak kita full di rumah, jangan remehkan kemampuan suami ya..

They have their own instinct, as a man, and as a father..

See the published version at http://mommiesdaily.com/2014/10/15/ini-cara-ayah/

Memilih (Pengasuh) dengan Hati

www.eastbayri.com

Tidak terasa setahun sudah saya mendampingi si kecil, menjalani hari sebagai stay-at-home mom. Ini adalah suatu pencapaian bagi saya yang tidak pernah menganggur lebih dari sebulan. Bisa ditebak, hasrat untuk kembali mengajar (saya seorang guru) sudah sangat menggebu. Dua kali saya lewatkan tawaran mengajar karena Aksa tidak ada yang menjaga.

Susah sekali menemukan pengasuh anak di sini, bahkan tetangga saya sampai "tega" meninggalkan anaknya yang berusia 4 tahun sendiri di rumah, hanya dengan pengawasan tetangga depannya. Saya paham, karena dia tidak ada pilihan.

Daycare terdekat kondisinya sungguh memprihatinkan. Selain kurang higienis, tenaga pengasuhnya pun hanya dua orang untuk jumlah anak di atas 10. Akhirnya saya memutuskan untuk tetap di rumah, hingga
menemukan pengasuh ataupun daycare yang layak.

Suatu sore, secara tidak sengaja saya bertemu dengan ibu ini. Saat sedang menemani Aksa bermain di luar rumah, si ibu dan anaknya melintas. Sang anak (kira-kira usianya 4 tahun) pun mengajak Aksa untuk ikut. Tak diduga, anak saya mau saja ikut dengan mereka. Saya pun mengikuti dari belakang hingga akhirnya si ibu bertanya apakah saya punya pengasuh. Saya jawab tidak. Ia merespon jawaban saya dengan bercerita mengenai temannya yang seorang pengasuh tetapi galak terhadap anak yang diasuhnya. Entah apa maksudnya, saya dengarkan saja sambil tetap mengikuti Aksa berjalan.

Sampai di tikungan, si ibu menggendong Aksa, dan anak saya pun mau saja digendong hingga lebih dari 15 menit. Hingga akhirnya si ibu menawarkan jasa mengasuh Aksa. Alasannya, ia butuh uang untuk membeli popok dan susu untuk anaknya sementara suaminya sudah meninggal.

Saya sempat bersyukur dalam hati, apakah ini "lampu hijau" dari Tuhan untuk kembali bekerja?

Ia meyakinkan saya bahwa pengalamannya mengasuh anak sudah tidak diragukan lagi, begitu pula dengan ketelatenan dan kasih sayangnya terhadap yang diasuh. Meskipun, wajahnya tidak pernah tersenyum selama setengah jam saya berinteraksi dengannya.

Si ibu pun memberikan nomornya jika nanti saya mau menggunakan jasanya. Di tengah percakapan kami, tiba-tiba anaknya nyelonong masuk ke kedai pempek dan menonton orang yang sedang makan. Si ibu pun sontak berteriak kepada anaknya, "Heh! Keluar kamu..! Mama cubit ya kalau kamu masih disitu..!" Kurang lebih seperti itu kata-katanya, karena saya cukup kaget mendengarnya.

Sampai rumah pun saya bercerita pada suami tentang tawaran si ibu tadi. Suami menyarankan untuk mengenalnya lebih jauh dulu, karena tidak ada orang yang bisa memberikan referensi. Tidak lupa, saya pun solat malam untuk memohon petunjuk, karena anak adalah amanah dan keputusan ini adalah hal yang besar bagi saya dan suami.

Sore hari berikutnya, si ibu sudah berada di depan rumah saya saat saya kembali dari jalan sore dengan Aksa. Meskipun tidak menyatakan secara langsung, saya tahu ia masih berharap untuk mengasuh Aksa. Ia pun mengajak Aksa ke warung dengan anaknya, Aksa pun lagi-lagi mau.
Kembali saya ikuti mereka. Setibanya di warung, obrolan pun terjadi lagi. Sempat saya tawarkan
pekerjaan mengasuh di RT sebelah, namun ia menolak dengan alasan yang tak jelas (karena bicaranya selalu cepat dengan wajah bersungut, saya jadi tidak konsen, haha..). Hingga akhirnya, dia bertanya apakah Aksa memiliki bola kuning, karena ia melihat bola tersebut di selokan. Saya yakin itu bola Aksa, walau bingung bagaimana bola tersebut bisa keluar pagar. kemudian si ibu melanjutkan, "COba ibu cek dulu deh bolanya, biar saya jagain anaknya disini."

