Bertahun-tahun
tinggal di Jogja, tentunya Hotel Garuda tidak asing bagi saya. Saat namanya
masih Natour Garuda, hotel ini menyimpan banyak memori. Sewaktu SD saya selalu
ikut lomba menghias perangko di halaman parkirnya, termasuk parkir di hotel ini
kalau lahan parkir di Malioboro Mall penuh, sampai solat di musholla karyawan
yang ternyata sangat luas saat saya menjadi interpreter seorang tamu hotel. Persamaan
semua pengalaman itu adalah: saya tidak pernah menginap di sana.
Awal bulan
lalu, suami mendapat voucher menginap di Inna Garuda (begitu namanya sekarang) dari
kantornya. Saya tentu saja semangat donk, hehe.. Selain karena termasuk hotel
berbintang, saya juga penasaran dengan kondisinya saat ini. Tahu sendiri,
pemerintah kota ini hobi banget ngijinin hotel baru sampai gang senggol pun ada
hotel berbintangnya (dan cari taman kota buat anak aja susah #curcol). Dengan gempuran
hotel-hotel baru tersebut, apakah Hotel Garuda masih tetap “wah” seperti imagenya di waktu dulu?
Well, I guess so.
Saya sudah
menyiapkan mental sebetulnya, untuk mendapati “ketuaan” hotel ini. Pernah saya
mendengar dari seorang rekan jika ada beberapa sudut kamar yang sudah lusuh
karena usia. I won’t expect much then
walau sejelek-jeleknya hotel bintang 4 harusnya tetap bagus kan..
Sampai di
sana, parkirnya memang outdoor. Di musim
hujan begini, saya dan suami tidak mau mengambil resiko butuh barang dan harus
berbasah-basah ke mobil. Mending gotong aja semua printilan bayi dan balita ke
kamar. Efeknya, kami harus minta bantuan bellboy
untuk mengangkut barang bawaan kami sampai troli sangkar burungnya penuh. Alhamdulillah..
Sambil menunggu
suami check in di resepsionis, saya menunggu di lobi yang saat itu memang sepi
banget walaupun hari itu adalah Minggu. Ternyata saya tahu dari bapak doorman kalau kemarin mereka kedatangan 11
bus rombongan Bank BRI. Ooh gitu, berarti bisa disimpulkan hotel ini masih
banyak peminatnya. Saya bersyukur menginap saat sepi begini, karena saat
sarapan bisa lebih leluasa begitu juga besar kemungkinan untuk bisa berenang
tanpa rasa risih.
Saat kami
naik lift menuju kamar, kami sempat berpapasan dengan seorang bellboy yang sudah bapak-bapak. I guess he’s around 45. Ini pertama
kalinya menemui karyawan berusia senior di hotel berbintang (berarti hotel ini
masih menghargai dedikasi karyawannya). Beliau ramah dengan membuka percakapan
yang membuat saya merasa “saya benar-benar di Jogja”. Atau, bisa juga karena
saya orang Jogja jadi ada sejenis language
connection di situ. Ya, intinya, bapak ini ramahnya tulus menurut saya.
Sampai di
kamar, yeayyy..! Bagus kok hotelnya. Karpet yang biasanya menjadi ciri khas
hotel berbintang tahun 90an sudah berganti parket, walaupun meja di samping
tempat tidur masih original, termasuk teleponnya. Saat ingin mematikan AC (bayi
saya tidak kuat dingin), saya mencari remote dan…tidak ketemu. Ternyata kontrol
AC ada di meja nakas, berupa tombol putar off-low-medium-high.
Si sulung pun iseng memutar-mutarnya dan ternyata…tombolnya lepas. Untungnya masih
bisa dipasang lagi dan masih berfungsi dengan baik.
Kamar mandi
(I did hope that it was not shower only
seperti hotel kekinian or my baby wouldn’t
be able to take a bath) alhamdulillah ada bath tub nya, dan kondisinya
bagus. Overall, masih ada kesan luxurious di kamar ini, sampai ke kamar
mandinya. Amenitiesnya memang biasa saja: sabun, sampo, shower cap, sikat gigi,
sewing kit. Tidak ada bath gel untuk
berendam, sisir, dan laundry bag tetapi ada hair
dryer. Tisu juga hanya tersedia di kamar mandi.
Sekarang,
saatnya melihat ke jendela. Ternyata kamar kami menghadap ke kolam renang! Langsung
pengen nyebur rasanya karena sama sekali tidak ada orang. Karena di luar masih
terik, kami leyeh-leyeh dulu saja sambil melihat channel apa saja yang ada di TV. Saluran TVnya lengkap hanya kurang
jernih saja gambarnya.
