Sunday, December 31, 2017

Belajar Jualan Online dari Nol di Kampus Shopee

Siapa yang tak tahu Shopee? Salah satu platform belanja online ini identik dengan jargon Gratis Ongkir. Karena adik saya termasuk doyan belanja online (pakai kata banget), saya pun akhirnya mengenal Shopee darinya. Baru kemudian setelah saya kembali aktif berjualan buku anak impor, saya membuat aku Shopee untuk berjualan, selain Tokopedia dan tentu saja Instagram. Ternyata, di Shopee cukup mudah cara belajarnya karena banyak panduannya. Tapi tetap saja, saya tidak telaten belajar fiturnya satu persatu. Saya merasa faktor usia cukup berpengaruh disini, juga faktor niat, haha..

Seminggu yang lalu, mendadak ada email dari Shopee yang menawarkan partisipasi untuk mengikuti Beginner Class by Kampus Shopee. Isinya, belajar Shopee dari nol, plus ilmu seputar online marketing, yeay!! Pas banget ya. Sayangnya, support system saya mendadak tidak available semua untuk menjaga si bungsu. Kali ini, saya tak mau menyerah dengan keadaan. I had to come. Bismillah, saya bulatkan tekad untuk mengajak bayi 10 bulan ini serta dengan segala resikonya.

 Pagi itu, kami berdua naik Go Car ke hotel HOM Platinum Gowongan. Sampai di sana, masih belum banyak yang datang. Panitia pun hanya terdiri dari tiga orang pria. Peserta juga ternyata dibatasi hanya untuk 50 orang saja. I was lucky then. Setengah jam menunggu, peserta dipersilakan untuk coffee break, kemudian acara pun dimulai.

James, yang menjelaskan materi dengan super cepat
Ternyata, panitia yang hanya tiga orang tadi adalah juga MC, pembicara, juga ketua Kampus Shopee cabang Jogja. Efisiensi but it worked. Icat, yang berperan sebagai MC, kalau tidak salah adalah city manager Shopee di Balikpapan. Sementara James, yang menyampaikan materi, adalah perwakilan Shopee yang menangani Community, di bawah Marketing Department.  They’re both young and energetic, benar-benar cerminan generasi millenials yang aktif dan berprestasi.

(ini sudah empat paragraf tapi gak kunjung turun ke materi hhhhh..)

Trus, apa poin-poin penting yang saya dapat? Berikut fotonya.


Karena ini adalah kelas untuk pemula, maka pengenalan fitur Shopee pun mulai dari basic banget. Termasuk yang sifatnya mendasar, seperti kenapa harus jualan pake Shopee. Kalau saya sih karena ada promo gratis ongkirnya –that I thought attract more buyers- walaupun ternyata sebagai seller ada benefit yang lebih dari itu, yaitu:
  1.        Bebas komisi
  2.        Fiturnya user friendly
  3.        Ada garansi Shopee
  4.        Ada fasilitas Seller Center

Nah, poin terakhir itu yang saya suka. Kalo kita mengalami kebingungan, langsung kontak Seller Center aja. Saya pernah gagal beberapa kali mengupload foto KTP, hanya dalam beberapa hari masalah kelar. Seller Center member beberapa opsi solusi dan akhirnnya solusi terakhir berhasil. So, sewaktu kemarin saya terpaksa keluar ruangan karena anak saya rewel, saya nggak terlalu masalah karena when I have questions, I can just ask Seller Center.


Selain basic info tentang Shopee, peserta juga mendapat ilmu tentang marketing seperti tahap psikologi pembeli, tips fotografi produk, dan copywriting. Ternyata, walau modelnya marketplace, yang menurut saya orang cari harga termurah, copywriting tidak boleh asal-asalan. Kalau foto produk jelas lah ya harus bagus, detil, riil.  Kalau perlu, beli mini studio light box untuk pemotretan, atau bikin sendiri. Kemarin, secara singkat, peserta ditunjukkan cara membuat DIY light box dari kardus. Ternyata tidak susah, lho!

Nah, balik ke poin copywriting, ternyata banyak hal yang saya kira wajar namun ternyata itu harus dihindari. Misalnya:
  1. Galak ke customer. Pernah baca tulisan “kami tidak menerima complain, BE A SMART BUYER” atau malah yang lebih pedes lagi? Nah, itu contoh bentuk “galak” ke konsumen. Kita bisa memilih kalimat yang lebih netral atau bahkan lebih ramah kan..
  2. Fokus pada diri sendiri alias tidak melihat ke toko sebelah.
  3. Kalimat tidak sesuai segmen. Misalnya, kalau calon pembeli kita adalah ibu-ibu, sebaiknya jangan pakai kata sapa “Gan” J
  4. Membosankan. Misalnya, caption sama untuk semua produk. Ini juga menjelaskan poin nomor dua, dimana kita memang sebaiknya melihat kompetitor kita untuk bisa melihat kualitas caption kita, apakah sudah menarik atau belum.

Lalu, pernah lihat FLASH SALE ketika membuka Shopee? Murah banget kan harganya? Beberapa seller yang ikut kelas kemarin sempat bertanya bagaimana caranya bisa bergabung dalam promo Flash Sale. Ternyata, promo tersebut adalah program ujicoba Shopee dan sejauh ini seller dipilih secara internal. Dan…biasanya Flash Sale itu bikin rugi (ya iyalah murahnya keterlaluan) karena tujuannya adalah menaikkan popularitas toko yang bersangkutan. Meskipun dipilih secara internal, tetap saja ada syaratnya, yaitu stok barang banyak alias diatas 100 dan siap melayani pembelian ketika order datang. Bayangin aja kalau punya stok 100, tanpa pegawai, kirim ke 100 alamat berbeda, belum kalau barangnya ada pilihan warnanya. Zzzz…

Sesi tanya jawab, jadi ajang curhat seller
Cukup jelas ya, dunia perShopee-an ternyata seperti ini.. Seru dan menantang, khususnya saya sebagai pemain baru (dan pembeli lama :p). Enggak sabar rasanya untuk mengupdate stok buku di Shopee dan menerapkan semua ilmu di atas. Besok ya, tahun 2018.


