Friday, December 30, 2016

Memilih Dokter Kandungan (Part 2: Jogja)


Tulisan ini adalah lanjutan dari Memilih Dokter Kandungan (Part 1: Cibubur)

Pada bulan ke-8, saya mudik ke Jogja karena berencana melahirkan di sana. Setelah sebelumnya bertanya pada teman-teman sekaligus survey biaya bersalin di Sakina Idaman, RSKIA Sadewa, dan Happyland, plus brosur JIH, saya memutuskan untuk memilih dr.Yasmini Fitriyati, SpOG di RSKIA Sadewa. Option awalnya adalah dr.Ova Emilia, SpOG di Happyland. Kebetulan sebelum menikah dan saat program anak pertama saya sempat periksa ke beliau. Orangnya lumayan irit bicara tetapi nothing’s wrong with that selama saya merasa informasi yang disampaikan mampu menjawab pertanyaan saya. Sayangnya biaya bersalin di Happyland di atas budget saya, so I had to remove her from the list.

Seperti dr.Ova, dr. Yasmini termasuk tidak banyak bicara tetapi entah mengapa saya merasa cocok. Orangnya terlihat sabar, penampilannya sederhana (malah cenderung cuek) tetapi komentarnya mencerminkan kalau dokter ini emang pintar. Kekurangannya cuma satu, kalau datang pasti ngaretnya di atas satu jam. Padahal, antrean di Sadewa itu menguji iman, haha.. Minimal 2,5 jam sekali antri, tetapi karena murah dan kualitasnya bagus saya bela-belain di RS ini. Sekali kontrol, saya menghabiskan paling banyak Rp 180.000 (tahun 2013) sudah termasuk USG dan vitamin. 

Sempat agak syok melihat selisihnya dengan di Permata Cibubur, karena vitamin yang diberikan ada yang sama persis. Mungkin jasa dokternya yang lebih murah. Orang Jawa bilang, ono rego ono rupo. Harga sebanding dengan yang kita dapatkan. Kalau antrinya sih sama lamanya ya sama dokter kandungan terkenal lainnya, hanya saja kemewahan rumah sakit, keterjangkauan lokasi, luas bangunan RS, dan kualitas USG yang berbeda.

Sayang sekali, ketika melahirkan saya tidak didampingi dr.Yasmini karena beliau masih menangani pasien di JIH. Meskipun ibu saya sudah ngomel-ngomelin suster “kok dokternya gak dateng-dateng” saya dibantu dengan empat orang bidan yang cukup sabar. Cuma satu bidan aja yang jutek di Sadewa, itupun saat saya masih bukaan satu, alhamdulillah. Nah, yang saya sayangkan, dr.Yasmini datang untuk menjahit setelah dua jam saya melahirkan. Wow banget lho rasanya, haha… Udah dua jam gitu, jaringan mungkin udah ada yang mengering ya walau dibius. Tampaknya yang menjahit memang tidakboleh bidan, so I had no choice. Malah ada RS yang bidannya pun gak boleh bantu ngelahirin tanpa ada dokternya, jadi seorang kenalan saya sudah mau ngeden disuruh nahan nunggu dokter..

Hari keempat pasca lahiran, saya menemui hal ganjil yang cukup bikin sakit di jalan lahir. Karena darurat, saya periksa ke dokter mana aja. Saya pun akhirnya bertemu dengan dr.Upik (dr. Supriyatiningsih, M.Kes, SpOG) di Happyland. Beliau juga praktek di Sadewa. Orangnya sangat ramah dan keibuan, dan sadar branding lho. Beliau memberikan kartu nama yang ada nomor pribadi, jadi bisa dihubungi langsung. Diagnosis beliau adalah, mulut rahim saya keluar, dan akan kembali seperti semula seiring dengan berlangsungnya masa nifas.

Ternyata, keesokan harinya, saya masih merasa kesakitan. Mengikuti feeling, saya pun memutuskan untuk kembali menemui dr.Yasmini. Karena saya mendadak datangnya, saya tidak mendapat antrean awal, dan kalau tidak salah beliau harus menangan operasi caesar. So, dengan membawa bayi saya yang saya taruh di mobil, I waited for five hours! Jam 11 malam saya bertemu dr.Yasmini dan hanya dengan sekali cek dalam, beliau mengetahui bahwa itu bukan mulut rahim yang keluar tetapi darah kotor sisa plasenta yang belum bersih sehingga harus dikuret.

Malam itu juga saya harus rawat inap karena esok pagi adalah jadwal kuretnya. Menurut beliau,   kondisi rahim saya tidak rata sehingga ada tempat buat “ngumpet” sisa plasenta. Wallahua’lam. Akhirnya saya dikuret oleh dr.Yasmini dan sekian episode pertemuan saya dengan beliau karena saya kontrol jahitan pasca kuret dengan dr.Ariesta di Sadewa (dr.Yasmini sedang cuti).

Semoga pengalaman saya bisa sedikit memberi gambaran para ibu hamil yang sedang mencari dokter kandungan ya J

Memilih Dokter Kandungan (Part 1: Cibubur)



Bagi sebagian orang, memilih dokter kandungan itu susah-susah gampang. Saya sendiri termasuk salah seorang diantaranya. Sebelum berlabuh di dokter kandungan pilihan, saya sempat loncat dari dokter satu ke dokter lainnya. Perpindahan tersebut pun ada yang karena saya tidak sreg, ada juga yang karena bentrok jadwal praktek semata. Berikut ini adalah beberapa dokter kandungan yang pernah saya kunjungi saat kehamilan pertama saya. Mungkin ibu-ibu yang berdomisili di sekitar Cibubur atau Citeureup bisa memanfaatkan tulisan ini sebagai pertimbangan memilih dokter kandungan, ya!

Awal mula kehamilan, setelah testpack menunjukkan hasil positif, saya mengunjungi RSIA Annisa di daerah Citeureup. Ini atas rekomendasi tante saya yang dulu semasa hamil pernah kontrol disana. Sayangnya, hanya ada dokter pria di RS tersebut. Karena saya dan suami benar-benar “buta” daerah tersebut karena baru saja pindah, saya akhirnya memilih dr. Amin. Kalau tidak salah, pada kunjungan kedua saya sekaligus berkonsultasi mengenai flek yang saya alami. Saat itu kehamilan saya masih di trimester pertama. Saya tidak ingat diagnosis beliau apa atas flek tersebut, tetapi saya cukup tidak puas. Saat beliau menulis resep, saya bertanya, “Berarti tidak perlu diberi obat penguat kandungan kan, Dok?”. Mendadak beliau meresepkan obat penguat kandungan setelah pertanyaan tersebut, tanpa penjelasan apa-apa. Saya jadi bingung dan makin tidak puas. Akhirnya obat saya tebus, tapi tidak saya minum.

