Friday, November 24, 2017

Kangen Ngajar


Kangen Ngajar, tulis seorang teman di status Whatsappnya.

Kebetulan, hari ini adalah Hari Guru. Di grup Whatsapp keluarga saya pun Tante saya yang guru SMP menerima ucapan selamat, begitu juga para educators di sekolah anak saya. Saya? Enggak lah, kan current statusnya bukan guru. Tapi, ungkapan “Kangen Ngajar” itu tadi sempat melintas di benak saya. Salah satu penyebabnya adalah pertanyaan guru kelas Aksa saat saya berkonsultasi tentang perkembangannya di sekolah.

“Ibu nggak kangen ngajar emangnya? Apa masih seneng nemenin Dedek?”

Jawabnya, kangen juga sih.. Walaupun tidak akut. Yang paling bikin kangen itu kalau melihat printables yang disediakan oleh beberapa mama di website mereka, kemudian pinterest tentang art and craft, juga postingan mantan rekan-rekan kerja di sekolah alam dulu. Kangen bikin worksheet, browsing ide display kelas, lembur bikin dekorasi pentas, dan lunch sama partner sambil ngegosipin murid-murid balita yang tingkahnya bikin gemes ituuu..

Sejauh ini , saya masih menikmati menemani Kakak dan Dedek di rumah, dan sedang jatuh cinta lagi dengan si bungsu. Meninggalkannya di tangan orang lain seperti tidak worth it.. Bukan masalah berapa gajinya, tetapi sisi perfeksionis saya yang mengharap saya menjadi saksi atas semua “first time” anak saya. But I’m looking forward to teaching again. Mungkin setahun lagi kalau memang ada rejekinya.

Kenapa enggak mengajar anak sendiri di rumah? Lumayan kan bisa mengobati kerinduan mengajar..

Beda, Bung.. Sama anak sendiri tipis sabarnya, hahah..Belum lagi urusan domestik menjadi the biggest distraction. Kalau mendidik, itu sudah otomatis kan ya.. Mengajari doa, lagu, kebiasaan, kemandirian, itu juga bagian dari keseharian.

Eh, iya juga ya. Kok saya baru nyadar dengan kalimat di atas. Sebenarnya saya tetap menjadi guru tapi khusus buat anak-anak saya. Guru bernama orangtua.

So glad I wrote this, karena ternyata saya tidak perlu takut kehilangan skill saya sebagai guru karena tiap hari saya mengasahnya. Kecuali bagian kesabaran ya, itu diasah, ditempa, diapain juga masih harus extra effort biar tetap pada level yang aman bagi psikis anak. #jujur

Jadi, masih kangen ngajar? Masih lah..

PS: Baru sadar, ini satu-satunya post saya yang sesuai dengan judul blog saya, at least setahun terakhir. I should've written more about teaching, or I should change the title of my blog.


Wednesday, November 22, 2017

Writer's Block.


Salah satu kunci kebahagiaan saya ketika menulis adalah ketika jemari tangan bisa menari di atas keyboard sesuai dengan perintah otak, tanpa hambatan berarti. Selesai menulis, yang ada adalah perasaan lega dan puas. Lega karena apa yang selama ini tersimpan di otak akhirnya tertuang. Puas karena pikiran saya masih bisa menghasilkan sebuah karya. Sampai detik ini, sejak saya gemar menulis di blog pada tahun 2013, baru kali ini saya mengalami writer’s block.

Bagi yang belum tahu apa itu writer’s block, Wikipedia mengartikannya sebagai a condition, primarily associated with writing, in which an author loses the ability to produce new work, or experiences a creative slowdown.

Ciri-ciri yang saya alami:
1.    Susah menemukan kalimat pertama, padahal ide sudah ada di kepala. Kalimat pertama buat saya adalah kuncinya.
2.    Sudah menulis satu sampai dua paragraf, kemudian bingung bagaimana menyambungnya dengan ide lain yang ingin saya tuliskan.
3.    Sudah menulis beberapa paragraf, and thought it wasn’t good enough. It won’t be a good writing.

Mengapa oh mengapa…

Sudah hampir sebulan saya merasa macet. Bukan karena tidak ada ide.. Malah sebaliknya, ide yang ada banyaaaaak sekali. Ada yang saya tulis di bank khusus ide, ada yang di notes hp, ada yang masih di otak…

Setelah melalui perenungan yang cukup panjang, I think I know why.