Iya, itu satu jam lagi.

Thursday, December 14, 2017

Natsuko Shioya, Alternatif Perpustakaan Anak di Jogja


Saya menemukan tempat ini secara tidak sengaja saat survey sekolah untuk Aksa. Perpustakaan ini  diberi nama Natsuko Shioya, walaupun nama sekolah yang menaunginya adalah MySchool. Pemiliknya bukan orang Jepang seperti namanya. Namun, orang yang dulu menginginkan perpustakaan ini untuk dibuat adalah Natsuko Shioya, seseorang berkebangsaan Jepang, yang kemudian meninggal dunia. Akhirnya, perpustakaan ini dibuat oleh kekasihnya yang berkebangsaan Australia pada tahun 2001. Berarti, kemana saja saya ya selama 16 tahun ini? Hehe..

Setua usianya, buku koleksi perpustakaan ini banyak yang sudah tua tapi…..lengkap! Khususnya koleksi buku anak asingnya. Untuk perpustakaan sekolah yang dibuka untuk umum, menurut saya koleksi bukunya menarik (mendadak teringat perpustakaan SD saya dulu, yang menarik hanya Majalah Bobonya). Buku dewasanya pun bagus-bagus, ada yang fiksi maupun nonfiksi, lokal maupun impor. Bahkan, buku referensi mengajar dan perkembangan anak pun ada. Sangat menggoda untuk guru dan orangtua yang ingin mendalami ilmu parenting macam saya.

Buku untuk usia playgroup dalam berbagai ukuran. Bawah: bacaan untuk guru


Terakhir ke sana, saya masih hamil tua. Berarti sudah hampir setahun yang lalu. Kartu keanggotaan saya sekarang ternyata sudah expired. Tahun lalu saya harus membayar Rp 45.000 agar bisa membawa pulang buku empat buah selama seminggu. Tahun ini, biayanya naik menjadi RP 50.000. Kalau terlambat mengembalikan, dendanya Rp 700 per buku. Masih tetap terjangkau menurut saya.
Jika ingin membaca di tempat, pengunjung tidak dipungut biaya. Tetapi, jangan waktu jam sekolah ya karena digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Datanglah jam 12-15 pada hari kerja, atau Sabtu tetapi sebelum jam 1 siang. Suasanya lumayan nyaman bagi anak untuk membaca karena ada karpet dan bean bag. Meskipun tanpa AC, ruangannya tetap semilir karena sirkulasi udara yang baik dari atap yang tinggi, jendela dan pintu yang lebar, serta hawa persawahan di sekitarnya.

Untuk buku anak asing, banyak yang terkenal seperti seri Dr.Seuss dan anjing kecil Spot, serta boardbook untuk balita. Untuk usia SD, tersedia buku hardcover yang cukup banyak. Kalau ingin meminjam untuk anak kita, ada panduannya kok di bagian cover, apakah itu untuk usia TK, SD kelas 1,2,3 atau 4,5,6. Tahu tidak, koleksi Lupusnya lengkap! Siapa tau kita mau nostalgia. Kita yang generasi 90an maksudnya..



Saya tidak tahu apakah liburan sekolah nanti perpustakaannya ikut libur atau tidak. Tetapi sepengetahuan saya sih walau libur, front office seharusnya tetap buka. Siapa tahu ada yang mau cari info pendaftaran. Kebetulan perpustakaannya menjadi satu bangunan dengan front office dan daycare MySchool.

Kalau memang buka, try to give a visit. Semoga anak-anak (termasuk orangtuanya) suka ya!

Si Kakak asyik baca

Ayo, dijaga ya bukunya...



Tuesday, December 5, 2017

Review Nursing Room di Jogja (Part 2)

Di post sebelumnya, saya telah mereview nursing room di Ambarrukom Plaza, Galeria Mall, dan Hartono Mall Jogja. Sekarang, saya tambahkan lagi beberapa ya..

1.       Jogja City Mall
Mall dengan bangunan yang bukan seperti mall ini termasuk yang tenantnya paling banyak di Jogja. Nursing room tampaknya ada di setiap lantai. Bentuknya privat alias harus bergantian karena ukurannya lumayan kecil. Fasilitasnya lumayan lengkap, seperti wastafel dengan sabun, changing table, dan sofa. Suasananya temaram dengan dominasi warna gelap. Beberapa kali kesana, baru kemarin sabtu saya bertemu dengan makhluk kecil bernama bayi kecoa. Ewww..untungnya sesi menyusui sudah selesai dan pintu dalam keadaan terbuka. Padahal bersih lho tempatnya… Apa karena minim pencahayaan dan berdekatan dengan toilet?



2.       Transmart Maguwo
Meski formatnya bukan mall pada umumnya, saya masukkan ke dalam review nggak papa ya.. Saya sempat menyusui di dua lokasi berbeda di sini. Yang pertama di area Trans Studio, yang kedua di dept.storenya. Di Trans Studio, nursing roomnya sangat ala kadarnya, tapi bersih. Kursi menyusui seperti kursi tunggu pasien di puskesmas (yang stainless) tanpa sandaran, hanya empat seat. Ada wastafel satu. Sementara di dept.store, nursing roomnya bagus.. Dekornya biru putih, lalu ada dua kamar menyusui bertirai dan sofa, sementara changing table ada dua juga di ruang utama. Pintunya pun tidak langsung menghadap ke dalam ruangan (ada semacam gang) sehingga kita tidak mungkin bersitatap dengan yang orang yang baru masuk.




3.       Vinolia `
Vinolia memang bukan mall, tetapi saya tergoda untuk mereviewnya disini karena nursing roomnya cantik! Baby shop yang satu ini termasuk yang terbesar, tertua, dan terkonsep dengan baik. Dulu Vinolia berukuran kecil, sekarang sudah menjadi bangunan dua lantai dilengkapi parkir dan musholla di basement. Nursing roomnya berada di lantai dua, di seberang toilet. Di dalamnya ada sofa, baby crib, pemanas susu (kalau tidak salah, karena saya belum pernah melihat alat ini sebelumnya). Bentuknya mirip kamar tidur bayi, mungkin sekalian mendisplay produk ya, seperti nursing roomnya IKEA. Oiya, karena jendelanya besar, orang di luar bisa melihat ke dalam. Jadi, pastikan anda menutup tirai terlebih dahulu, atau memilih sudut menyusui yang tidak terlihat dari luar.






