Saturday, April 22, 2017

Inna Garuda: Hotel Tua Nan Ramah

Bertahun-tahun tinggal di Jogja, tentunya Hotel Garuda tidak asing bagi saya. Saat namanya masih Natour Garuda, hotel ini menyimpan banyak memori. Sewaktu SD saya selalu ikut lomba menghias perangko di halaman parkirnya, termasuk parkir di hotel ini kalau lahan parkir di Malioboro Mall penuh, sampai solat di musholla karyawan yang ternyata sangat luas saat saya menjadi interpreter seorang tamu hotel. Persamaan semua pengalaman itu adalah: saya tidak pernah menginap di sana.

Awal bulan lalu, suami mendapat voucher menginap di Inna Garuda (begitu namanya sekarang) dari kantornya. Saya tentu saja semangat donk, hehe.. Selain karena termasuk hotel berbintang, saya juga penasaran dengan kondisinya saat ini. Tahu sendiri, pemerintah kota ini hobi banget ngijinin hotel baru sampai gang senggol pun ada hotel berbintangnya (dan cari taman kota buat anak aja susah #curcol). Dengan gempuran hotel-hotel baru tersebut, apakah Hotel Garuda masih tetap “wah” seperti imagenya di waktu dulu?

Well, I guess so.

Saya sudah menyiapkan mental sebetulnya, untuk mendapati “ketuaan” hotel ini. Pernah saya mendengar dari seorang rekan jika ada beberapa sudut kamar yang sudah lusuh karena usia. I won’t expect much then walau sejelek-jeleknya hotel bintang 4 harusnya tetap bagus kan..

Sampai di sana, parkirnya memang outdoor. Di musim hujan begini, saya dan suami tidak mau mengambil resiko butuh barang dan harus berbasah-basah ke mobil. Mending gotong aja semua printilan bayi dan balita ke kamar. Efeknya, kami harus minta bantuan bellboy untuk mengangkut barang bawaan kami sampai troli sangkar burungnya penuh. Alhamdulillah..

Sambil menunggu suami check in di resepsionis, saya menunggu di lobi yang saat itu memang sepi banget walaupun hari itu adalah Minggu. Ternyata saya tahu dari bapak doorman kalau kemarin mereka kedatangan 11 bus rombongan Bank BRI. Ooh gitu, berarti bisa disimpulkan hotel ini masih banyak peminatnya. Saya bersyukur menginap saat sepi begini, karena saat sarapan bisa lebih leluasa begitu juga besar kemungkinan untuk bisa berenang tanpa rasa risih.

Saat kami naik lift menuju kamar, kami sempat berpapasan dengan seorang bellboy yang sudah bapak-bapak. I guess he’s around 45. Ini pertama kalinya menemui karyawan berusia senior di hotel berbintang (berarti hotel ini masih menghargai dedikasi karyawannya). Beliau ramah dengan membuka percakapan yang membuat saya merasa “saya benar-benar di Jogja”. Atau, bisa juga karena saya orang Jogja jadi ada sejenis language connection di situ. Ya, intinya, bapak ini ramahnya tulus menurut saya.



Sampai di kamar, yeayyy..! Bagus kok hotelnya. Karpet yang biasanya menjadi ciri khas hotel berbintang tahun 90an sudah berganti parket, walaupun meja di samping tempat tidur masih original, termasuk teleponnya. Saat ingin mematikan AC (bayi saya tidak kuat dingin), saya mencari remote dan…tidak ketemu. Ternyata kontrol AC ada di meja nakas, berupa tombol putar off-low-medium-high. Si sulung pun iseng memutar-mutarnya dan ternyata…tombolnya lepas. Untungnya masih bisa dipasang lagi dan masih berfungsi dengan baik.



Kamar mandi (I did hope that it was not shower only seperti hotel kekinian or my baby wouldn’t be able to take a bath) alhamdulillah ada bath tub nya, dan kondisinya bagus. Overall, masih ada kesan luxurious di kamar ini, sampai ke kamar mandinya. Amenitiesnya memang biasa saja: sabun, sampo, shower cap, sikat gigi, sewing kit. Tidak ada bath gel untuk berendam, sisir, dan laundry bag tetapi ada hair dryer. Tisu juga hanya tersedia di kamar mandi.

Sekarang, saatnya melihat ke jendela. Ternyata kamar kami menghadap ke kolam renang! Langsung pengen nyebur rasanya karena sama sekali tidak ada orang. Karena di luar masih terik, kami leyeh-leyeh dulu saja sambil melihat channel apa saja yang ada di TV. Saluran TVnya lengkap hanya kurang jernih saja gambarnya.