Terlalu banyak ide yang ingin ditulis, namun tidak tersalurkan dengan kecepatan yang memadai. Sehingga, ia menumpuk dan menyebabkan sumbatan. Ketika menulis ide pertama, anak bangun. Tulisan pun harus ditunda. When I got a chance to continue…

(wait, he woke up. Brb.)

…I had to start from the beginning. Maksudnya, saya harus membaca lagi dari awal paragraf kemudian melanjutkannya. The problem is, belum tentu setelah membaca ulang kita tahu apa yang harus ditulis agar tulisan itu mengalir. Sekedar melanjutkan menulis itu bisa, namun melanjutkannya agar tetap enak dibaca butuh mood dan memori tersendiri.

Seperti tulisan ini. Saya menulis bagian pembuka dua hari yang lalu, kemudian dilanjutkan kemarin, dan hari ini. Saya sudah berjanji akan menyelesaikan tulisan writer’s block ini hari ini. Karena ini tulisan curhat, saya tidak punya beban untuk membuatnya harus ciamik dan sejenisnya.

Tapi, saya harap saya bisa mengeksekusi ide tulisan yang sudah menumpuk satu demi satu hingga tercapai kembali kepuasan menulis seperti biasanya.

Kehilangan kelancaran menuangkan kata-kata dalam tulisan is like losing your magic, you know

Semoga Desember nanti saya bisa menulis seperti semula. Aamiin.



Tuesday, November 7, 2017

Enlightening Parenting: Semua Berawal dari Keluarga



Pernah denger tentang enlightening parenting? EP (saya singkat saja ya) merupakan salah satu aliran parenting yang saya tahu terakhir, kira-kira setengah tahun yang lalu dari Instagram. Saya suka dengan konsepnya yang make sense dan practical. Sempat saya ikut sharing session dengan salah satu penggiatnya, yaitu Dini Swastiana, waktu beliau ke Jogja beberapa bulan lalu. Seneng banget waktu itu, karena harga tiket terjangkau dan peserta terbatas. Pernah ada training langsung di Jogja dengan Okina Fitriani, yang mencetuskan konsep EP ini. Sayang, harganya jut-jutan…saya enggak kuat lah.

So, lucky me, sewaktu Sabtu lalu Okina Fitriani mengisi seminar parenting di Hotel Pesonna Jogja. Tiket cuma Rp 75.000, langsung daftar! Dream comes true banget bisa menimba ilmu parenting langsung dari ahlinya.

Kalau seminar seperti ini, hal pertama yang saya lakukan sebelum memutuskan untuk mendaftar adalah…memastikan suami atau mama saya available untuk menjaga Aksa dan Argi. Alhamdulillah, mereka bisa memback up saya dan saya pun tenang mengikuti seminar.
Bagus nggak seminarnya?

Two thumbs up. Mbak Okina emang keren. Orangnya juga lucu dan suka menyindir (hahaha) jadi peserta pun nggak bosen dan merasa tersindir. Poin-poin penting yang mind opening buat saya antara lain:

Mengasuh anak itu me time.
Ketawa donk semua peserta sewaktu Mbak Okina bilang seperti itu. Gimana bisa? Kata beliau, “Anak kan tamu istimewa yang kita undang dengan sengaja. Kalau sama tamu istimewa kan, kita pasti maunya ngobrol lama, ketawa-ketiwi, seneng-seneng…Mengurus anak itu sebenarnya nikmat, tapi kita anggap sebagai beban. Mengurus anak sekalian mengumpulkan pahala kan..Tunggu deh kalau mereka sudah berusia 15 tahun, atau mungkin sekarang umur 10 tahun, kita bakal capek me time!..karena mereka sudah nggak mau lagi nempel-nempel ibunya..” Hiks, kenapa jadi mellow gini..