Piye, isih enak jamanku tho? Hehe.. Memang harus disyukuri bukan, kemudahan menyusui di masa kini wherever we go. Kalau ada tambahan review, silakan tulis di kolom komentar ya..  

Sunday, December 3, 2017

Review Nursing Room di Jogja (Part 1)

Sebagai generasi mall (mengakulah buibu..), rasanya hidup kurang lengkap jika akhir pekan atau awal bulan kita tidak menyambangi pusat perbelanjaan. Tidak harus membeli sesuatu sih.. Bagi saya, unsur refreshing lah yang paling penting. Sejak memiliki anak, keberadaan nursing room alias ruang menyusui menjadi hal penting dalam memilih mall. Alhamdulillah, mall jaman sekarang rata-rata sudah memiliki fasilitas nursing room. Apalagi di Jogja, yang mana mall-mallnya masih seumur jagung sehingga nursing room menjadi salah satu fasilitas wajib selain toilet bersih dan musholla.

Saat masih tinggal di Bogor, saya sempat mereview beberapa nursing room di post ini. Setelah setahun kembali ke Jogja dan sudah mengunjungi hampir semua mall di Jogja, akhirnya saya punya cukup stok foto nursing room untuk membuat post, hehe.. And here we go..

1.       Ambarrukmo Plaza
Walaupun termasuk mall senior di Jogja, Amplaz termasuk yang mengikuti perubahan kebutuhan pengunjung. Saya ingat sekali, saat masih kuliah musholla di Amplaz hanya seuprit. Sekarang, lokasi bekas musholla di beberapa lantai sudah berubah menjadi nursing room dan toilet. Ukurannya tidak begitu besar, namun didesain untuk digunakan lebih dari satu pengunjung. Fasilitas di dalamnya lumayan lengkap, ada wastafel dan changing table untuk mengganti popok. Sofanya bisa untuk sampai lima orang. Minusnya, jalan masuknya agak sempit sehingga sebaiknya tidak membawa stroller ke dalam kalau ada lebih dari satu orang di dalam. Plusnya, nursing roomnya ada di lebih dari satu lantai. Kalau penuh, masih bisa ke lantai lain dan jarak ke eskalator pun tergolong dekat karena mallnya juga tidak terlalu luas.



2.       Galeria Mall
Karena Gale (ini sebutan kerennya saat saya masih sekolah) usianya lebih tua daripada Amplaz, saya tidak berharap banyak menemui fancy nursing room di sini. Ada nursing roomnya saja sudah Alhamdulillah banget mengingat mushollanya “begitu deh”. Nursing room di Gale hanya ada di lantai 3 alias lantai paling atas, di antara arena bermain dan food court. Menurut saya, ini tempat yang ideal karena bisa nyusuin sambil nungguin anak n suami yang asyik di Timezone. Nursing roomnya luas, sofanya banyak walau ada yang sudah sobek covernya, ada wastafelnya tetapi minus changing table. Nursing roomnya tampaknya tidak didesain khusus untuk itu karena ruangannya usang, ada beberapa lubang di tembok. Dan….terakhir kali kesana pintunya nggak mau nutup rapet, huhu… Jadi tetap harus waspada kalau nyusuin.



3.       Hartono Mall
Nah, ini termasuk mall kelas atasnya Jogja. Saya belum sempat browsing semua lantai karena emang jarang kesini. Nursing room yang saya tahu ada di dalam Parkson Dept.Store. Tempatnya mewahhh… Desainnya bagus, warna wallpapernya juga. Ada seperti ruang tamu tempat kita bisa gantiin popok sampai bikin susu, karena ada dispensernya. Wastafel plus stok tisu yang cukup juga ada di ruang ini. Di bagian pojok, ada dua sofa menyusui dengan tirai. Kalau tidak salah ada colokan juga. Di luar nursing room ada mini playground dan toys section, mungkin biar si sulung bisa main dengan tenang sembari adiknya menyusu.







Lanjut di post berikutnya yaa..

Friday, November 24, 2017

Kangen Ngajar


Kangen Ngajar, tulis seorang teman di status Whatsappnya.

Kebetulan, hari ini adalah Hari Guru. Di grup Whatsapp keluarga saya pun Tante saya yang guru SMP menerima ucapan selamat, begitu juga para educators di sekolah anak saya. Saya? Enggak lah, kan current statusnya bukan guru. Tapi, ungkapan “Kangen Ngajar” itu tadi sempat melintas di benak saya. Salah satu penyebabnya adalah pertanyaan guru kelas Aksa saat saya berkonsultasi tentang perkembangannya di sekolah.

“Ibu nggak kangen ngajar emangnya? Apa masih seneng nemenin Dedek?”

Jawabnya, kangen juga sih.. Walaupun tidak akut. Yang paling bikin kangen itu kalau melihat printables yang disediakan oleh beberapa mama di website mereka, kemudian pinterest tentang art and craft, juga postingan mantan rekan-rekan kerja di sekolah alam dulu. Kangen bikin worksheet, browsing ide display kelas, lembur bikin dekorasi pentas, dan lunch sama partner sambil ngegosipin murid-murid balita yang tingkahnya bikin gemes ituuu..

Sejauh ini , saya masih menikmati menemani Kakak dan Dedek di rumah, dan sedang jatuh cinta lagi dengan si bungsu. Meninggalkannya di tangan orang lain seperti tidak worth it.. Bukan masalah berapa gajinya, tetapi sisi perfeksionis saya yang mengharap saya menjadi saksi atas semua “first time” anak saya. But I’m looking forward to teaching again. Mungkin setahun lagi kalau memang ada rejekinya.

Kenapa enggak mengajar anak sendiri di rumah? Lumayan kan bisa mengobati kerinduan mengajar..

Beda, Bung.. Sama anak sendiri tipis sabarnya, hahah..Belum lagi urusan domestik menjadi the biggest distraction. Kalau mendidik, itu sudah otomatis kan ya.. Mengajari doa, lagu, kebiasaan, kemandirian, itu juga bagian dari keseharian.

