Sunday, July 16, 2017

Serunya Rewang di Hajatan Tetangga


Saya ingat cerita Ibu, ketika tukang sayur langganan kami ijin untuk tidak berjualan hingga seminggu lamanya. Alasannya, tetangganya ada yang menikah. Adat di desa, jika seseorang menikah maka satu kampung akan membantu persiapan dan pelaksanaannya. Kegiatan membantu tetangga secara bersama-sama inilah yang disebut rewang.

“Yen kula boten rewang-rewang, mangkeh digrenengi sak ndusun” (jika saya tidak membantu, nanti bisa digunjing orang sekampung), begitu ujarnya. Saya heran, seminggu banget gitu yang rewang-rewang. Maklum, saya dan mungkin kebanyakan dari kita lebih familiar dengan acara pernikahan yang lebih simple dan menggunakan jasa vendor. Keluarga hanya dilibatkan pada acara seremonial saja, atau konsep utama. 

Dan….saya sekarang mendapat rejeki merasakan rewang-rewang di hajatan tetangga, for the first time. Apakah benar-benar seminggu? Iya!

Saya ingat sekali, H-7 kami baru kembali dari rumah mertua sekitar jam 10 malam. Di depan rumah sudah terdengar suara ramai-ramai. Ooh, mungkin pembentukan panitia. Saya kebetulan baru pindah ke rumah ini setengah tahun yang lalu, sehingga belum terlalu dekat dengan para tetangga. Malam berikutnya, terdengar ramai-ramai lagi. Wah, tampaknya sudah mulai rewang-rewang. Hari berikutnya saya pun bertemu dengan yang punya hajat dan memohon maaf kalau tidak bisa datang tiap kumpul malam hari karena anak saya masih bayi.

Baru hari keempat saya mulai datang dan melihat seperti apa sih rewang-rewang itu. Karena sambil menggendong bayi, saya malah diperlakukan layaknya tamu. Disuguh teh, diajak mengobrol, sementara ibu-ibu tetangga yang lain duduk di lantai sambil mempersiapkan masakan. Duh.. Semoga tidak ada yang menganggap saya tetangga baru yang tidak mau membaur..


Dari ngobrol-ngobrol dengan tetangga depan rumah itulah saya tahu bahwa rangkaian acara memang sekitar satu minggu. H-4 ada kenduri untuk bapak-bapak, kemudian H-3 tamu sudah mulai datang sehingga para ibu sudah beraksi di dapur. Untuk tetangga yang membantu, tuan rumah menyediakan “balas jasa” berupa jajanan pasar dan makan berat, baik dinikmati di tempat ataupun dibawa pulang. Kegiatan membantu ini bisa berlangsung hingga tengah malam and started as early as 5 o’clock. Kok lama sekali? Karena porsi yang dimasak banyak, peralatan masaknya pun masih banyak yang tradisional seperti kompor kayu bakar, dan…diselingi gosip hehe…

Alhamdulillah, saya akhirnya berkesempatan membantu membuat lemper serta memotong bawang dan cabe. Bangga banget ya, haha..! Saya akui saya cukup bangga karena bisa membaur dengan tetangga (apalagi di desa yang bahasanya full Javanese) walau hanya duduk dan mendengarkan obrolan mereka, berkenalan dengan beberapa tetangga, mengetahui si A anaknya siapa, rumahnya yang sebelah mana, dan sebagainya. FYI, ibu-ibu di desa ini kalau nyeletuk sungguh lucu-lucu dan sangat ringan tangan. Saat saya menggendong bayi, mereka tidak segan bergantian menggendong sehingga saya bisa berpartisipasi atau sekadar makan siang. Kadang saya tidak enak sendiri, baru kerja 15 menit sudah disuruh makan. But it’s their culture, I guess. Memuliakan tamu.

Oh ya, untuk resepsinya, adatnya di sini ibu-ibu datang dua tiga hari lebih awal untuk menyumbang. Jadi, pada hari H bapak-bapak datang sudah tidak perlu menyumbang lagi. Tinggal member selamat mempelai dan makan. Ibu-ibunya? Ya masih di belakang lah…kan tidak ada katering. Jadi, tim wonder women inilah yang menjadi tulang punggung hidangan pesta. Bapak-bapak dan para pemuda biasanya terlibat pada saat pembuatan panggung.

Enak ya, tidak usah membayar jasa untuk banyak hal, kan banyak dibantu tetangga. Ooh, jangan salah. It is more costly to say thanks to someone you know well. Dalam budaya Jawa yang saya tahu, tidak pantas jika kita memberi sesuatu (karena sudah dibantu) ala kadarnya, apalagi kurang dari seharusnya. Bentuknya memang bukan uang, tetapi berupa makanan dalam kotak seperti ayam goreng, nasi kenduri, atau sembako yang kalau dinominalkan sudah layak lah ya.

Balas jasa ini bisa dianggap sebagai tanda terima kasih karena telah menyumbang. Untuk tetangga yang sudah ikut rewang, bisa mendapat lagi saat pembubaran panitia.


Jadi, itulah on hands learning tentang adat dan kebiasaan masyarakat tempat tinggal saya yang saya dapat seminggu ini. Walaupun sama-sama orang Jawa, kebiasaan kami sudah berbeda. Cukup menarik untuk diketahui, siapa tahu kelak rumah yang kita beli ternyata masih berada di lingkungan desa walaupun bangunannya modern. Dimanapun kita tinggal, tetap prinsipnya di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.