Masih di trimester pertama, saya sempat diinfus setengah hari di klinik bernama Rumah Sehat Cikeas. Ternyata, kadar Hb saya rendah. Karena perawat dan dokternya perempuan, saya sempat bercerita tentang kebingungan memilih dokter kandungan di daerah tersebut. Lalu mereka menyebut dr.Ovy dan dr.Nurul yang praktek di RS Permata Cibubur.

Akhirnya saya pun menghubungi RS tersebut setelah sempat browsing profil dokter spesialis kandungan di website www.rspermatacibubur.com. Sayangnya, untuk bertemu dr.Ovy (Dr.dr. Dwiana Ocviyanti, SpOG (K) saya harus daftar sebulan sebelumnya. Beliau ternyata cukup kondang dan sibuk, saya melihat ia juga mengasuh sebuah rubrik konsultasi di Majalah Femina, kalau tidak salah. Saya pun kemudian memilih dr.Suci karena melihat CVnya yang bagus.

Pertama kali kontrol di RS Permata Cibubur dengan dr. Tri Pratiwi Suci, SpOG, saya langsung cocok. Selain karena dokternya ramah dan bisa menjawab pertanyaan saya, tempatnya pun nyaman (ya iya lah, harganya 3x RSIA Annisa). Tahun 2013, sekali kontrol dengan USG dan vitamin saya harus membayar sekitar 400ribuan. Tahun 2016, hanya kontrol dan USG tanpa vitamin harganya sudah 380rb.


Sayangnya, jadwal praktek beliau yang malam hari membuat suami kesulitan mengantar saya ketikamendapat shift malam. Saya pun berganti ke dr.Nurul Afriana, SpOG yang praktek di pagi hari, atas rekomendasi dokter di Rumah Sehat tadi dan salah seorang teman kerja. Alhamdulillah, saya cocok dengan dr.Nurul karena penjelasannya enak, semua pertanyaan pun dijawab, dan orangnya lumayan tegas. Hingga usia kehamilan 8 bulan, saya rutin kontrol ke dr.Nurul. Oya, dr.Nurul ini juga praktek di Jatisampurna, karena teman saya pun dengan beliau di RS tersebut. 

Bulan berikutnya saya pindah ke Jogja, baca lanjutannya di sini.

Thursday, December 1, 2016

Memasukkan Anak ke Pesantren, Ya atau Tidak?

www.youtube.com


“Apakah salah jika saya mengirim kedua anak saya ke pesantren ketika mereka masuk usia TK?” tanya salah seorang peserta seminar yang saya hadiri Sabtu lalu. 

Ibu tersebut merasa risau lantaran ia dan suami merasa  bahwa lingkungan pesantren lebih aman dibanding lingkungan tempatnya tinggal in terms of raising kids, sementara orang lain dan keluarga besarnya “menuduh” ia hanya suka membuatnya tapi tidak suka membuatnya.

Soraya Haque yang menjadi pembicara dalam seminar Aku Bangga Menjadi Ibu tersebut memberikan jawaban yang cukup menenangkan: “Anda yang paling tahu anak Anda, jadi lakukan apa yang terbaik menurut Anda dan suami”.

Menurut Soraya Haque, terkadang kita dengan mudahnya menghakimi rumah tangga orang lain, sementara kita sendiri tidak mengkritisi apa yang terjadi di rumah tangga kita. Setiap pasangan memiliki style yang berbeda dalam membina perkawinan sehingga tidak ada formula yang jitu untuk menjadi ibu yang hebat, atau suami yang hebat karena kondisi keluarga yang berbeda-beda. 

Menurutnya, mengenali pasangan kita adalah hal pertama yang harus dilakukan, termasuk membuat kesepakatan bagaimana nanti perkawinan tersebut akan dijalankan, seperti pekerjaan dan pengasuhan anak, misalnya.

Mempercayakan pengasuhan anak di pesantren sekarang sudah banyak menjadi pilihan sebagian orangtua, apalagi dengan makin banyaknya pesantren modern dan boarding school yang tidak melulu mengajarkan agama. Kedekatan keluarga khususnya sang ibu dengan anak bisa membuat sebuah keluarga memilih sekolah pada umumnya daripada pesantren. Dari peserta seminar yang bertanya di atas, saya baru tahu jika anaknya bisa ditengok sebulan sekali dan pulang ke rumah setahun sekali. Jujur, kalau saya nggak akan kuat menjalaninya, haha..

Seorang peserta yang duduk di sebelah saya menambahkan, “Sekarang nggak jaminan kan mbak, kalau lulusan pesantren trus pasti sholehnya…”

Kalau itu memang di luar kuasa kita sebagai manusia sih. Sepupu saya dua kakak beradik, masuk pesantren sejak SD, tetapi outputnya berbeda. Yang sulung langsung gabung geng motor begitu masuk SMA negeri sementara si bungsu tidak. Tetangga saya keempat anaknya dimasukkan Pondok Gontor semua, dan anak kelima can’t wait to study there also padahal usianya masih 7 tahun. Rekan kerja saya bersuamikan alumni pondok pesantren. Testimoninya yang saya ingat adalah, suaminya pintar melakukan hal-hal domestik, tetapi secara batin tidak terlalu dekat dengan kedua orangtuanya. Semua ada plus minusnya dan tidak bisa dipukul rata.

Soraya Haque menambahkan, “Coba nanti kita bandingkan, katakanlah saat anak-anaknya berusia 17 tahun, antara anak-anak pesantren dan anak yang ibunya selalu ada di sekitar mereka. Biasanya yang di pesantren memang lebih mandiri.”

Hal-hal semacam ini memang menjadi pilihan kita sebagai orangtua. Menurutnya lagi, orangtua harus tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Dalam kasus pesantren tadi, pastilah orangtuanya memiliki pandangan yang jauh ke depan hingga rela mengorbankan waktu dengan anak-anaknya. Kalau saya pribadi, kenali anaknya terlebih dahulu. Saya lebih pro jika itu atas kemauan anaknya sendiri, sehingga ia akan menjalaninya dengan enjoy. Bukankah begitu?



Friday, November 25, 2016

EF 16.15: Simple Things That Moms Need


If you are a mom, you’ll understand quickly what my title means. We may think about the same things, such as me time, helpful husbands, and stuff. You may think of technology like smartphone and household appliances.

After more than a month living a life as a stay-at-home mom, I can feel every second and think clearly about what I do every day (if we work, time runs faster and we can barely digest what happened that day). Then, I feel so grateful for my life. The gratitude sometimes comes from things we didn’t notice because it’s so simple.

For me, here are the things:
1.     I wake up early but my son wakes up later than I do
     If I woke up at 5 (or earlier), I can do aerobic for 20 minutes, do my laundry, prepare something for breakfast, do the dishes –if there’s any. No, I don’t really sweep and mop unless the floor really needs it. After all is done, my son wakes up and I’m ready for him. Yeayyy…!
2.    My son takes a bath and has breakfast without any quarrel.
     Well, this is what I’m struggling with every day: asking him to take a bath and eat, and takes a nap. A good day means, he agrees to take a bath without I’m persuading him more than 15 minutes. Sometimes I use reward like gummy candies and it works for most of the time.
3.    Help from husband
     This can means: tidy up the bed, accompany our son when I’m so busy in the kitchen, or buy food if I’m too tired to cook. Anything I requested.
4.    Washing machine, sun rays, and softener
     I can’t explain why I love this combination and put them inside this list. It’s just washing, for God sake. For me, do the laundry using a washing machine and smell the fragrant of the detergent and the softener is really relaxing. I like to buy small sachet because I like to change the fragrant whenever I want. Don’t forget the sun rays. I become even more happier if all the laundry completely dry before Ashar. Yeayyy again…!