Kepemimpinan bermula dari rumah
Sebelum aktif di dunia parenting, Mbak Oki sempat bekerja 10 tahun di dunia oil and gas. Tahu tidak, yang membuatnya berpindah haluan? Karena ia melihat, leader yang bermasalah di dunia kepemimpinan berawal dari rumah. Karena itu, kita sebagai orangtua harus mampu membuat anak nyaman di rumah. Jika anak di rumah sering diomelin, dinasehatin, dipelototin, anak akan mencari kebahagiaan di luar rumah. Di era “curhat di sosmed” seperti sekarang ini, banyak komunitas yang akan dengan senang hati “menerima” anak-anak yang butuh teman… Kalau komunitasnya positif sih tidak apa-apa, jika sebaliknya, serem kan…

Kekeliruan pengasuhan
Ada banyak kekeliruan dalam pengasuhan. Saya bahas yang paling mengena saja ya. Pertama, bohong. Hampir semua orangtua pernah bohong ke anaknya. Namun, ada bohong tingkat tinggi, yaitu membawa nama Tuhan. Misalnya, “Awas ya, kalau tidak nurut mama nanti masuk neraka!” Padahal, anak yang diingatkan masih belum baligh, jadi belum mendapat pahala dan dosa. Saya sering (hiks) melakukan ini, tapi versi “nanti nggak disayang Alloh lho”. Trus anak saya bertanya, “Siapa itu Alloh?”

Kedua, mengancam tapi tidak melakukan. Ya ampun, kok saya hampir tiap hari ngancam anak saya ya? Huhu,,,maafkan ibu nak.. Memang umum banget ya kasus seperti ini, apalagi kalau kitanya sudah habis kata rayuan dan enggak mempan..

Ketiga, solusi disuapi. Artinya, jika anak menghadapi masalah, kita yang memyelesaikan. Misalnya, Mbak Okina member kasus peserta seminar, “Bagaimana jika anak kita bilang gurunya nggak ada yang suka sama dia?” Salah satu peserta menjawab, “Tak parani gurune..! (Saya datangi gurunya)” Nah, itu salah satu contohnya kita yang “menyuapi” solusi. Trus, gimana donk sebaiknya sikap kita?
Tanyakan pada anak, berapa jumlah gurunya. Misal jawabnya 12. Lalu Tanya lagi berapa yang tidak menyukainya, pasti tidak mungkin semuanya donk.. Katakanlah jawabannya dua, maka openmind anak kita bahwa masih ada 10 guru yang bersikap baik padanya. Kemudian, pancing anak untuk mencari solusi dengan pertanyaan, “Kira-kira apa yang bisa Kakak lakukan agar guru yang tadi menyukai Kakak?” Jika anak menjawab rajin mengerjakan PR, tidak mengobrol di kelas, dan sebagainya, tutup dialog dengan, “Oke, besok kita coba ya..!”

Keempat, MALAS. Malas disini bukan malas memandikan atau tidak mau menemani bermain, melainkan suka mengancam dan nyukurin. Berkaitan dengan poin kedua tadi, mengancam ternyata merupakan wujud dari kemalasan orangtua untuk berdialog dengan anak untuk mencapai tujuan. Maunya instan. Anak disuruh mandi tidak mau, lalu diancam mainan barunya akan dibuang (eh, ini siapa ya?). Sebetulnya bisa kan dibujuk dulu untuk memandikan mainannya. Suka nyukurin anak juga salah satu wujud dari orangtua malas. Ancaman yang menjadi nyata karena ketidak sengajaan (misal anak jatuh) lalu kita menimpali, “Tuh, apa mama bilang!” seharusnya bisa diganti dengsan kalimat yang lebih konstruktif seperti, “Biar besok nggak jatuh lagi, sebaiknya kita gimana Kak?”

Kesalahan pengasuhan lainnya, antara lain tidak mengambil tanggung jawab (alias ngeles), labeling, fokus pada kekurangan serta fokus pada dunia. Gimana, ada berapa yang sudah pernah kita lakukan?
Kalau saya sih, hampir semua pernah, baik sengaja maupun tidak. Karena tidak ada manusia yang sempurna, saya harus bisa memaafkan diri saya sendiri dan selalu berusaha memperbaiki kesalahan. 
Karena itu, saya suka sekali ikutan seminar parenting, baca buku parenting, dan follow akun-akun parenting di medsos. Itu cara termudah untuk menimba ilmu walau prakteknya memang luarrrr biasa challenging. Jadi orangtua itu mengubah diri bener, ya..


So, setelah ikutan seminar enlightening parenting kemarin, saya seperti direcharge lagi semangat untuk menjadi ibu yang lebih baik… Sabtu seminar, Selasanya udah kelepasan emosi lagi. Hiks.. Beri hamba kekuatan ya Alloh..