“Apakah
salah jika saya mengirim kedua anak saya ke pesantren ketika mereka masuk usia
TK?” tanya salah seorang peserta seminar yang saya hadiri Sabtu lalu.
Ibu
tersebut merasa risau lantaran ia dan suami merasa bahwa lingkungan pesantren lebih aman dibanding
lingkungan tempatnya tinggal in terms of
raising kids, sementara orang lain dan keluarga besarnya “menuduh” ia hanya
suka membuatnya tapi tidak suka membuatnya.
Soraya
Haque yang menjadi pembicara dalam seminar Aku Bangga Menjadi Ibu tersebut memberikan
jawaban yang cukup menenangkan: “Anda yang paling tahu anak Anda, jadi lakukan
apa yang terbaik menurut Anda dan suami”.
Menurut
Soraya Haque, terkadang kita dengan mudahnya menghakimi rumah tangga orang
lain, sementara kita sendiri tidak mengkritisi apa yang terjadi di rumah tangga
kita. Setiap pasangan memiliki style
yang berbeda dalam membina perkawinan sehingga tidak ada formula yang jitu
untuk menjadi ibu yang hebat, atau suami yang hebat karena kondisi keluarga
yang berbeda-beda.
Menurutnya, mengenali pasangan kita adalah hal pertama yang
harus dilakukan, termasuk membuat kesepakatan bagaimana nanti perkawinan
tersebut akan dijalankan, seperti pekerjaan dan pengasuhan anak, misalnya.
Mempercayakan
pengasuhan anak di pesantren sekarang sudah banyak menjadi pilihan sebagian
orangtua, apalagi dengan makin banyaknya pesantren modern dan boarding school yang tidak melulu
mengajarkan agama. Kedekatan keluarga khususnya sang ibu dengan anak bisa
membuat sebuah keluarga memilih sekolah pada umumnya daripada pesantren. Dari
peserta seminar yang bertanya di atas, saya baru tahu jika anaknya bisa
ditengok sebulan sekali dan pulang ke rumah setahun sekali. Jujur, kalau saya
nggak akan kuat menjalaninya, haha..
Seorang
peserta yang duduk di sebelah saya menambahkan, “Sekarang nggak jaminan kan
mbak, kalau lulusan pesantren trus pasti sholehnya…”
Kalau itu
memang di luar kuasa kita sebagai manusia sih. Sepupu saya dua kakak beradik,
masuk pesantren sejak SD, tetapi outputnya berbeda. Yang sulung langsung gabung
geng motor begitu masuk SMA negeri sementara si bungsu tidak. Tetangga saya
keempat anaknya dimasukkan Pondok Gontor semua, dan anak kelima can’t wait to study there also padahal
usianya masih 7 tahun. Rekan kerja saya bersuamikan alumni pondok pesantren.
Testimoninya yang saya ingat adalah, suaminya pintar melakukan hal-hal domestik,
tetapi secara batin tidak terlalu dekat dengan kedua orangtuanya. Semua ada
plus minusnya dan tidak bisa dipukul rata.
Soraya
Haque menambahkan, “Coba nanti kita bandingkan, katakanlah saat anak-anaknya
berusia 17 tahun, antara anak-anak pesantren dan anak yang ibunya selalu ada di
sekitar mereka. Biasanya yang di pesantren memang lebih mandiri.”
Hal-hal
semacam ini memang menjadi pilihan kita sebagai orangtua. Menurutnya lagi,
orangtua harus tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Dalam kasus pesantren tadi,
pastilah orangtuanya memiliki pandangan yang jauh ke depan hingga rela
mengorbankan waktu dengan anak-anaknya. Kalau saya pribadi, kenali anaknya
terlebih dahulu. Saya lebih pro jika
itu atas kemauan anaknya sendiri, sehingga ia akan menjalaninya dengan enjoy. Bukankah begitu?
0 komentar:
Post a Comment