Well, it is simple right? I reconsidered to change the title Moms into “I”, but then I thought maybe some moms out there feel the same way.


What about you? You can write your simple things as a part of Blog English Club’s Friday Challenge, just like this post.

Thursday, November 17, 2016

Be Present, Solusi Cegah Anak Rewel


Semenjak memutuskan untuk resign, saya berniat untuk tidak kembali bekerja hingga saatnya melahirkan nanti. Sebetulnya lima bulan merupakan waktu yang panjang untuk kembali menjadi “pengangguran”, tetapi saya mempertimbangkan banyak faktor seperti kesehatan, repotnya memulai dari nol lagi di tempat kerja baru -itupun kalau ada yang mau mempekerjakan bumil dalam waktu singkat-, dan kembali meninggalkan Aksa di tangan orang lain selama saya bekerja. Hmm…faktor terakhir sebetulnya menjadi yang paling saya pikirkan. Kasihan juga Aksa hanya dapat “waktu sisa” dari ibunya. So, keputusan sudah bulat. Saya akan fokus di rumah.

Seperti masa-masa pascaresign yang sebelumnya, bisa bangun kapan saja itu suatu kenikmatan. Kalau dulu pada minggu kedua saya sudah resah karena merasa useless di rumah (waktu itu belum ada Aksa), kali ini saya bingung….mau ajak anak saya main apa? Sungguh, 24 jam itu waktu yang panjang untuk dihabiskan bersama seorang balita jika kita tidak punya rencana si anak mau diapakan. Apalagi saya juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik.

Saat saya masih jadi ibu rumah tangga dan Aksa masih berusia di bawah dua tahun, tampaknya bermain bersamanya tidak harus memutar otak seperti ini. Kalau mau tidur tinggal nenen saja, beres. Sekarang ketika ia sudah menjelang 3.5 tahun, kemampuan komunikasinya juga sudah semakin tinggi, waktu tidurnya berkurang, begitu juga dengan keinginannya yang makin beragam.

Ditambah lagi, semenjak pindah kesini, kami menjadi sedikit nomaden. Dua hari menginap di rumah ortu saya, hari berikutnya kembali ke rumah kontrakan, weekend di rumah mertua. Begitu kurang lebih yang terjadi setiap minggunya. Alhasil, “harta karun” Aksa tersebar di tiga rumah, haha.. Jadi, yang bisa saya lakukan hanyalah berimprovisasi ketika ia mulai bosan dan meminta video alias youtube.

 Kalau anak sudah minta video atau menyalakan tombol televisi, itu tandanya ia sudah bosan bermain…sendiri. Yap, betul. Terkadang ketika saya sibuk mencuci atau di dapur sementara Aksa bermain sendiri, saya sudah harus bersiap untuk bernegosiasi untuk tidak menyalakan televisi atau menonton video. Seringnya sih, anaknya sudah terlanjur rewel. Kalau sudah begini, saya hanya bisa memperbolehkan dengan batasan waktu, walau ketika waktunya habis dia belum bisa menepati janji. Akhirnya perang dunia deh.

Saya sempat berpikir, apa saya perlu membuat “lesson plan” aktivitas hariannya ya? Ada teman yang menyiapkan materi untuk anaknya, kurang lebih seperti homeschooling. Kalau mau lebih simple, browsing-browsing sedikit tentang aktivitas yang bisa dilakukan bersama anak juga bisa. Masalahnya, semuanya hanya sampai tahap pikiran saja. Kenyataannya ya…hari-hari yang sama terulang lagi dan lagi, haha…klise banget ya..

Meskipun demikian, ada satu kunci yang lumayan bisa menjamin Aksa tidak terlalu sering minta gadget dan televisi (dan kemudian rewel jika kita batasi) : be there with him. Istilah lainnya yang pernah saya baca, be present. Jadi, ketika anak mulai melakukan aktivitas seperti bermain, kita ikut bermain bersamanya. Begitu juga ketika ia minta dibacakan buku, main bola, merangkai puzzle, dsb. Be present-nya lahir batin ya… Maksud saya, jangan sambil pegang hp atau lainnya. Jadi benar-benar bermain bersamanya.

Kalau saya temani terus, nanti ada saatnya ia tidak keberatan kita tinggal istirahat sebentar. Saya biasa meminta ijin dulu, misalnya: “Aksa, habis ini Mama tiduran sebentar ya di kamar, punggung mama capek”. Setelah anak sudah puas main dengan kita, biasanya sih ia akan asyik main sendiri tanpa kehadiran kita. Seperti me time kali ya… Sering juga yang terjadi malah sebaliknya, kita mau nimbrung tetapi tidak diijinkan, hehe..

Be present seperti di atas memang efektif mencegah anak menjadi cranky, tetapi tidak efektif jika pekerjaan rumah tangga menumpuk. Takutnya kita malah menjadi gampang tersulut emosi jika anak tidak menuruti keinginan kita. Raga di depan si kecil, tetapi pikiran di setrikaan yang menumpuk. Nanti kalau si kecil tidak mau diajak mandi, yang keluar dari mulut kita seperti, “Ayo donk nak, ibu masih belum nyuci nih, belum ini dan itu, bla bla bla..” Jadi ujung-ujungnya nyalahin anak deh.
Karena itu, saya berusaha langsung cus urusan domestik di pagi hari sebelum si anak bangun. 

Kebetulan akhir-akhir ini ia bangun agak siang. Tetapi kalau rejekinya kita lagi berat bangun pagi dan anaknya pas bangunnya lebih pagi, ya…tergantung situasi. Kalau terlihat agak rewel, ya ditemani dulu sampai suasanya hatinya membaik. Lauk sarapan bisa minta tolong si ayah belikan dulu, cucian bisa nunggu barang 30-60 menit, yang penting mood Aksa bagus. Soalnya, kalau anak bangun tidur sudah disambut muka riweuh sang ibu, anak pun jadi ketularan nggak tenang. So, peluk-peluk cium dulu agar si anak happy.

Untuk saat ini, be present bisa menjadi solusi. Namun mulai bulan depan, saya ingin agar saya juga be creative agar anak saya bisa bertambah juga kemampuannya meskipun ia belum bersekolah. Sudah saatnya saya melihat-lihat pinterest, youtube, ataupun blogwalking untuk mencari inspirasi kegiatan edukatif yang bisa dilakukan dengan Aksa. Begitu juga dengan cek milestones untuk usianya. Kesibukan kerja, dilanjut kehamilan dan pindah rumah membuat saya sedikit melupakan hal-hal tersebut. Yang di perut saja kadang dicuekin, yang penting si dedek tidak kelaparan.