Sorenya, kami turun ke kolam renang di lantai tiga. Ada dua keluarga dengan anak-anak yang sudah sibuk bermain air. Suami menemani Aksa berenang hingga pukul 5 sore, sementara saya di kamar dengan Argi yang tidur nyenyak. Saat suami kembali, gantian saya menikmati me time berenang sendirian hingga adzan Maghrib. Pool areanya memang tidak besar tetapi bersih, dengan changing room dan spa kecil di salah satu sisi.

Oya, kebetulan saat menuju kolam renang saya sempat satu lift dengan seorang bapak bellboy yang lagi-lagi ramah juga. Ia bisa membuka pembicaraan tanpa saya merasa dikepoin, haha… So far, saya merasa mereka membuat atmosfer hotel ini menjadi hangat J

Sehabis solat, suami dan Aksa sempat jalan-jalan di Malioboro. Niatnya sih mencari makan malam, tetapi yang ada hanya lesehan. Akhirnya kami sepakat untuk pesan makanan via GoFood, setelah sorenya diganjel Pop Mie hehe.. Pilihan GoFoodnya pun banyak sekali karena dekat dengan Malioboro Mall. Itulah yang menurut saya menjadi kelebihan dari hotel ini: lokasinya yang berada di Jalan Malioboro. No wonder harga deluxe room yang kami tempati 700 ribuan untuk weekdays dan 900 ribuan untuk weekend.
Suasana restoran
Sambalnya lengkap!
Sop melati yang segar

Masih ada manisan salak lho!

Paginya, kami sarapan sekitar pukul 8 pagi. Restoran yang bernama Malioboro something ini terletak di sebelah lobby lantai dasar. Ukurannya lumayan besar dan terbuka, dan pilihan makanannya pun lengkap. Menu standar seperti roti, salad, sereal, omelet jelas ada, termasuk yang khas Jogja yaitu gudeg serta jamu. Kesan saya adalah, makanannya enak! Dibandingkan dengan Eastparc (yang terakhir saya kunjungi) yang variasinya hampir dua kali lipat Inna Garuda, rasa makanan disini lebih nendang. Favorit saya adalah: omelet, puding roti, dan sop melati. Sop melati berisi sayuran segar seperti wortel, bunga kol, brokoli yang kita pilih sendiri dengan kuah yang gurih. Pokoknya enak deh. Yang failed hanya satu: nasi putih. Entah mengapa nasi putih yang saya makan kok keras, seperti belum matang…

Selesai makan, kami sempat duduk-duduk di lounge sambil baca koran, membaca sejarah hotel garuda, transformasinya sejak jaman Belanda hingga sekarang (betul, hotel ini sejak dulunya memang hotel dan masih mempertahankan bangunan aslinya), juga melewati beberapa fasilitas seperti business center, salon, drugstore, dan berpapasan dengan beberapa PNS yang menghadiri seminar sebuah dinas di lantai dua. Sampai di kamar, suami saya sudah mengambil jatah tidur duluan, haha…memang kalau menjelang check out itu kok bawaannya ngantuk ya… Saya? Packing dan beberes lalu tidur sebentar saat suami sudah bangun, sehingga anak kami tidak terlantar.

Ada gamelan tapi stiknya "menghilang", mungkin biar nggak dimainkan tamu anak-anak

Foto transformasi Hotel Garuda
Saat kami akan check out, kami dibantu oleh bapak-bapak lagi haha… Aduh, ini kenapa isi tulisannya bapak-bapak mulu ya? Tapi memang itu yang paling berkesan sih. Saat sarapan di restoran (dengan pramusaji yang masih muda), saya tidak merasakan aura yang sama. Mungkin mereka bisa lebih banyak belajar dari seniornya, ataukah keluwesan itu muncul seiring dengan waktu? It’s okay, saya tetap merasa senang kok spending night here.


Monday, April 17, 2017

Ketika Si Bayi Ikut Perpanjangan SIM..


Sabtu kemarin menjadi pengalaman pertama bagi Argi, anak kedua saya, berada di udara terbuka dalam waktu yang cukup lama. Pasalnya, saya harus memperpanjang SIM yang expired kurang dari seminggu lagi. Sehari sebelumnya, saya ke Jogja City Mall untuk tujuan yang sama. Sayangnya, mereka hanya melayani pemohon dengan KTP Jogja, sementara KTP saya masih Bogor. Petugas pun mengarahkan untuk memperpanjang di layanan SIM Keliling karena bisa melayani semua KTP. Baiklah..