Mendadak rasa tidak enak menyergap, dan dengan 1001 alasan saya ambil Aksa dari pangkuannya kemudian kembali ke rumah, dan mengunci pagar.

Saya pun mulai melogika awal pertemuan dengan si ibu, gosipnya tentang pengasuh galak, bentakannya pada si anak, wajahnya yang tanpa senyum, hingga permintaan terakhirnya yang membuat saya bernegative thinking bahwa ia akan membawa Aksa pergi saat saya mengecek bola.

Akhirnya saya mengambil kesimpulan, si ibu tidak akan mengasuh Aksa. Saya sudah tidak "tergoda" lagi untuk kembali bekerja jika Aksa saya titipkan pada si ibu.

Beberapa minggu kemudian, saya bertemu dengan mantan babysitter tetangga saat sedang belanja sayur. Ia mengutarakan keinginannya untuk kembali bekerja di tetangga saya. Sayangnya, sang tetangga sudah punya pengasuh yang baru.

Sempat terlintas di benak saya untuk memintanya mengasuh Aksa sehingga saya bisa kembali bekerja.Hingga ia bercerita mengenai majikannya yang terakhir.Tepatnya, bergosip tentang majikannya tersebut. Saya sampai tidak enak mendengarnya karena ceritanya begitu rinci. Dahulu, ia pun juga pernah menggosipkan tetangga saya yang saat itu masih berstatus majikannya.

Saya pun akhirnya tersadar, dan mulai berpikir jernih lagi. Walaupun ia telaten dan berpengalaman, kebiasaannya bergosip sudah menimbulkan perasaan yang tidak nyaman di hati. Kembali saya mengambil kesimpulan, ia (juga) tidak akan mengasuh anak saya.

Beberapa hari yang lalu, saya mendapat sms dari mantan rekan kerja.
"Gimana Bu, Aksa sudah ada yang mengasuh belum? Guru kelas 5 resign nih.."

Saya pun membalas, "Ada sih yang mau mengasuh, Pak...Cuma belum sesuai standar, hehe.."

Akhirnya saya memilih untuk mendengar kata hati, walaupun tawaran kerja di depan mata dan calon pengasuh tinggal pilih saja :)

see the published version on http://mommiesdaily.com/2014/10/21/rpicmemilih-pengasuh-dengan-hati/



Asyiknya Bertetangga

www.kaskus.co.id

Sebagai orang yang tumbuh di lingkungan yang individualis, kepindahan saya ke rumah baru setelah menikah merupakan hal yang awalnya cukup mengganggu. Bayangkan saja, yang biasanya berpapasan dengan tetangga cuek saja (karena tidak kenal), sekarang harus berbasa-basi. Minimal senyum deh.. kebetulan lingkungan tetangga yang baru ini sangat berbeda. Orang-orang saling menyapa satu sama lain, bahkan saling bersahut-sahutan.

Bukannya antisocial, namun ada perasaan tidak pede ketika melewati segerombolan ibu-ibu yang tengah asyik mengobrol, yang belum benar-benar saya kenal. Akhirnya , pulang kerja pun saya hanya sekadar bilang “mari Bu”, lalu buru-buru masuk dan mengunci pagar. Pernah sih, saya diajak untuk rujakan bareng sambil ngobrol, tapi saya keburu takut mati gaya. Akhirnya saya tolak deh, hehe…

Belum lagi masalah anak-anak yang banyaknya minta ampun. Waktu itu saya sedang hamil. Tau sendiri kan, kalau hamil itu bawaannya sensitif sama yang serba berlebihan. Lebih bau, lebih wangi, dan…lebih berisik. Menjelang tahun baru, bunyi terompet siang malam di depan rumah cukup membuat emosi. Mau diingatkan kok tidak enak, orang anaknya tetangga saya. Apalagi saya orang baru, salah-salah malah dapet musuh..!

 Namun, semua itu berubah sejak saya melahirkan dan memutuskan untuk berhenti kerja.
Sempat saya ragu, apakah saya bisa survive di lingkungan baru yang sangat berbeda, hanya berdua dengan suami merawat bayi kami?  