So, mari singsingkan lengan baju! Ini self reminder, biarpun tidak bekerja, hidup tetap harus terencana dan berkualitas donk. Apalagi sudah ada anak. Jangan sampai masa emas terlewat gara-gara ibunya malas, hehe..





Friday, November 4, 2016

Ke Perpustakaan Bersama Anak

Kembali ke Jogja, berarti bisa lebih sering pergi ke perpustakaan. Salah satu perpustakaan yang saya rutin kunjungi dulu adalah Perpustakaan Kota Yogyakarta alias Perpuskot, yang terletak di belakang Gramedia Jl Jend. Sudirman. Sengaja saya pilih hari kerja dan pagi hari untuk menghindari suasana yang terlalu ramai. Maklum, terakhir kali saya kesana awal 2016 sewaktu mudik, perpustakaan bagian anak ramai sekali. Karena hanya berupa ruang kecil berpartisi setinggi pinggang, saya pun tidak bisa leluasa membacakan buku untuk anak saya.

Selasa kemarin, saya, Aksa, dan ayahnya datang sekitar pukul 10 pagi. Parkiran motor sudah cukup ramai. Gazebo depan pun sudah terisi 50%, begitu juga dengan ruang baca lantai pertama. Saya langsung menuju resepsionis untuk mengaktifkan kembali kartu anggota saya yang sudah hilang semenjak saya pindah Bogor. Syukurlah, mereka berhasil menemukan akun saya dan memberikan kartu sementara. Mas petugasnya sempat takjub, saya mendaftar di urutan 161 alias masa-masa awal Perpuskot beroperasi. Ya iya lah, dulu ke perpus untuk mengisi masa-masa menganggur pasca lulus kuliah, sekarang kesini sudah sama balita. Sudah lamaaa sekali.

Singkat cerita, kami naik ke lantai dua. Tas sengaja tidak saya masukkan loker karena ukurannya kecil dan hanya berisi perlengkapan darurat semacam baju ganti anak, dompet, hp, dan biskuit mini. Tupperware saya bawa begitu saja.


Sofa diapit rak buku referensi
Begitu melihat bagian anak yang kosong, saya pun bersorak. Ini artinya saya dan Aksa bisa puas memilih dan membaca buku. AC-nya pun terasa dingin. Ternyata, suami dan anak sudah lebih dulu menemukan buku-buku bertema dinosaurus yang sedang digemari Aksa. Lumayan banyak, dari yang model pop-up, ensiklopedi, sampai yang minim ilustrasi untuk usia SD.

Sambil mencarikan buku Aksa, saya bisa mengamati lebih seksama koleksi buku anak yang ada. Koleksinya mayoritas buku terbitan dalam negeri. Buku referensi yang tebal dan terbitan baru diletakkan di rak khusus dekat sofa, sementara ensiklopedi jadul macam terbitan Widyadara diletakkan di rak display. Majalah anak semacam Bobo dan NatGeo Kids juga cukup banyak, sementara di sisi kiri pintu ada koleksi komik dan novel anak. Jadi, saya duduk di sisi kanan pintu yang lebih banyak buku cerita untuk balita hingga TK, termasuk boardbook. Ada juga buku impor walau hanya satu saf, kondisi masih bagus. Tampaknya usianya masih belum terlalu tua. Sementara buku pop-up sudah banyak yang rusak, bahkan ada buku yang pop-upnya hanya utuh di satu halaman saja. Memang perawatan buku semacam ini harus ekstra.

Ruangan yang cukup nyaman walau sempit

Yang diminati Aksa
Ada boardbook untuk batita semacam Halo Balita
Karena sudah mengantongi kartu anggota, saya pun mengambil dua buku berkode SR (hanya kode ini yang boleh dibawa pulang) dan turun ke lantai satu untuk mendaftarkan pinjaman. Sayang beribu sayang, komputer sedang bermasalah sehingga untuk sementara tidak bisa meminjam buku. Hiks..
Aksa pun mulai merengek minta biskuit karena lapar. Kami berdua pun keluar (ayahnya hanya mengantar lanjut ngantor) lalu menikmati biskuit sambil duduk di gazebo yang memang dipersiapkan untuk rehat sekaligus berinternet. Ini terlihat dari stop kontak yang tersedia berjajar, tong sampah di setiap gazebo, serta gerobak angkringan di dekat gerbang masuk. Dengan rerimbunan pohon yang cukup besar (daerah kotabaru didominasi bangunan Belanda dengan hehijauan yang cukup banyak) tidak heran tempat ini selalu ramai dikunjungi, khususnya oleh mahasiswa.

Tampak depan dan halaman parkir motor (mobil di luar gerbang)

Area gazebo yang teduh
Sambil menunggu dijemput, kami berdua pun masuk kembali ke perpustakaan. Saya meminta Aksa menemani saya melihat-lihat buku umum di lantai satu (walaupun saya juga ingin kembali ke lantai dua untuk menikmati majalah edisi terbaru, mulai dari Femina, Ayahbunda, hingga Intisari favorit saya). Namun Aksa yang gemar bertanya dan memanggil saya dengan suara nyaring jadi membuat saya tidak enak dengan pengunjung lain, hehe... Kalau ibunya mau menikmati perpustakaan, tampaknya anak harus dihandle ayahnya atau eyangnya ya...


Setelah dua jam di perpustakaan, saya dan Aksa pun pulang dengan senang. Cukup banyak buku yang saya bacakan untuknya tadi, hingga sinyal-sinyal bosan muncul. Lumayan, hari ini mengalihkannya dari gadget barang dua jam. Semoga bisa datang sebulan sekali, agar bisa jadi rutinitas namun tidak membosankan.

Wednesday, November 2, 2016

EF 16.14: About The Insurance


For me, this Friday Challenge topic is the most difficult topic ever. I planned to write my experience about insurance but it was too long to tell. Finally, I managed to make one. The due date was October 2, but hey I still want to write about it. I think it’s fine.

I used to have an insurance in 2005. I had it from the government along with an exchange program overseas. After I returned home, I deactivated the insurance. I was a student and I didn’t really understand what it’s for. My father had two actually, but in the end he had been disappointed by the insurance companies so he stopped both.

When I got married and moved to Bogor, one of my neighbors offered me to join Prudential. She explained quite clear about the benefit and when we would get the benefit of the insurance. At that time, I was interested but unfortunately my husband and I couldn’t afford the even the cheapest monthly payment. My husband’s office still covers some medical expenses for his family so we went on without having any extra insurance.

Now, in the era of BPJS, I and my family are covered by this government insurance. Just by paying less than Rp 100.000 a month for each family member, I feel quite safe. Although I seldom get the benefit directly (since I almost always go hospitals/clinics that don’t accept BPJS), at least I don’t feel worry if I got serious disease, which I don’t want that to happen. Some of my friends already got the benefit for their surgery and stuff, although it took months to wait.  