Akhirnya saya, suami, Aksa dan Argi sampai di bundaran UGM sekitar pukul 9.30. Si bayi dua bulan ini rada rewel kalau naik mobil, dan sampai di lokasi pun masih rewel. Jadilah suami yang mengambilkan formulir untuk saya dan kemudian kembali ke mobil untuk menjaga Argi. Saya dan Aksa menunggu di dekat mobil SIM Keliling sembari….mencari pinjaman pulpen! Saya benar-benar clueless ya harus isi form semacam itu. Mengacak-acak bagasi mobil yang ada juga Cuma pensil…alis. Hahah… Alhamdulillah dapat pinjaman dari seorang ibu walau wajahnya setengah ikhlas LOL

Setelah isi formulir, saya menunggu di kursi-kursi plastik yang disediakan di trotoar sampai akhirnya setengah jam kemudian suami dan baby menyusul.  Untungnya lokasi mobil SIM parkir lumayan teduh hingga menjelang pukul 11 jadi tidak terkena terik matahari. Tahap selanjutnya setelah mengisi formulir adalah menunggu panggilan dari petugas kesehatan yang berada di dalam pos polisi. Saya mendapat nomor 40 dan saat Argi mulai digendong keluar nomor antrian baru sampai 23. Bismillah, semoga tidak rewel.

Suasana di trotoar tempat menunggu antrian
Suami saya menggendong Argi yang tertidur tanpa gendongan sekitar 45 menit, padahal ia belum sarapan. Saya tawarkan untuk bergantian ia tidak mau, walau akhirnya mau juga saat ia sudah benar-benar lapar dan tangannya kebas, hehe.. Akhirnya saya gendong Argi sementara suami ke mobil untuk makan.

Sekitar jam 10.30 saya mendapat panggilan untuk tes kesehatan. Petugasnya seorang bapak yang bisa dibilang celelekan alias suka guyon. Saya Cuma ditanyai golongan darah dan berat badan, serta minus berapa. Lalu saya diminta melihat kartu angka untuk tes buta warna. Done.

Tahap selanjutnya adalah menunggu panggilan foto. Ini memakan waktu sekitar satu jam juga karena entah kenapa petugas sempat menghilang sekitar 15 menit.  Ke toilet kali ya.. Sementara itu saya mulai haus dan lapar (#busui) dan masih menggendong mengayun Argi agar tidak menangis, soalnya mau nyusuin kok tanggung…takut pas dipanggil. Anaknya juga masih tidak terlihat kehausan. Saya Cuma agak kuatir ia masuk angin karena anginnya lumayan semilir. Suami pun akhirnya membawanya masuk mobil dengan tujuan bisa dibaringkan di kasur plus ngadem. Sayangnya, Argi nangis terus di mobil akhirnya dibawa keluar lagi deh.

Menjelang giliran saya, sempat seorang bapak yang nomernya sebelum saya menggerutu karena seorang ibu menyelak antrian. Tampaknya ibu itu menggunakan jalur titipan. Hmmm, selama kita masih di Indonesia, harus ikhlas aja melihat yang seperti ini. Entah sampai presiden ke berapa cara main seperti ini akan terus berlangsung.

Akhirnya, nama saya pun dipanggil. Saya masuk mobil van tersebut bersama Aksa yang cukup excited masuk mobil polisi. Di mobil tersebut ada dua petugas tak berseragam. Yang satu mas-mas masih muda yang berada di jendela loket, sementara yang satu lagi adalah yang memproses foto dan kartu. Ada satu lagi berdiri di luar untuk melayani pengambilan sim dan pengambilan formulir. Sekitar 10 menit menunggu, saya pun mendapat giliran foto, tanda tangan dan sidik jari digital. Jadi ingat saat pertama membuat SIM, saya masih menggunakan sidik jari dengan tinta. Berarti, saya sudah tua juga ya hahah…

Oh ya, sebelum foto, petugas meminta biaya Rp 105.000. Di internet (dan juga di bodi mobil SIM) tertulis biaya Rp 75.000 jadi saya hanya membawa Rp 100.000. Saya tidak bertanya yang Rp 30.000 untuk apa. Mungkin tes kesehatan, karena di kantor polisi biasanya tes kesehatan dikenai biaya. Akhirnya saya minta uang suami.

Selesai membayar dan foto, saya keluar mengambil SIM di jendela loket mobil, kemudian ditawari laminating agar awet seharga RP 5000. Saat itulah suami saya yang menggendong Argi ikut menemani, dan petugas pun agak kaget sambil berkata, “Lho, njenengan kok nggak bilang kalau bawa bayi? Tahu begitu kan saya dahulukan…”

Jengjeng….!


Ya sudah, ndak papa, Pak…buat pengalaman. Itung-itung ngajak bayi saya lihat langit dan jalan raya..

So, tips bagi ibu yang harus membawa bayinya untuk menggunakan layanan SIM keliling:
1. Tanyakan pada petugas apakah bisa mendapat prioritas
2. Bawa pulpen dan copy KTP+copy SIM
3. Bawa minum dan camilan, siapa tahu dapat nomor antrian belakang
4. Datang pagi, agar tidak kepanasan mengingat ruang tunggu outdoor
5. Kalau tidak mengendarai mobil, bawa nursing cover, siapatahu bayi minta menyusu
6. Jangan bawa uang pas, karena ada biaya tambahan yang tidak tercantum

Semoga bermanfaat :)