Kenyataannya ternyata jauh di luar banyangan saya. Lingkungan yang selama ini saya klaim tidak cocok untuk saya, malah kemudian menjadi sesuatu yang sangat saya syukuri keberadaannya.
Setiap pagi, saya harus keluar rumah untuk menjemur Aksa, anak saya. Interaksi dengan tetangga pun tidak dapat dihindari. Ternyata, mereka sangat ramah dan welcome. Kami pun jadi kerap mengobrol. Bahkan, beberapa dari mereka menawarkan diri untuk menjaga Aksa jika suatu saat saya ada keperluan yang harus diselesaikan. So sweet, eh?

Begitu sore harinya, beberapa kali saya bergabung dengan sejumlah ibu yang sedang mengobrol –aktivitas yang selama ini saya kurang nyaman melakukannya. Tentu saja tidak untuk bergosip yaa..(tapi mendengarkan gossip iya, hehe). Dari mereka, saya mendapat banyak informasi, mulai dari bidan yang bagus di dekat rumah, biaya sekolah, sampai jenis obat dedaunan yang bisa dipetik di komplek kami. 

Saya pun jadi punya beberapa teman baru, sebut saja tukang jamu, mas-mas penjual roti keliling, anak-anak tetangga, termasuk ART mereka, haha…  Semua perubahan ini hanya gara-gara satu hal, mempunyai anak.

Kini, ketika Aksa sudah setahun lebih, sudah bisa berjalan dan bersosialisasi, lingkungan yang didominasi oleh anak-anak ini menjadi suatu berkah untuk Aksa. Tentu saja, ia jadi bisa melihat anak-anak seusianya dan yang lebih besar bermain. Walaupun belum bisa bicara, saya tahu ia sangat menikmati suasana riuh ketika melihat anak-anak yang sedang bermain. Lebih senang lagi, ketika ada kucing, burung, kupu, atau ayam yang seliweran didepannya. Indah sekali dunia ini..

Bagi saya sendiri, lingkungan yang “ramai” seperti ini cukup menenangkan hati jika sedang berdua saja dengan anak ketika suami tugas ke luar kota selama beberapa hari. Serambi warung di sebelah rumah merupakan meeting point bagi kalangan ibu, anak-anak, maupun remaja. Sampai jam 10 malam pun kadang masih ramai. Kalau lapar dan tidak bisa keluar, berbagai macam makanan dijajakan keliling dari pagi sampai malam. Tinggal sebut saja deh… Kalau mati lampu malam hari, biasanya anak-anak ramai-ramai keluar rumah, jadi enggak sepi..

Saya pun berandai-andai, jika Aksa tumbuh di lingkungan yang individual, tentu akan sangat banyak hal yang ia lewatkan. Meskipun, pada beberapa situasi, kita tidak bisa memilih lingkungan tempat tinggal kita.

Hal ini bukan berarti saya menganggap lingkungan seperti ini yang terbaik untuk anak, sementara lingkungan yang lain kurang baik. Namun, lebih kepada bagaimana kita sebagai orang tua melihat sisi positif dari setiap keadaan. Yang semula kurang menyenangkan bagi kita, bisa saja pada akhirnya menjadi suatu hal yang kita syukuri. Atau sebaliknya. Setuju?

See the published version at http://mommiesdaily.com/2014/09/25/rasyiknya-bertetangga/



Latih Memori Anak, Yuk!

www.esl4kids.com

Jangan remehkan daya ingat bayi.

Kalimat ini terbersit dalam pikiran saya setiap kali Aksa, bayi saya yang berusia 15 bulan, menunjukkan hal-hal yang baru saja bisa dia lakukan. Maka, ketika saya melihat judul “Melatih Memori Bayi” di kanal Terpopuler website parenting favorit, saya klik judul tersebut.

Artikelnya pendek, lebih berupa tips. Kurang lebih intinya adalah mengajarkan sesuatu kepada bayi secara berulang dan berpola. Tips tersebut membuat saya flash back ke hari-hari yang saya alami seminggu belakangan bersama Aksa.