The last case, my sister’s baby was hospitalized in ICU. She hasn’t got the BPJS for the baby, because we didn’t know that we can apply for our baby when she's still in the womb. So, my sister's husband went to several government's offices and BPJS to make sure that he got backed up for paying the ICU (the daily cost is about 2-3 million rupiahs, and usually baby stays about 2 weeks minimum). After few days taking care of the documents, finally the baby is covered by Jamkesda. It is a kind of government's insurance and it depends on the regency's financial condition.

From this case, I conclude that insurance is really important, especially the medical one. If we can't afford the private one, we can use BPJS at least. For mother-to-be, don't forget to make an account for your baby in case my sister's case happens to us.

Friday, October 14, 2016

Weekday Getaway di Eastparc Hotel Jogja

Setelah seminggu lebih berkutat dengan acara packing dan unpacking pindah rumah, suami memberi hadiah istimewa: menginap di hotel. Yeayyy..! Kebetulan, kantornya memiliki voucher menginap di Hotel Eastparc Yogyakarta. Betul, ini ceritanya gratisan.

Lokasi hotel hanya sekitar 2 km dari rumah orangtua saya, dan tidak sampai 1 km dari rumah adik saya (inilah enaknya Jogja, mana-mana dekat). Saya sendiri tidak tahu Eastparc tergolong hotel bintang berapa, berapa rate harganya, dsb. Niat saya hanya ingin datang dan menikmati hidup di sana, haha..

So, saya, suami, dan anak datang sekitar jam 2 untuk check in. Saya sengaja meminta suami check in sendiri sementara saya dan anak yang sedang tertidur menunggu di mobil dulu karena tidak ingin menunggu terlalu lama di lobby (ada beberapa hotel yang membutuhkan waktu lumayan untuk mempersiapkan kamar). Ternyata, tidak sampai 15 menit suami sudah turun lagi dan kami pun langsung membawa barang-barang ke dalam hotel. Karena kamar berada di gedung belakang (gedung depan khusus untuk meeting rooms) sementara lift di basement hanya terhubung ke gedung depan, jadilah saya menggotong dua travel bag yang lumayan beratnya untuk bumil menaiki tangga ke lobby sementara suami membawa ransel sembari menggendong anak.

Sampai di lobby, sudah ada seorang mbak yang menyambut kami dengan ramah dan menunjukkan jalan menuju kamar. Si Mbak (mungkin dia customer relations dan sejenisnya) juga menjelaskan cara memakai kartu akses untuk memasuki area hotel, lokasi kolam renang dan sarapan untuk besok, serta sempat menyapa anak saya yang akhirnya terbangun. Saya merasa seperti tamu agung, hehe..soalnya di hotel lain nggak pernah disambut seperti ini.

Akhirnya kami pun naik ke kamar di lantai 5. Begitu melihat ke dalam kamar….wow. Di luar ekspektasi saya. Ukuran kamarnya terlihat cukup besar, dilengkapi dengan balkon. Oh ya, saya mendapat kamar tipe Deluxe Room, yang saat itu sedang promo dengan harga Rp 820.000 semalam. Tempat tidurnya terlihat mewah dengan dekorasi bantal suede merah dan coklat, belum termasuk bantal tidur 4 buah yang besar dan empuk.







Bagaimana dengan kamar mandi? Saya juga suka…! Pintunya seperti lemari, dengan dua tipe shower, posisi kloset yang ngumpet (terlindung tembok dan lukisan), toiletries yang lengkap (shower capnya pun dilengkapi karet rambut), hairdryer, dan….tali jemuran. Serius, ini pertama kali saya liat tali jemuran di kamar hotel (iya saya memang katro’ haha). Bentuknya seperti tombol alarm, ternyata kalau ditarik jadi tali. Bagus lah, bisa jemur baju renang basah disini.




Keluar dari kamar mandi, ada lemari yang cukup besar. Sisi kiri berisi safety box, laci untuk laundry dan sandal hotel, serta dua bathrobe. Sisi kanan berisi…setrika dan papannya! Saya kemudian membayangkan cucian kering yang menumpuk di rumah mertua. Kalau saja saya tahu ada setrikaan disini, saya setrika di sini sambil menunggu suami pulang kerja haha..



Ketika suami kembali ke kantor, tinggallah saya berdua dengan si anak di kamar. Mau berenang tetapi baju renang saya baru bisa diantar nanti malam. Akhirnya saya menyalakan televisi sambil mengetes keempukan bantal dan kasur, sementara anak saya membongkar tas mainannya ke lantai. Mendadak mata saya tertuju ke bawah TV. Ada dua benda yang belum saya amati, yaitu sekotak kecil bakpia dan timbangan digital. Saya pun dengan semangat mencoba timbangan. Bakpia saya coba di rumah setelah pulang, dan rasanya enak banget! Ukurannya memang relatif kecil tetapi sangat lembut, dengan 6 rasa. Merknya Bakpia Jogja dengan logo Tugu Jogja.



Untuk mencegah anak terhipnotis di depan layar televisi, saya pun mengajak Aksa keluar kamar melihat-lihat fasilitas hotel. Kami bertemu lagi dengan Si Mbak yang mengantar kami tadi, dan dia masih ingat nama anak saya lho. Kami pun melihat-lihat kolam renang dan memutuskan untuk bermain di playground. Playgroundnya bagus..! Selain mainannya lengkap, kondisinya pun bersih dan terawat dan asri. Kebetulan hari itu adalah Senin, sehingga hotel relative sepi dan semua fasilitas berasa milik sendiri. Sembari Aksa mencoba semua mainan di playground, saya melongok ke sebelah playground yang ternyata area kebun hidroponik. Baru esoknya saya tahu bahwa kebun ini sudah pernah panen beberapa sayuran untuk keperluan restoran hotel. That’s really cool. Beberapa kali pun saya sempat berpapasan dengan kupu-kupu di depan restoran dan lebah di playground.





Meskipun terinterupsi oleh hujan, saya cukup puas bisa mengajak Aksa bermain di playground dan berkeliling hotel. Acara selanjutnya adalah mandi sore (yang ini selalu butuh strategi, apalagi kamar mandinya bukan yang di rumah sehingga butuh ekstra bujukan). Alhamdulillah, setelah Aksa merasakan hangatnya air shower, ia malah tidak mau berhenti. Maaf ya, untuk kali ini prinsip hemat air saya abaikan, karena saya lihat ia mulai berani memasukkan kepalanya ke bawah pancuran. Biasanya kalau keramas pun harus menengadah agar wajahnya tidak terguyur air #emakgaktegaan.

Sorenya, kami masih sempat menikmati langit Jogja di teras dan mencari pesawat kesukaannya, nyemil sambil nonton TV, main di kasur, dan bermain mobil-mobilan dengan lintasan di bangku sebelah meja kopi, hingga ayahnya datang.