Eh, iya juga ya. Kok saya baru nyadar dengan kalimat di atas. Sebenarnya saya tetap menjadi guru tapi khusus buat anak-anak saya. Guru bernama orangtua.

So glad I wrote this, karena ternyata saya tidak perlu takut kehilangan skill saya sebagai guru karena tiap hari saya mengasahnya. Kecuali bagian kesabaran ya, itu diasah, ditempa, diapain juga masih harus extra effort biar tetap pada level yang aman bagi psikis anak. #jujur

Jadi, masih kangen ngajar? Masih lah..

PS: Baru sadar, ini satu-satunya post saya yang sesuai dengan judul blog saya, at least setahun terakhir. I should've written more about teaching, or I should change the title of my blog.


Wednesday, November 22, 2017

Writer's Block.


Salah satu kunci kebahagiaan saya ketika menulis adalah ketika jemari tangan bisa menari di atas keyboard sesuai dengan perintah otak, tanpa hambatan berarti. Selesai menulis, yang ada adalah perasaan lega dan puas. Lega karena apa yang selama ini tersimpan di otak akhirnya tertuang. Puas karena pikiran saya masih bisa menghasilkan sebuah karya. Sampai detik ini, sejak saya gemar menulis di blog pada tahun 2013, baru kali ini saya mengalami writer’s block.

Bagi yang belum tahu apa itu writer’s block, Wikipedia mengartikannya sebagai a condition, primarily associated with writing, in which an author loses the ability to produce new work, or experiences a creative slowdown.

Ciri-ciri yang saya alami:
1.    Susah menemukan kalimat pertama, padahal ide sudah ada di kepala. Kalimat pertama buat saya adalah kuncinya.
2.    Sudah menulis satu sampai dua paragraf, kemudian bingung bagaimana menyambungnya dengan ide lain yang ingin saya tuliskan.
3.    Sudah menulis beberapa paragraf, and thought it wasn’t good enough. It won’t be a good writing.

Mengapa oh mengapa…

Sudah hampir sebulan saya merasa macet. Bukan karena tidak ada ide.. Malah sebaliknya, ide yang ada banyaaaaak sekali. Ada yang saya tulis di bank khusus ide, ada yang di notes hp, ada yang masih di otak…

Setelah melalui perenungan yang cukup panjang, I think I know why.

Terlalu banyak ide yang ingin ditulis, namun tidak tersalurkan dengan kecepatan yang memadai. Sehingga, ia menumpuk dan menyebabkan sumbatan. Ketika menulis ide pertama, anak bangun. Tulisan pun harus ditunda. When I got a chance to continue…

(wait, he woke up. Brb.)

…I had to start from the beginning. Maksudnya, saya harus membaca lagi dari awal paragraf kemudian melanjutkannya. The problem is, belum tentu setelah membaca ulang kita tahu apa yang harus ditulis agar tulisan itu mengalir. Sekedar melanjutkan menulis itu bisa, namun melanjutkannya agar tetap enak dibaca butuh mood dan memori tersendiri.

Seperti tulisan ini. Saya menulis bagian pembuka dua hari yang lalu, kemudian dilanjutkan kemarin, dan hari ini. Saya sudah berjanji akan menyelesaikan tulisan writer’s block ini hari ini. Karena ini tulisan curhat, saya tidak punya beban untuk membuatnya harus ciamik dan sejenisnya.

Tapi, saya harap saya bisa mengeksekusi ide tulisan yang sudah menumpuk satu demi satu hingga tercapai kembali kepuasan menulis seperti biasanya.

Kehilangan kelancaran menuangkan kata-kata dalam tulisan is like losing your magic, you know

Semoga Desember nanti saya bisa menulis seperti semula. Aamiin.



Tuesday, November 7, 2017

Enlightening Parenting: Semua Berawal dari Keluarga



Pernah denger tentang enlightening parenting? EP (saya singkat saja ya) merupakan salah satu aliran parenting yang saya tahu terakhir, kira-kira setengah tahun yang lalu dari Instagram. Saya suka dengan konsepnya yang make sense dan practical. Sempat saya ikut sharing session dengan salah satu penggiatnya, yaitu Dini Swastiana, waktu beliau ke Jogja beberapa bulan lalu. Seneng banget waktu itu, karena harga tiket terjangkau dan peserta terbatas. Pernah ada training langsung di Jogja dengan Okina Fitriani, yang mencetuskan konsep EP ini. Sayang, harganya jut-jutan…saya enggak kuat lah.

So, lucky me, sewaktu Sabtu lalu Okina Fitriani mengisi seminar parenting di Hotel Pesonna Jogja. Tiket cuma Rp 75.000, langsung daftar! Dream comes true banget bisa menimba ilmu parenting langsung dari ahlinya.

Kalau seminar seperti ini, hal pertama yang saya lakukan sebelum memutuskan untuk mendaftar adalah…memastikan suami atau mama saya available untuk menjaga Aksa dan Argi. Alhamdulillah, mereka bisa memback up saya dan saya pun tenang mengikuti seminar.
Bagus nggak seminarnya?

Two thumbs up. Mbak Okina emang keren. Orangnya juga lucu dan suka menyindir (hahaha) jadi peserta pun nggak bosen dan merasa tersindir. Poin-poin penting yang mind opening buat saya antara lain:

Mengasuh anak itu me time.
Ketawa donk semua peserta sewaktu Mbak Okina bilang seperti itu. Gimana bisa? Kata beliau, “Anak kan tamu istimewa yang kita undang dengan sengaja. Kalau sama tamu istimewa kan, kita pasti maunya ngobrol lama, ketawa-ketiwi, seneng-seneng…Mengurus anak itu sebenarnya nikmat, tapi kita anggap sebagai beban. Mengurus anak sekalian mengumpulkan pahala kan..Tunggu deh kalau mereka sudah berusia 15 tahun, atau mungkin sekarang umur 10 tahun, kita bakal capek me time!..karena mereka sudah nggak mau lagi nempel-nempel ibunya..” Hiks, kenapa jadi mellow gini..