Kejadian pertama.
Sekembali dari mudik, saya rutin membacakan tiga buku cerita berbahasa inggris yang saya beli di kota asal saya. Dari ketiga buku tersebut, hanya satu yang berbentuk touchables dan flappy, alias memiliki tekstur untuk diraba dan berjendela . Sengaja saya belikan yang touchables dan flappy karena saya menganggap minat baca Aksa tidak begitu tinggi. Sudah saya belikan beberapa buku dan membacakannya, tetapi hanya sejenak Aksa bisa duduk manis di depan buku. Selanjutnya, ia pergi meninggalkan saya, duh…

Dengan buku berjendela ini, ternyata reaksinya sedikit berbeda. Ketika saya ajari cara membuka jendela dan meraba teksturnya, dia memperhatikan dengan tekun. Hingga akhirnya dia fasih lift the flap sendiri. Karena melihat dia tertarik, setiap hari saya targetkan untuk selalu membacakan ketiga buku tersebut, entah itu siang, sore atau malam. Pokoknya kalau ia terlihat mulai mengacak-ngacak rak buku ayah ibunya (Aksa gemar menjatuhkan buku di rak satu per satu), saya manfaatkan untuk membuka buku dan mendongeng.

Belum sampai seminggu, hasilnya sudah terlihat. Saat itu saya sedang sibuk di dapur, Aksa juga sibuk bermain dan mondar-mandir sambil bersuara. Tiba-tiba, situasi hening. Saya pun menengok ke belakang, dan Aksa sedang membuka-buka buku sendiri dengan serius..! Tak terkira senangnya hati ini, akhirnya Aksa mau membaca buku atas keinginan sendiri. Dan, di sekitarnya pun tidak terlihat buku berserakan. Artinya, Aksa sudah tahu buku apa yang ingin dia ambil dan dimana letaknya.

Ternyata kegiatan berulang memang mudah diingat. Mungkin dulu saya terlalu cepat putus asa ketika membacakan buku dan Aksa malah melarikan diri dari saya dan main bola, hehe… Bisa jadi bukunya kurang menarik, cara membaca terlalu datar, atau timingnya salah. Sekarang Aksa sering menyodorkan buku flappy tersebut kepada  saya, tanda minta dibacakan J

Kejadian kedua.
Beberapa hari lalu, Aksa mendapat hadiah sepeda dari omnya suami saya. Tentu saja kami senang, karena stroller sudah tidak sesuai lagi dengan kemampuannya sekarang. Karena jalan depan rumah banyak lubang dan becek, saya masih “menahan” sepeda itu untuk dipakai di rumah dulu saja..maklum barang baru, hehe..

Bersepeda di dalam rumah tentu saja tidak bisa melihat apa-apa, hanya mendapat the sense of riding saja untuk Aksa. Akhirnya, sambil mendorong sepeda tersebut, saya menyanyi, atau mengajak Aksa bicara (a.k.a bercerita, karena Aksa belum bisa bicara).

Saat itu saya sedang lelah, maka sambil duduk saya tarik dorong Aksa diatas sepedanya sambil mengucap “Se-pe-da” berulang-ulang. Mungkin ada sekitar 15 menit saya mengucapkannya. Kemudian iseng-iseng saya tahan kalimat saya, “se-peee…” dan Aksa ternyata melanjutkan “daaaa..”.

Saya pun kembali takjub, karena selama ini Aksa baru bisa mengucap kata ayah, owoh haijah (Allahu akbar), dan atuh (jatuh). Akhirnya, selama 15 menit berikutnya, saya mengulang kata “sepe..” dan Aksa melanjutkan “..daa”. Sampai akhirnya sesi bersepeda pun usai.

Keesokan harinya, ketika saya bercerita pada suami, suami pun mengetes Aksa. Ternyata Aksa masih bisa mengingatnya! Pantas saja ketika Aksa di rumah eyangnya, ia bisa mengucapkan Allohuakbar..ternyata karena eyang putrinya melatihnya setiap hari tanpa saya sadari..