Keesokan harinya, kami turun untuk sarapan di Verandah Alfresco. Kebetulan ada rombongan dari Epson sehingga restoran terlihat cukup penuh. Untungnya di dalam lebih lengang (restoran ada yang di teras dan ada yang di dalam ruangan), sehingga kami memilih untuk di dalam saja dan tidak ada asap rokok. Setelah mengelilingi seluruh meja sajian, ternyata menu di teras dan di dalam berbeda. It means, pilihan menunya buanyaaaak sekali…! Sajian di teras mostly masakan nusantara seperti gudeg, bubur, nasi kuning, mie kuah (ada juga jamu dan wedang ronde), sementara di dalam lebih internasional seperti sosis, beef bacon, roti dan pastry, sushi, dimsum, takoyaki, dessert, sereal, dan jus buah.



Dengan modal perut bumil, saya cukup pede mondar-mandir makan berkali-kali, hehe.. Secara kelengkapan menu dan kesigapan pramusaji mengambil piring kotor, saya beri nilai 9. Secara rasa, saya beri 7,5 kali ya.. (suami saya malah menilai sajiannya tidak ada masalah dalam hal rasa). Buat saya sih kurang nendang sedikiiiit aja tastenya. Banyak makanan yang enaknya ketika disajikan meleleh atau sebaliknya, tetapi disajikan di suhu ruangan. Misalnya takoyaki. Karena sudah dingin, ya terasa adonannya gitu. Dessert muesli juga, karena tidak terlalu dingin jadi agak jemek-jemek di lidah. Di egg station, saya baru mau order sesuai topping pilihan, eeeh sudah dikasih yang jadi. Ketika dinikmati ya otomatis sudah tidak mengepul, sementara dalamnya kan creamy. Baiklah..

Beberapa menu yang saya suka adalah tomat yang diisi seperti keju parmesan dan ditutup mozzarella lalu dipanggang, tapi saya lupa namanya. Mie kuahnya juga segar (saat memilih toppingnya pun saya sangat terbantu oleh “chef” yang masih PKL), enggak rasa MSG, dan diantar sampai meja. Sushi juga cukup enak (dan saya bisa menikmatinya karena bukan daging mentah), salad yang diletakkan di gelas kecil, plus jus kiwi.



Setelah selesai makan, ada seorang customer relations yang mendatangi meja kami dan mengajak ngobrol, small talks sampai bertanya tentang kesan kami di hotel ini. Untuk hotel baru di Jogja, adanya petugas semacam ini cukup efektif untuk perkembangan hotel lho. Soalnya kalau mengisi kartu saran, tidak semua customer sempat ataupun bersedia.

Setelah itu kami kembali ke kamar untuk berganti baju renang. Thanks to the bathrobes, sehingga saya tidak perlu bawa baju ganti ke area kolam renang. Oh ya, sebelum sarapan, saya sempat melongok fitness center yang terletak di tepi kolam renang anak, sekaligus menjemput suami yang sedang menjajal fasilitas di sana. Tempatnya kecil tetapi cukup lengkap. Baik kolam renang maupun fitness center hanya ditujukan untuk tamu hotel, sehingga kita tidak bisa datang untuk berenang saja. Kolam renangnya ada dua bagian, untuk dewasa sedalam 1,2m dan untuk anak 0,6 meter. Ada perosotan untuk anak dan pelampung (tetapi bukan ban). Airnya pun bersih walau dikelilingi pepohonan. Setelah puas berenang, kami pun ke playground (karena suami saya belum sempat melihat).



Sampai di kamar, mata sudah berat rasanya. Setelah mandi, kami masih sempat makan (saya sempat power nap 30 menit) hingga akhirnya tiba saatnya check out.

Alhamdulillah, senang bisa dapat kesempatan menginap di Eastparc. Kalau ditanya apakah hotel ini recommended, saya jawab ya. Masalah makan, itu selera ya. Tapi pelayanan dan fasilitas, dua jempol deh. Sebanding dengan harganya (apaan, orang saya ga bayar). Hotel ini juga sangat ramah anak. Lokasinya pun strategis, dekat bandara, tempat makan pun tinggal memilih di seberang jalan. Mau McD tinggal melangkah 200 meter. Saya pun sempat melihat petugas hotel mengantar delivery HokBen untuk tamu hotel. 

Sip lah. 

Saturday, September 3, 2016

Welcome Back, Dear Me!



Rasanya sedikit sulit untuk memulai menulis lagi setelah vakum sekian lama dari dunia perbloggingan. Postingan terakhir saya adalah pada akhir Juni 2016, so it’s been more than two months. Tapi tidak apa-apa lah, never too late to start again.

Beberapa challenge dari BEC terpaksa saya lewatkan begitu saja karena sejak ramadhan saya divonis...hamil. It’s not surprising as I guessed before, but the change during pregnancy surprised me a lot. Meskipun sudah pernah hamil, saya merasa kehamilan yang kedua ini sepertinya lebih challenging. Lebih banyak muntah, dibumbui migren hebat, plus ngidam makanan ber-MSG, aduhhh..

Alhamdulillah sekarang sudah masuk trimester kedua so I hope I’ll be able to blog more. Ide cerita yang dulu-dulu sih sudah menguap entah kemana, tapi pasti akan banyak ide cerita baru. Cerita kehamilan? Mmm...kok enggak ada ide ya, hehe... Mungkin sudah pernah hamil jadi lebih cuek kali ya. Beda sama waktu hamil pertama dulu masih sempat browsing ini itu. Obsgyn cari yang oke walo kantong bolong, kalau sekarang bidan aja cukup. Karena dulu USGnya di obsgyn, jadi rajin koleksi foto USG. Kalo yang sekarang, diingat-ingat saja udah cukup.

Cerita traveling juga jadi berkurang, kagak ada review-reviewan tempat, secara naik mobil buat wikenan ke Jakarta aja mabok. Dulu wiken ga boleh nganggur, harus jalan. Syukur-syukur bisa dijadiin postingan. Sekarang, Sabtu-Minggu harus istirahat. Kalo enggak, Senin-Jumat enggak fit dan partner mengajar saya lah yang akan terkena imbasnya, hehe..

So, selamat menjalani kehamilan for all pregnant moms out there. Buat yang tidak hamil, saya minta doa saja semoga kehamilan ini lancar hingga persalinan. Aamiin..

Sunday, June 26, 2016

Melongok Kandang Artistik Taman Safari

Bulan Maret lalu, saya berjanji untuk membuat cerita bagian ke-3 dari Taman Safari Trip saya dan keluarga. Ternyata baru kesampaian sekarang, mohon maaf...