Kepemimpinan bermula dari rumah
Sebelum aktif di dunia parenting, Mbak Oki sempat bekerja 10 tahun di dunia oil and gas. Tahu tidak, yang membuatnya berpindah haluan? Karena ia melihat, leader yang bermasalah di dunia kepemimpinan berawal dari rumah. Karena itu, kita sebagai orangtua harus mampu membuat anak nyaman di rumah. Jika anak di rumah sering diomelin, dinasehatin, dipelototin, anak akan mencari kebahagiaan di luar rumah. Di era “curhat di sosmed” seperti sekarang ini, banyak komunitas yang akan dengan senang hati “menerima” anak-anak yang butuh teman… Kalau komunitasnya positif sih tidak apa-apa, jika sebaliknya, serem kan…

Kekeliruan pengasuhan
Ada banyak kekeliruan dalam pengasuhan. Saya bahas yang paling mengena saja ya. Pertama, bohong. Hampir semua orangtua pernah bohong ke anaknya. Namun, ada bohong tingkat tinggi, yaitu membawa nama Tuhan. Misalnya, “Awas ya, kalau tidak nurut mama nanti masuk neraka!” Padahal, anak yang diingatkan masih belum baligh, jadi belum mendapat pahala dan dosa. Saya sering (hiks) melakukan ini, tapi versi “nanti nggak disayang Alloh lho”. Trus anak saya bertanya, “Siapa itu Alloh?”

Kedua, mengancam tapi tidak melakukan. Ya ampun, kok saya hampir tiap hari ngancam anak saya ya? Huhu,,,maafkan ibu nak.. Memang umum banget ya kasus seperti ini, apalagi kalau kitanya sudah habis kata rayuan dan enggak mempan..

Ketiga, solusi disuapi. Artinya, jika anak menghadapi masalah, kita yang memyelesaikan. Misalnya, Mbak Okina member kasus peserta seminar, “Bagaimana jika anak kita bilang gurunya nggak ada yang suka sama dia?” Salah satu peserta menjawab, “Tak parani gurune..! (Saya datangi gurunya)” Nah, itu salah satu contohnya kita yang “menyuapi” solusi. Trus, gimana donk sebaiknya sikap kita?
Tanyakan pada anak, berapa jumlah gurunya. Misal jawabnya 12. Lalu Tanya lagi berapa yang tidak menyukainya, pasti tidak mungkin semuanya donk.. Katakanlah jawabannya dua, maka openmind anak kita bahwa masih ada 10 guru yang bersikap baik padanya. Kemudian, pancing anak untuk mencari solusi dengan pertanyaan, “Kira-kira apa yang bisa Kakak lakukan agar guru yang tadi menyukai Kakak?” Jika anak menjawab rajin mengerjakan PR, tidak mengobrol di kelas, dan sebagainya, tutup dialog dengan, “Oke, besok kita coba ya..!”

Keempat, MALAS. Malas disini bukan malas memandikan atau tidak mau menemani bermain, melainkan suka mengancam dan nyukurin. Berkaitan dengan poin kedua tadi, mengancam ternyata merupakan wujud dari kemalasan orangtua untuk berdialog dengan anak untuk mencapai tujuan. Maunya instan. Anak disuruh mandi tidak mau, lalu diancam mainan barunya akan dibuang (eh, ini siapa ya?). Sebetulnya bisa kan dibujuk dulu untuk memandikan mainannya. Suka nyukurin anak juga salah satu wujud dari orangtua malas. Ancaman yang menjadi nyata karena ketidak sengajaan (misal anak jatuh) lalu kita menimpali, “Tuh, apa mama bilang!” seharusnya bisa diganti dengsan kalimat yang lebih konstruktif seperti, “Biar besok nggak jatuh lagi, sebaiknya kita gimana Kak?”

Kesalahan pengasuhan lainnya, antara lain tidak mengambil tanggung jawab (alias ngeles), labeling, fokus pada kekurangan serta fokus pada dunia. Gimana, ada berapa yang sudah pernah kita lakukan?
Kalau saya sih, hampir semua pernah, baik sengaja maupun tidak. Karena tidak ada manusia yang sempurna, saya harus bisa memaafkan diri saya sendiri dan selalu berusaha memperbaiki kesalahan. 
Karena itu, saya suka sekali ikutan seminar parenting, baca buku parenting, dan follow akun-akun parenting di medsos. Itu cara termudah untuk menimba ilmu walau prakteknya memang luarrrr biasa challenging. Jadi orangtua itu mengubah diri bener, ya..


So, setelah ikutan seminar enlightening parenting kemarin, saya seperti direcharge lagi semangat untuk menjadi ibu yang lebih baik… Sabtu seminar, Selasanya udah kelepasan emosi lagi. Hiks.. Beri hamba kekuatan ya Alloh..

Monday, October 23, 2017

Lomba Masak, Siapa Bilang Gampang?



Saya, wanita yang paling tidak suka menyibukkan diri di dapur, mendadak pingin ikut lomba masak. Tawaran lomba tersebut datang saat sekolah Aksa berencana mengadakan peringatan Hari Pangan dengan cara mengadakan Cooking Competition for Parents. Niat saya seseruan, karena menang bukan target utamanya. Seru pastinya karena satu tim berisi lima orang dan saya belum banyak kenal dengan parents yang lain, so pasti bakal nambah kenalan dan ajang sosialisasi. Hobi nonton Masterchef juga turut menjadi faktor penguat keinginan saya untuk berpartisipasi. Kapan lagi bisa ikut lomba masak yang nothing to lose gini kan ya..

Se-nggak niat nggak niatnya menang, tetap saja saya dan tim nggak mau tampil memalukan. Setelah tim terbentuk mewakili level kelas anak kami, kami pun berdiskusi melalui grup Whatsapp, dilanjutkan sekali kopdar pada H-2. Saya ingin menu yang sesimpel mungkin karena saya cari aman (hahah), dan alhamdulillah ibu-ibu di kelompok saya pun kayaknya orangnya nyantai semua. Klop dah. Bikin nugget singkong kita akhirnya (karena bahan dasar masakan harus singkong), sesuai usul ketua tim.