Kini, saya lebih optimis dalam mengajari Aksa segala sesuatunya. Selama ini tampaknya saya mengajarinya random things, pokoknya berbicara tapi tak berpola.. Ujung-ujungnya jealous karena anak sepupu sudah bisa ini itu sementara Aksa belum, hahaha…

So, don’t underestimate your kids’ ability… Kita tidak tahu, apalagi keajaiban yang akan ditunjukkannya besok, lusa, dan seterusnya, hanya karena ia melihat, mendengar, dan mengulang apa yang kita ajarkan J

See the published version at http://mommiesdaily.com/2014/09/15/melatih-memori-anak/


Manajemen Waktu Luang


Sebagai seorang stay-at-home mom, terkadang waktu luang menjadi sesuatu yang sangat langka dan berharga. Ketika si kecil tidur, secepat kilat saya ke dapur, memasak untuk makanan hari itu berikut acara cuci piring. Rumus “ikutan tidur kala anak tidur” jelas bukan buat saya, karena yang ada malah tugas domestik yang menumpuk dan situasi yang tidak kondusif ketika saya berusaha mengerjakan tugas rumah tangga ketika si kecil terbangun.

Dalam kondisi menemani anak, saya sering membayangkan apa yang ingin saya lakukan ketika break time datang (alias ketika anak sudah tidur, hehe). Sederet daftar di kepala saya menunggu untuk dieksekusi. Mulai dari menulis jurnal harian, browsing situs favorit, membaca buku, sampai olahraga pun sudah tidak sabar saya lakukan .

Masalahnya, waktu untuk melakukan hal-hal diatas selalu tersedia, namun kenapa ya saya jarang bisa membubuhkan centang tanda done?

Seminggu ini saja deh, saya mencoba mengingat kembali apa yang saya lakukan di waktu saya bebas tugas. Oke, yang pertama adalah makan malam sambil menonton televisi. Makan malam ini sebetulnya selesai dalam waktu sekitar 30 menit, tapi kemudian iseng-iseng pencet remote eeh…nemu acara yang bagus. Lanjut deh nonton tv nya…

Tiba-tiba perut terasa lapar lagi. Maklum, ibu menyusui J Akhirnya masuk dapur lagi, entah bikin omelet, mie instan, atau buka kulkas dan ngemil coklat. Tidak lupa, buka-buka gadget sekadar untuk mengecek bbm dari teman, update status, atau twitter. Pada saat itu, sudah buyar semua wishing list yang disusun pada siang harinya (atau siang hari selama 6 hari berturut-turut, haha..).

Pernah juga, tekad sudah bulat untuk menulis beberapa materi untuk mengisi blog. Laptop sudah menyala, tv sudah dimatikan, bb sudah dijauhkan. Come on, let’s do it pikir saya. Cari-cari inspirasi, saya membuka drive  komputer dan mendadak ingin membuka folder “film dokumenter” yang suami saya copy dari temannya dan belum sempat saya tonton. Klik klik, dan saya pun akhirnya menonton film saudara-saudara… T.T  Sampai akhirnya suami pulang kantor, ngobrol bareng tentang what we’ve had that day, kadang sambil menonton tv dan makan (lagi!), lalu tidur..

Sebenarnya, saya sadar ketika memilih untuk melakukan hal-hal diatas. Pembelaan saya adalah, saya berhak menghibur diri saya, menikmati leisure time and me time setelah seharian berkutat dengan urusan rumah, dapur, dan tentu saja si kecil yang sedang gemar-gemarnya membating barang dan mengeksplorasi benda-benda di dapur.

Dan pada akhirnya ketika rasa kantuk itu datang, saya tersadar bahwa pilihan saya hari itu…tidak salah sih… Hanya saja, durasinya bisa diatur lagi agar lebih banyak hal produktif yang bisa dilakukan. Kelak, saya sendiri kan yang merasakan kepuasan itu?

Sempat saya merasa bahwa anak saya lah yang membuat saya tidak produktif dan kehabisan waktu, karena merawatnya sejak ia lahir, menapaki setahun pertama hidupnya adalah sesuatu yang amazing yet challenging, menguras semua energi, pikiran, dan kesabaran yang saya miliki.

Tapi itu salah.

Saya sendiri lah yang ternyata mengambil keputusan untuk sedisiplin apa dengan waktu yang saya miliki. There are great moms out there, yang tetap bisa berkarya di rumah dan di luar rumah, karena pilihan maupun keadaan, DAN karena mereka mampu menjalankan manajemen waktu dengan baik.

So, sekarang  saya mengubah strategi. Alih-alih membuat daftar yang panjang, saya buat target harian. Misal, nanti malam saya mau menulis. Titik. Sehingga kalau waktu luang tiba, saya tahu harus apa. Dan saya pun bisa menikmati me-time tanpa rasa bersalah lagi… J