Jadi, kalau melihat binatang lewat mobil dan animal show sudah saya bahas di postingan yang lalu, kini saatnya saya bercerita tentang bagian lain dari Taman Safari yang saya suka, yaitu area kebun binatang. Jadi, kebun binatang ini membentang di sepanjang jalan. Setiap kali saya berjalan dari satu arena show ke arena lainnya, saya selalu melewati kandang berbagai jenis binatang. Berbeda dari kandang di kebun binatang pada umumnya, disini binatangnya diletakkan pada lokasi dengan desain menarik. Mari kita lihat:

Bersih, nggak seperti mau liat komodo
Keliatan kan komodonya?
Yang ini dalamnya ular
Saya cukup terpukau dengan tempat komodo ini. Dengan setting area tambang ala Wild Wild West, hewan-hewan didisplay di tempat yang artistik. Semula saya tidak tahu bahwa peti-peti kayu bertuliskan dinamit tersebut adalah kandang ular. Setelah saya melongok, olala..ternyata berbagai jenis ular sedang bergelung. Warna keseluruhan area ini match banget dengan hewan-hewan di dalamnya (ini bukan postingan OOTD kan?)


Monyet Jepang, sesuai namanya, diletakkan dalam kandang berbentuk beranda ala rumah adat Jepang. Sementara itu, Bekantan yang asal Kalimantan diletakkan di dalam rumah adat Kalimantan (lengkap dengan senjata dan perkakas khas borneo), namun dipisahkan oleh dinding kaca sehingga mereka tetap bebas bergelantungan dan kita aman melihat mereka.

Kandang Monyet Jepang
Sebagian display khas Kalimantan
Yang lumayan reachable adalah Binturong. Saya katakan demikian karena mereka seolah tidak diletakkan di dalam kandang, dan bisa saja melompat ke arah kita. Demikian halnya dengan buaya, mereka terlihat cukup santai berjemur di area berumput, sementara pengunjung melihat dari jembatan diatasnya. Sepintas terlihat bersih, mungkin karena pencahayaan yang terang ya...tidak seperti tempat reptil di kebun binatang lainnya yang biasanya temaram.

Can you find the crocs?
Jangan lompat ke saya ya!
Oya, ada pinguin juga lho! Tapi para pingu gak muncul-muncul, mungkin karena saya kesana menjelang jam 5 sore...jadi mereka sudah lelah dan istirahat. HP saya pun passs banget habis baterenya jadi tidak banyak yang bisa diabadikan.

Yang masih sejenis dengan pinguin adalah kolam lumba-lumba. Karena gagal masuk dolphin show, saya hanya bisa menikmati tempat pengunjung bisa berenang bersama lumba-lumba. Kebetulan kolam kacanya bisa dilihat langsung dari jalan. 

Berani berenang bersama mereka?
Penguins, where are you?
Tempat favorit lainnya: Meerkat!! Saya hanya pernah melihat meerkat di kartunnya Animal Planet tentang kampanye lingkungan. Ternyata aslinya imut banget....

Yang terakhir, saya suka dengan semua papan informasi di sini. Penyajiannya menarik dan mudah dicerna. Semoga kita tertarik membacanya ya....soalnya orang Indonesia itu kan...lebih suka....mmm...foto-foto, hehe...

Meerkatnya malah ketutupan
Lucu ya gambarnya? 
Singkat, padat, jelas.
Nah, kalau yang satu ini ceritanya lucu. Saat saya melintasi tempat bayi orangutan ini, saya tergoda untuk berhenti sejenak dan bercakap-cakap dengan bapak pawangnya. Saya tanya, "Umur berapa Pak?" (Orangutannya ya, bukan Bapaknya). 

Jawab sang pawang, " Satu setengah tahun". Sebagai ibu yang baru saja lulus menyapih anak, saya reflek dong bilang, "Wah, masih ASI donk!"

"Kalau ini udah selesai ASI. Bayi disini lepas ASI minumnya Bebelac. Kalau dua tahun ke atas ganti Dancow", jawab Si Bapak. Saya dalam hati tertawa, kaya manusia aja ya...!

Bayi orangutan peminum sufor
Sebenarnya masih banyak lagi yang bisa dieksplor but we're running out of time. Paling enak ya nginep di sana (ada hotelnya lho!) jadi bisa masuk pagi-pagi dan mencoba semua wahana. Kalau saya sih, ini saja sudah puas banget, hehe...

Oh ya, saya masih ada utang jawaban pertanyaaan di postingan pertama, yaitu kenapa signboardnya tiga bahasa (Indonesia, Inggris, dan Arab)? Ternyata ketika masuk ke dalam, saya banyak menemui turis asal Timur Tengah. Mungkin memang prosentasenya banyak kali ya, sampai bahasa ketiganya bukan Mandarin tapi Arab. Baiklah...sekian dari saya, hope you enjoy!

EF16.11: A Dream (BigFam) Holiday

Holiday.

I’m on my holiday....at home. For a working mom, resting at home really means something. Of course, I still have a dream to travel with my family for the next holiday, after we have enough budget haha...

So, when I visited BEC’s blog today and read the latest challenge, I decided to write the post immediately. I am a visual person, the five photos that BEC provides for this challenge made it easier for me to arrange my words. And....this is the pic I picked!


Yes, picnic with a bunch of people. 

This picture reminds me of my dream to have a trip with my big family. We only have a chance to get together, the complete set from uncles to grandchildren when: one of us get married or Lebaran. Fortunately, these four years my cousins (including me) got married one by one, so we had fun met up in ones’ wedding parties, with same-color kebaya, and family pictures! The stage is getting smaller to fit all of us because more of us have spouse and kids. Yeayy!

I can imagine how fun it would be if we all (my father and his 5 siblings, including their spouse, children, and grandchildren) go somewhere near but fresh (let’s say Kaliurang or Tawangmangu) to spend a night together. There are lots of new places in Jogja that are suitable for family vacation, too. 

But if I can set the bar higher, I’d like to choose Malang or Bandung, hehe... The kids will enjoy Batu Secret Zoo for sure. My parents and the pakdhe-budhe will also enjoy the family time since most of them now live separately from their married children. How wonderful to see everyone’s happy.

I hope this family-get-together will soon be realized J

Don’t forget to visit BEC’s blog, choose one pic, and write your story. It’s fun!

The Cousins.




Tuesday, June 7, 2016

Playdate at Taman Legenda TMII

Seminggu yang lalu, mendadak seorang teman SMA memasukkan saya ke dalam grup whatsapp Funtastic Legend Park. Ternyata, grup ini dibentuk untuk agenda playdate yang beberapa kali gagal terwujud. Alhamdulillah, akhir bulan lalu kami berhasil juga playdate plus reuni kecil-kecilan, walau hanya berempat (empat keluarga maksudnya..)


Lokasi? Taman Legenda TMII. Tidak sampai sejam dari rumah (apalagi berangkat di bawah jam 9 pagi). Terakhir ke TMII tahun 2005 saat masih kuliah, itu pun hanya ke anjungan-anjungan saja. Jadi, taman legenda ini termasuk baru, konsepnya seperti mini Dufan.

Karena bertepatan dengan akhir Ujian Nasional, Taman Mini lumayan penuh oleh bis rombongan murid sekolah. Saya sempat kuatir di Taman Legenda akan penuh sesak, tetapi tidak demikian. Mungkin karena harga tiketnya yang lumayan. Saya tidak membawa cash banyak, karena teman saya bilang tiket masuknya hanya 25-30 ribu saja. Ternyata, tiket tersebut belum termasuk tiket per wahana. Olala...