Yak, pada hari H, saya sudah sempat mengukus beberapa sayur untuk garnish di rumah karena saya yang mendapat tugas plating. Siapa tahu disana waktunya tidak cukup untuk mematangkan sayur hiasan ini.

Ternyata betul saudara-saudara. Waktu 1,5 jam yang diberikan panitia yang awalnya serasa “kok lama banget”, ternyata berlalu dengan saaaangat cepat. Kegiatan pertama yaitu memarut singkong, membutuhkan waktu yang lebih lama dari yang saya duga. Padahal, dua orang dikerahkan untuk memarut (termasuk saya) sementara tiga orang lainnya mengupas udang dan menyiapkan wortel cincang sebagai bahan adonan nugget. Sehingga, ketika waktu memasak tersisa 15 menit, adonan baru masuk panci pengukus. Ketika waktu kurang tiga menit, nugget baru sempat digoreng. Terpaksa, kami sajikan nugget kukus di piring yang sudah selesai proses garnishnya. Sebelum peluit berbunyi, 
Alhamdulillah kami berhasil mengganti nugget kukus dengan nugget goreng.

Meja tim lain
Fiuhhh. Lega dan…pengen ketawa rasanya..

Gimana enggak ya, saya ngerasa tim kami nebie abis di kancah perduniamasakan. Itu meja sebelah masakannya rumit-rumit dan display mejanya alamak colorful to the max…! Kalau saja salah satu dari kami tidak membawa bunga dan alas meja serta tulisan artsy yang diberi pigura, sudah hancur lebur ini meja. Cuma ada piring dengan desain minimalis dan nugget kukus. Bayangkan saja, tim sebelah menunya ada yang klappertart sampai smoothies. Dari bahan singkong, lho. Gak kebayang kan..
Meja tim saya. How?
Melihat hasilnya, saya sih sudah pasrah kami akan menghuni perolehan poin di dua  terbawah. Tapi, saya puas dengan hasil plating saya yang clean dan ala ala masterchef. Boleh dong memuji diri sendiriii.. For a woman who never cooked until she got married, this is an achievement.
Saat pengumuman, kami pun dinobatkan sebagai juara kelima dari lima peserta. Alhamdulillah…hahaha..

Hadiah lomba. Kreatif dan sangat Hari Pangan.
Terlepas dari peringkat kami, saya menilai ada beberapa hal yang bisa saya pelajari dari lomba masak ini.

Pertama, manajemen waktu. Idealnya memang menu harus diuji coba terlebih dahulu sebelum dilombakan sehingga kita tahu berapa lama waktu yang diperlukan untuk setiap tahapnya. Sebenarnya, ketua tim sudah mencobanya di rumah sih, tapi maklum kami ibu-ibu yang terlalu banyak pikiran sehingga tidak terpikir untuk menghitung waktu memasak. Karena saya juga tidak pernah ikut lomba masak, saya hanya fokus ke bagaimana tugas saya bisa dilakukan dengan baik, yaitu plating.  

Kedua, kerjasama tim. Kami berlima belum mengenal satu sama lain. Kalau tidak salah, saya hanya pernah berbincang sekali dengan setiap anggota tim lainnya, dan baru berkenalan dengan satu anggota tim yang tersisa. Pada hari H, kami ternyata mampu bekerjasama dengan baik, tanpa ada konflik, malah setelah lomba semakin dekat. Lomba masak ini ternyata sudah mencapai tujuannya, yaitu gathering. Mengumpulkan dan mengakrabkan yang tadinya tidak saling tahu.

Ketiga, pengalaman. Terlihat sekali dari pilihan menu, peralatan yang dibawa, alat makan yang didisplay bahwa jam terbang itu berpengaruh besar. Sama seperti lomba-lomba lainnya (mendadak saya ingin menulis tentang lomba mewarnai anak ya). But, honestly, I do like my team’s decoration. Saya suka yang simple and that’s what we did.  Pilihan menu juga sudah sesuai dengan kemampuan kami.

For that, I conclude that, we made it!! High Five for all of us ya buibu.. and also for dads who took care of the kids and babies while we’re having fun J.


Friday, September 29, 2017

The Story of Our Maids


When was the last time you felt so lucky?

Most of the time saya merasa masih lebih banyak mengeluh daripada bersyukur. Baca buku parenting, datang seminar, dan segala macamnya bisa membuat saya bersemangat untuk lebih menikmati hidup dengan segala macam raising-kids drama….untuk sementara. Kemudian, masa-masa yang terasa berat datang lagi.

Datangnya seorang asisten rumah tangga (ART) ke dalam kehidupan saya dua minggu lalu membawa kebahagiaan tersendiri. Not only my house is clean, but I am also able to enjoy the moment with my baby without thinking about the kitchen. Saat ia bekerja, kami sering mengobrol tentang banyak hal. Dari sekian banyak ART yang pernah saya pekerjakan, setiap orangnya memiliki kisah hidup yang membuat saya bersyukur bahwa saya ada di posisi ini. Bahwa saya harus bisa berbuat lebih dengan kenikmatan yang Alloh berikan.

Emak kira-kira berusia hampir 50 tahun. Anaknya masih SMP kelas satu. Suaminya meninggal karena tetanus saat anaknya masih berusia tujuh tahun. Ia menggambarkan hidupnya seperti burung, hinggap dari sana kemari. Tidak berlebihan, ternyata ia yatim piatu sejak masih kecil. Tuhan Maha Adil, ia masih bisa bekerja selam 30 tahun di komplek perumahan dosen hingga ia mampu membeli sebidang kebun yang kemudian menjadi rumah tempat tinggalnya sekarang.

Dulu, ia pernah menikah (sebelum dengan ayah anaknya) namun suaminya salah pergaulan. Uang kerap hilang, hingga akhirnya ia tidak tahan dan berpisah dengan suaminya.

Di masa tuanya ini, ia bekerja serabutan. Sebelum bekerja di rumah saya, ia mengasuh anak dari usia bayi hingga anak tersebut masuk PAUD. Dengan low-wage job semacam itu, ia masih bisa menyekolahkan anaknya. Ia juga professional karena kerjanya baik. Karena itulah mungkin rejekinya tetap mengalir.

