www.kaskus.co.id |
Sebagai orang yang tumbuh di lingkungan
yang individualis, kepindahan saya ke rumah baru setelah menikah merupakan hal
yang awalnya cukup mengganggu. Bayangkan saja, yang biasanya berpapasan dengan
tetangga cuek saja (karena tidak kenal), sekarang harus berbasa-basi. Minimal
senyum deh.. kebetulan lingkungan tetangga yang baru ini sangat berbeda.
Orang-orang saling menyapa satu sama lain, bahkan saling bersahut-sahutan.
Bukannya antisocial, namun ada perasaan
tidak pede ketika melewati segerombolan ibu-ibu yang tengah asyik mengobrol,
yang belum benar-benar saya kenal. Akhirnya , pulang kerja pun saya hanya
sekadar bilang “mari Bu”, lalu buru-buru masuk dan mengunci pagar. Pernah sih,
saya diajak untuk rujakan bareng sambil ngobrol, tapi saya keburu takut mati
gaya. Akhirnya saya tolak deh, hehe…
Belum lagi masalah anak-anak yang banyaknya
minta ampun. Waktu itu saya sedang hamil. Tau sendiri kan, kalau hamil itu
bawaannya sensitif sama yang serba berlebihan. Lebih bau, lebih wangi,
dan…lebih berisik. Menjelang tahun baru, bunyi terompet siang malam di depan
rumah cukup membuat emosi. Mau diingatkan kok tidak enak, orang anaknya
tetangga saya. Apalagi saya orang baru, salah-salah malah dapet musuh..!
Namun,
semua itu berubah sejak saya melahirkan dan memutuskan untuk berhenti kerja.
Sempat saya ragu, apakah saya bisa survive di lingkungan baru yang sangat
berbeda, hanya berdua dengan suami merawat bayi kami?
Kenyataannya ternyata jauh di luar
banyangan saya. Lingkungan yang selama ini saya klaim tidak cocok untuk saya,
malah kemudian menjadi sesuatu yang sangat saya syukuri keberadaannya.
Setiap pagi, saya harus keluar rumah untuk
menjemur Aksa, anak saya. Interaksi dengan tetangga pun tidak dapat dihindari.
Ternyata, mereka sangat ramah dan welcome.
Kami pun jadi kerap mengobrol. Bahkan, beberapa dari mereka menawarkan diri
untuk menjaga Aksa jika suatu saat saya ada keperluan yang harus diselesaikan. So sweet, eh?
Begitu sore harinya, beberapa kali saya
bergabung dengan sejumlah ibu yang sedang mengobrol –aktivitas yang selama ini
saya kurang nyaman melakukannya. Tentu saja tidak untuk bergosip yaa..(tapi
mendengarkan gossip iya, hehe). Dari mereka, saya mendapat banyak informasi,
mulai dari bidan yang bagus di dekat rumah, biaya sekolah, sampai jenis obat
dedaunan yang bisa dipetik di komplek kami.
Saya
pun jadi punya beberapa teman baru, sebut saja tukang jamu, mas-mas penjual
roti keliling, anak-anak tetangga, termasuk ART mereka, haha… Semua perubahan ini hanya gara-gara satu hal,
mempunyai anak.
Kini, ketika Aksa sudah setahun lebih,
sudah bisa berjalan dan bersosialisasi, lingkungan yang didominasi oleh
anak-anak ini menjadi suatu berkah untuk Aksa. Tentu saja, ia jadi bisa melihat
anak-anak seusianya dan yang lebih besar bermain. Walaupun belum bisa bicara,
saya tahu ia sangat menikmati suasana riuh ketika melihat anak-anak yang sedang
bermain. Lebih senang lagi, ketika ada kucing, burung, kupu, atau ayam yang seliweran
didepannya. Indah sekali dunia ini..
Bagi saya sendiri, lingkungan yang “ramai”
seperti ini cukup menenangkan hati jika sedang berdua saja dengan anak ketika
suami tugas ke luar kota selama beberapa hari. Serambi warung di sebelah rumah
merupakan meeting point bagi kalangan
ibu, anak-anak, maupun remaja. Sampai jam 10 malam pun kadang masih ramai.
Kalau lapar dan tidak bisa keluar, berbagai macam makanan dijajakan keliling
dari pagi sampai malam. Tinggal sebut saja deh… Kalau mati lampu malam hari, biasanya
anak-anak ramai-ramai keluar rumah, jadi enggak sepi..
Saya pun berandai-andai, jika Aksa tumbuh
di lingkungan yang individual, tentu akan sangat banyak hal yang ia lewatkan.
Meskipun, pada beberapa situasi, kita tidak bisa memilih lingkungan tempat
tinggal kita.
Hal ini bukan berarti saya menganggap
lingkungan seperti ini yang terbaik untuk anak, sementara lingkungan yang lain
kurang baik. Namun, lebih kepada bagaimana kita sebagai orang tua melihat sisi
positif dari setiap keadaan. Yang semula kurang menyenangkan bagi kita, bisa
saja pada akhirnya menjadi suatu hal yang kita syukuri. Atau sebaliknya.
Setuju?
See the published version at http://mommiesdaily.com/2014/09/25/rasyiknya-bertetangga/
0 komentar:
Post a Comment