Daftar harga terpampang di atas loket. Sebaiknya tanya-tanya agar tidak salah pilih tiket masuk.

Jadi, ada tiket terusan Rp 150.000 untuk bisa menikmati semua wahana. Usia dewasa maupun anak dikenakan biaya yang sama. Ada juga tiket yang bisa di top up berupa gelang berwarna merah seharga Rp 50.000 yang terdiri dari Rp 25.000 tiket masuk, Rp 10.000 jaminan yang bisa di refund di akhir kunjungan, dan sisa Rp 15.000 untuk naik wahana. Harga tiap wahana bervariasi. Untuk komidi putar Rp 20.000, Taman Dino Rp 30.000, Bianglala Rp 20.000. Dengan sisa saldo di gelang hanya Rp 15.000, otomatis kita harus top up. Di dalam arena ada tiga tempat top up plus bisa cek saldo. Akhirnya saya dan teman-teman pun memilih membeli gelang dengan alasan yang paling ekonomis, plus anak-anak kami masih di bawah 6 tahun rasanya tidak mungkin menaiki semua wahana.

Satu hal yang saya tidak begitu suka dari Taman Legenda adalah, pengunjung tidak diperkenankan membawa makanan dan minuman dari luar. Petugas benar-benar membuka tas kita dan mengeceknya. Karena saya bukan tipe nego (haha), saya pun hanya bisa membawa sekotak roti tawar isi selai plus botol minum anak saya dengan alasan, "Anak saya tidak boleh camilan ber-MSG". Teman-teman saya masih berani membawa botol minum mereka masing-masing (ternyata boleh) apalagi yang membawa bayi dan stroller, biasanya isi tas tidak dicek. Akibatnya, saya sukses membeli 5 botol air mineral ukuran kecil yang dihargai @Rp 10.000 atau Rp 15.000/2 botol. Hiks..

Terlepas dari itu, saya menilai Taman Legenda cukup cocok untuk playdate. Saya suka lokasinya yang bersih, ukuran tidak terlalu luas sehingga anak tidak mudah lelah berjalan kesana kemari. Musholanya juga bersih. Mungkin karena masih baru jadi lumayan terawat.

Pintu masuk Taman Dino: Sayapnya bisa mengepak lho!
Wahana pertama yang kami kunjungi adalah Taman Dino. Awalnya saya ragu anak saya berani masuk ke sini. Setelah dibujuk, Aksa masuk dengan ayahnya sementara saya menunggu di loket. Lima menit kemudian, Aksa setengah menangis lari kembali ke arah loket, bablas sampai gerbang Taman Dino. Waduh... Ternyata di awal wahana tersebut, ada dinosaurus yang menyemburkan air dan Aksa pun terkena sembur, haha... Dengan iming-iming Yupi dan setengah terisak, Aksa pun kembali masuk dengan ayahnya, saya ikut juga.

Taman Dino memang tidak besar tetapi cukup menarik. Suasananya mengingatkan saya akan Jurrasic Park, dengan semak-semak dan jalan setapak. Ukuran dinosaurusnya pun besar dan sebagian besar bisa bergerak dan bersuara. Saking miripnya, Aksa selalu memperlambat jalannya ketika mendekati jenis dinosaurus yang baru. Ada beberapa dinosaurus yang dilengkapi dengan lubang sehingga kita bisa masuk kedalamnya dan berfoto. Saat saya masuk masih pagi sehingga untuk berfoto tidak butuh antre yang lama, karena terkadang kita harus menunggu pengunjung lain untuk berfoto terlebih dahulu.

Lihat kan semburannya?
Looks like real
Ayo siapa mau jadi anak dino..
Saatnya mencari tulang belulang si dino...
Di akhir rute Taman Dino, ada arena pasir dengan kerangka dinosaurus dari batu sehingga anak-anak bisa berpura-pura menjadi arkeolog. Seru! Saya dan suami sempat menemani Aksa membuat istana pasir sampai kemudian dia berani berinteraksi dengan anak-anak teman kami. Saatnya para ortu ngobroool haha...Setelah main pasir, jangan lupa cuci kaki dulu ya...ada kamar mandi dan wastafel di area ini. Terdapat juga toko suvenir dengan koleksi cukup menarik.

Keluar dari Taman Dino, anak-anak minta naik komidi putar. Karena saldo habis, saya dan teman pun mengisi saldo di area kolam renang. Lumayan rempong ya, belum kalau antri. Kebetulan ada murid-murid SD yang ramai-ramai top up, tetapi tidak antri. Pusing saya kalau sudah begini.



Kolam renang alias Anak Tirta
Tempat kami makan siang: Kafe Barong
Alhamdulillah, komidi putar berhasil dinaiki walau hanya sekian menit selesai. Karena sudah siang, kami mampir di Kafe Barong. Bentuknya seperti pendopo, dengan view menghadap kolam renang. Dan....untuk membeli makanan kami harus memakai saldo gelang lagi! Top up lagi deh...sangat-sangat tidak praktis, sebaiknya memang beli banyak sekalian saldonya, toh nanti bisa di refund kalau sisa. Baiklah, kami pun memesan makanan yang semua dihargai Rp 35.000 (kecuali snack). Menunya seperti soto, rawon, gado-gado sampai yang internasional seperti steak dan nasi katsu. Rasanya lumayan menurut saya, hanya saja seorang teman tidak menghabiskan sotonya karena minyaknya saaangat banyak.

Mobil tanjak
Sambil makan, kami pun ngobrol. Anak-anak bermain di sekitar pagar kolam renang, sementara Aksa nongkrong saja diatas Mobil Tanjak. Akhirnya saya pun luluh mengajaknya naik mobil yang digenjot tersebut. Untungnya masih ada saldo Rp 15.000, pas untuk 15 menit sekali naik. Ternyata, menggenjot mobil itu berat saudara-saudara! Saya aja nih yang kurang olahraga, tapi saya cukup suka karena bisa berkeliling Taman Legenda, yang mungkin saya tidak tahu seberapa luasnya karena tidak menaiki semua wahananya. Dengan naik Mobil Tanjak, saya jadi tahu ada kuda dan lapangan untuk gathering di area ini.

Konter refund. Rak di belakang adalah untuk menitipkan makanan yang terlanjur dibawa pengunjung tetapi tidak boleh dibawa masuk.
Sekitar jam 2, kami memutuskan untuk pulang. Beberapa dari anak kami sedang pilek, jadi mungkin it's time to rest. Sebelum pulang, kami sempatkan menonton Film Keong Emas di Teater Legenda yang gratis. Tidak lupa kami tukar gelang dengan jaminan Rp 10.000 dan sisa saldo. Quite a fun for today!

Penasaran dengan toilet dan musholanya? Inilah fotonya:


Wastafel dan toilet di Taman Dino
Musholla di dekat Museum Asmat