When I told my husband about her story, saya bilang ceritanya mirip sinetron. Saya dan suami merasa jauh lebih beruntung dengan kondisi kami and I begin to reset my standard of complain. Memalukan sekali rasanya jka saya mengeluh terlalu lelah mengurus dua anak tanpa pembantu sementara  Emak saat seusia saya sudah pasti jauh lebih lelah, fisik dan mental. Saya masih melihat gurat keras karakter di wajahnya. She’s a fighter.

Emak hanyalah salah satu contoh pelajaran hidup yang bisa saya petik dari sekian banyak ART yang pernah bekerja di keluarga saya. Beberapa bulan lalu, ibu mertua mendapat ART yang sebenarnya bukan ART. Back then, mereka petani tembakau yang cukup berada di desanya. All of a sudden, the tobacco price dropped. Miskin mendadak. Mendadak cari pekerjaan whatever it was yang penting bisa makan. Ibu ini membawa serta anak gadisnya yang baru lulus SMP untuk sementara tinggal di rumah mertua saya sambil mencari kerja although I was so sure she didn’t want to work. She wanted to continue to high school. Life is that hard.

So, how hard your life is now, there are lots of people out there who suffer more. Boleh lah, sesekali kalo capek disalurkan dengan curhat ke suami atau keluarga, tapi jangan sering-sering sampai suami jengah. Jalani hidup dengan penuh rasa syukur, termasuk menghargai waktu yang ada dengan melakukan kegiatan bermanfaat. Seperti saya sekarang ini, misalnya, melihat timeline Instagram online bookshops yang sedang live shopping di Big Bad Wolf Books Surabaya, hahah… Kalau ini bermanfaat meredakan stress lah ya…


P.S.: Maaf kalau ending tulisannya enggak banget.

Thursday, September 28, 2017

EF 17.3: Common Mistakes in Writing English


Who says writing in English is not easy? It won’t be easy if you don’t dare to try.

I started to write in English when I was 17. At that time, I took an English class at LIA. The teacher often gave writing tasks and they corrected the writings also. I guess I got my basic writing skill here, especially grammatically.

In 2005, I got a chance to volunteer in a western country. My writing skill improved as I spoke English on a daily basis. I started to write my journal in English. Journal is similar to a diary in Indonesia but it also included daily plan and stuff (for me). Things became so easy back then with English speaking environment.

Years after, I didn’t really write in English. I had a blog in English but it had five posts only. Then, I joined BEC (Blog English Club). I wrote English blog post regularly as part of BEC Challenge. BEC members had some discussions following the challenge; in order to enrich the members’ writing ability and….to encourage each other.

Yes, that’s the most important point. 

I believe that a lot of people feel unconfident to write in English although they are able to. So, it is important to motivate yourself to be confident to write. If you have English speaking community such as debate club or English course, it would be better.

Does my story have anything to do with the challenge’s topic (Common Mistakes in Writing English)?

For me, it does.

The lack confidence and courage are the first mistakes, then you can jump to grammatical mistakes. For instance, it becomes more difficult for me to write an English post since I don’t work anymore, and Blog English Club has been less active. Every time I write, I had to check Google for my grammar, even for the spelling of words…! My English ability is aging, like my skin LOL

Well, I don’t want to cry on this. That I finally managed to write this post (although the challenge was more than a month ago) proved that I still have the courage. Now, it’s time to work on my common grammatical mistakes: tenses.



PS: This post is a part of BEC’s English Friday Challenge. Dare to join? Click here.   




Wednesday, September 13, 2017

7 Things I Like about Grand Keisha


Alhamdulillah, bulan lalu suami mendapat voucher menginap di Hotel Grand Keisha by Horison. Berbeda dengan voucher sebelumnya, kali ini pihak hotel yang officially mengundang suami untuk meliput hotel yang tergolong baru di Jogja ini.  So, kami pun mendapat extra treatment  (yeayy!) dan inilah lima hal yang saya suka dari Grand Keisha:

1.       Jus Sawi
Tampaknya welcome drink sekarang sudah menjadi hal langka di dunia perhotelan. Jadi, saya senang sekali ketika sampai di hotel, saya ditawari memilih welcome drink (apa mungkin saya dikira rombongan dari Bank Jateng ya, soalnya saya datang bersamaan dengan mereka). Pilihannya adalah teh, orange juice, dan jus sawi. Saya pilih yang terakhir karena penasaran, dan ternyata rasanya enak banget…! Saya udah bujuk suami yang habis dari resepsionis untuk mengambil satu gelas, sayang ia menolak. Gagal deh modus nambah..

Area lobi minus foto welcome drink :p
2.       Kamar putri raja
Begitu buka pintu kamar, saya langsung takjub dengan interior kamar yang bernuansa biru putih. Kamarnya seperti kamar putri raja dan luassss…. Setelah saya tanya suami, ternyata kami menempati tipe Junior Suite yang luasnya sekitar 53 m². Sebagai perbandingan, Deluxe Room luasnya 29 m². Cukup terasa bedanya. Harganya pun “putri raja”, sekitar Rp 1,3 juta kalau di situs booking dan Deluxe Room sekitar Rp 600 ribuan. We’re so lucky then J Dengan kamar seluas ini, plus lantai berkarpet tebal, kedua anak saya (4yo dan 7mo) puas bermain. Si kakak puas main lari-larian, lompat, berguling, dan petak umpet (ada satu pilar besar di kamar kami dan korden yang cukup besar untuk bersembunyi), sementara the bayek yang baru mulai ngesot bisa ngesot sepuasnya tanpa takut terbentur furniture. Ibunya pun bisa puas ngopi-ngopi di depan laptop sambil memandang Jogja dari lantai 6 tanpa takut tertabrak anak yang lari-lari.