Sorenya,
kami turun ke kolam renang di lantai tiga. Ada dua keluarga dengan anak-anak
yang sudah sibuk bermain air. Suami menemani Aksa berenang hingga pukul 5 sore,
sementara saya di kamar dengan Argi yang tidur nyenyak. Saat suami kembali, gantian
saya menikmati me time berenang
sendirian hingga adzan Maghrib. Pool areanya
memang tidak besar tetapi bersih, dengan changing
room dan spa kecil di salah satu sisi.
Oya,
kebetulan saat menuju kolam renang saya sempat satu lift dengan seorang bapak
bellboy yang lagi-lagi ramah juga. Ia bisa membuka pembicaraan tanpa saya
merasa dikepoin, haha… So far, saya
merasa mereka membuat atmosfer hotel ini menjadi hangat J
Sehabis solat,
suami dan Aksa sempat jalan-jalan di Malioboro. Niatnya sih mencari makan
malam, tetapi yang ada hanya lesehan. Akhirnya kami sepakat untuk pesan makanan
via GoFood, setelah sorenya diganjel Pop Mie hehe.. Pilihan GoFoodnya pun
banyak sekali karena dekat dengan Malioboro Mall. Itulah yang menurut saya
menjadi kelebihan dari hotel ini: lokasinya yang berada di Jalan Malioboro. No wonder harga deluxe room yang kami tempati 700 ribuan untuk weekdays dan 900 ribuan untuk weekend.
Paginya, kami sarapan sekitar pukul 8 pagi. Restoran yang bernama Malioboro something ini terletak di sebelah lobby lantai dasar. Ukurannya lumayan besar dan terbuka, dan pilihan makanannya pun lengkap. Menu standar seperti roti, salad, sereal, omelet jelas ada, termasuk yang khas Jogja yaitu gudeg serta jamu. Kesan saya adalah, makanannya enak! Dibandingkan dengan Eastparc (yang terakhir saya kunjungi) yang variasinya hampir dua kali lipat Inna Garuda, rasa makanan disini lebih nendang. Favorit saya adalah: omelet, puding roti, dan sop melati. Sop melati berisi sayuran segar seperti wortel, bunga kol, brokoli yang kita pilih sendiri dengan kuah yang gurih. Pokoknya enak deh. Yang failed hanya satu: nasi putih. Entah mengapa nasi putih yang saya makan kok keras, seperti belum matang…
Suasana restoran |
Sambalnya lengkap! |
Sop melati yang segar |
Masih ada manisan salak lho! |
Paginya, kami sarapan sekitar pukul 8 pagi. Restoran yang bernama Malioboro something ini terletak di sebelah lobby lantai dasar. Ukurannya lumayan besar dan terbuka, dan pilihan makanannya pun lengkap. Menu standar seperti roti, salad, sereal, omelet jelas ada, termasuk yang khas Jogja yaitu gudeg serta jamu. Kesan saya adalah, makanannya enak! Dibandingkan dengan Eastparc (yang terakhir saya kunjungi) yang variasinya hampir dua kali lipat Inna Garuda, rasa makanan disini lebih nendang. Favorit saya adalah: omelet, puding roti, dan sop melati. Sop melati berisi sayuran segar seperti wortel, bunga kol, brokoli yang kita pilih sendiri dengan kuah yang gurih. Pokoknya enak deh. Yang failed hanya satu: nasi putih. Entah mengapa nasi putih yang saya makan kok keras, seperti belum matang…
Selesai makan,
kami sempat duduk-duduk di lounge
sambil baca koran, membaca sejarah hotel garuda, transformasinya sejak jaman Belanda
hingga sekarang (betul, hotel ini sejak dulunya memang hotel dan masih mempertahankan
bangunan aslinya), juga melewati beberapa fasilitas seperti business center, salon, drugstore, dan
berpapasan dengan beberapa PNS yang menghadiri seminar sebuah dinas di lantai
dua. Sampai di kamar, suami saya sudah mengambil jatah tidur duluan, haha…memang
kalau menjelang check out itu kok bawaannya ngantuk ya… Saya? Packing dan
beberes lalu tidur sebentar saat suami sudah bangun, sehingga anak kami tidak
terlantar.
Ada gamelan tapi stiknya "menghilang", mungkin biar nggak dimainkan tamu anak-anak |
Foto transformasi Hotel Garuda |
Saat kami
akan check out, kami dibantu oleh
bapak-bapak lagi haha… Aduh, ini kenapa isi tulisannya bapak-bapak mulu ya? Tapi
memang itu yang paling berkesan sih. Saat sarapan di restoran (dengan pramusaji
yang masih muda), saya tidak merasakan aura yang sama. Mungkin mereka bisa
lebih banyak belajar dari seniornya, ataukah keluwesan itu muncul seiring
dengan waktu? It’s okay, saya tetap
merasa senang kok spending night here.
0 komentar:
Post a Comment