3.       Kamar mandi “lengkap”
Kamar mandinya juga besar karena bath tub terpisah dengan shower room. Yang saya suka dari kamar mandinya adalah, pertama, saya bisa memandikan si dedek di bath tub. Terakhir kali kami menginap di hotel yang hanya ada shower, sehingga (maaf ya dek) kami memandikannya di wastafel. Waktu itu dia masih kecil, jadi masih cukup, hehe.. Kedua, air panasnya cepat panas. Penting banget ya? Iya, apalagi kalau habis berenang harus memandikan si kakak yang sudah kedinginan. Ketiga, amenitiesnya ada body lotion. Sebagai makhluk non AC, tidur di ruangan berAC langsung membuat kulit kering. Walaupun body lotionnya odorless tidak masalah, yang penting ada. Keempat, ada bidet alias shower cebok. Sekarang banyak toilet yang bidetnya tertanam di kloset, yang membuat kita susah nyebokin anak, haha… Lebih modern dan ringkas memang, namun rempong kalau anaknya masih kecil, ya kan.. Kelima, di atas kloset ada tempat untuk menaruh handuk or pakaian ganti. Terkadang area kamar mandi yang sempit membuat baju dan handuk seperti “rebutan” tempat dan kamar mandi berasa barak penampungan. Kalau disini tidak. Yang tidak ada hanya satu: bathrobe. Oh ya, ada hairdryer juga, jilbab ga perlu kebasahan habis renang.
  
4.       Ramah busui dan MPASI
Karena saya pumping, saya pun menanyakan tentang freezer untuk menyimpan ASI. Ternyata saya bisa menitipkan ASI di restoran. Tinggal telepon, bellboy akan datang mengambil ASIP dan memberi kartu tanda penyimpanan. Untuk mengambil ASIP, kita harus datang sendiri ke restoran karena harus menukarkan kartu tersebut secara langsung. Di kamar pun ada minibar (kosong) yang bisa untuk menyimpan ice pack sementara. Saya membawa dua ice pack yang saya sertakan satu demi satu setiap saya menitipkan ASIP). Air panas untuk membuat bubur instan tinggal mengisi teko, sementara untuk MPASI non instan tinggal kita taruh di minibar jika belum ingin dikonsumsi). Sayangnya, tidak ada baby crib yang bisa disewa. Jadinya, saya harus ekstra hati-hati membentengi si dedek agar tidak jatuh dari bed, mengingat tinggi bed di atas standar bed normal (kira-kira setinggi paha saya). Sebagai “benteng” tambahan, ada end of bed bench alias bangku panjang di kaki kasur.  Bagi tamu hotel yang tidak menginap, disediakan nursing room tepat di depan restoran di lantai dasar.

Inside the nursing room

Nursing room
5.       Lokasi
Lokasi  Grand Keisha memang strategis sekali, yaitu di Jalan Gejayan, selompatan saja dari perempatan ring road utara. Jalan sedikit kea rah kiri ada indomaret, menyeberang ada Bank Mandiri, BCA, dan pom bensin. Kalau lapar, Jalan Gejayan merupakan salah satu pusat kuliner di Jogja. Males jalan? Go Food aja. Ada Bebek Slamet, ayam krispi bersaus yang lagi hits, Panties Pizza, Sushi Story, sampai Pempek Ny. Kamto semua ada di ruas jalan ini. Pagi-pagi saya sempat jalan kaki sama the krucils sementara ayahnya berenang. Ternyata sekitar 100 meter di kiri hotel ada tempat sarapan yang cukup ramai, entah pecel entah gudeg. Saya tidak bisa melihat isi baskomnya. Buat yang dari kota besar mungkin lebih mencari sarapan khas seperti ini. Buat yang dari kota kecil, ada Hartono Mall di belakang hotel.

Sky Lounge

The green runway
6.       Masih bisa mendengar adzan
Nah, ini yang saya suka. Biasanya kan kalau di hotel kita tidak bisa mendengar adzan ya. Mendadak kedap suara aja semua kehidupan nyata di luar sana. Kalau di sini, adzan masih terdengar lho dari kamar, soalnya sebelah kiri hotel ada masjid yang cukup besar. Bahkan, sewaktu saya ke resto Ottoman yang menyatu dengan Sky Lounge, saya bisa mendengar adzan isya bersahut-sahutan. Indah sekali… Di Sky Lounge ini pula ada runway berupa rumput sintetis, yang tampaknya memang dirancang untuk acara peragaan busana, or private wedding maybe?


Nasi kebuli porsi besar
7.       Resto Ottoman
Kalau menginap dengan voucher, bisa dipastikan kita adalah tamu pengiritan, haha… Berhubung kemarin kami sekaligus tamu undangan, dapatlah kita makan malam di resto Ottoman yang menyajikan makanan khas Turki. Saya tidak ingat nama menu-menunya, tetapi kami memesan sejenis nasi kebuli, nasi goreng, dan roti pratha, berikut orange juice dan frappuccino coklat. Minumannya enak semua! Kopinya kuat bikin melek sampe dinihari, haha…Makanannnya enak walau gak memorable, tetapi roti prathanya selera saya banget. Harganya makanannya 50 ribu keatas tetapi porsinya bisa buat berdua. Karena itulah, kami gagal menghabiskan pesanan kami, tetapi….sisa makanannya bisa diantar ke kamar! Kebetulan nasi gorengnya benar-benar Cuma diicip dua sendok karena si kakak mogok makan. Kalau udah tinggal sedikit jelas lah…ga mungkin minta diantar ke kamar..





Menurut saya highlightnya ada di tujuh poin di atas. Untuk kolam renang memang ukurannya tergolong kecil tetapi ada kids pool kok. Ruang fitness baru menyediakan satu treadmill. Untuk sarapan, pilihannya banyak dan ukuran restonya lumayan besar. Menu yang enak malah menu standarnya, yaitu nasi goreng dan omelet. Menurut saya dua menu sederhana ini beda dengan menu di hotel lain, karena memang rasanya enak. Sliced cake dan muesli pun diletakkan di dalam etalase berpendingin (saya tidak tahu namanya) sehingga tetap yummy.



Info tambahan, musholla di hotel ini mengingatkan saya pada musholla di Syariah Hotel Solo. Tempat wudhunya ada di dalam area restroom sehingga bagi yang berjlbab tidak perlu kuatir terlihat auratnya. Mushollanya pun bersih walau tidak terlalu besar. Alat solat disediakan.

Oke, sudah 1000 kata lebih ini, semoga tidak lelah membacanya. Kesimpulannya, recommended.