Thursday, February 26, 2015

EF#8: A Letter for My-Almost-20 Self



Dear Me,

In few months, you will turn 20. Your first year leaving the tens and I’m sure it will be a great year.
You won’t believe what will happen this year.  A really big adventure is waiting for you. This amazing thing will change the way you think and act. It will also change you into someone new. You will be very excited for this, and somehow your excitement will boost your confidence.

Tuesday, February 24, 2015

Ngopi Cantik Itu Seperti Ini



Pertama kali saya mendengar istilah “ngopi cantik” itu dari sebuah artikel di mommiesdaily.com. Kurang lebih maknanya adalah hang out di kedai kopi dan sejenisnya, sekedar untuk ketemu teman atau menikmati me-time bagi para mama yang sehari-harinya sibuk dengan urusan anak dan atau pekerjaan. Harus cantik lho ya..! Maksudnya, dress up a bit lah..khususnya buat ibu rumah tangga seperti saya yang hanya dandan kalau ada kondangan atau jalan ke mal, itu berarti cuma 1-2 kali sebulan. Itu sebabnya saya tidak pernah beli make up, karena yang lama saja enggak habis-habis :(

Thursday, February 19, 2015

#EF7: A Cheap Place to Hang Out




Where do you usually hang out? Don’t say you go to the mall every weekend. That is okay for adults, actually, because I did, too. Now, I have to rethink about it since I have a kid and mall might not be good to visit often. 

Wednesday, February 18, 2015

Karena Nila Setitik, Jatuh Harga Bukunya



Minggu kemarin, saya beserta anak dan suami pergi ke Kebun Binatang Ragunan. Saat perjalanan pulang, kami melewati perempatan dimana banyak sekali penjaja keliling yang menawarkan barang kebutuhan anak. Ooh pantas, karena masih di daerah Ragunan, jadi mereka menganggap pengunjung kebun binatang mayoritas anak-anak.

Thursday, February 12, 2015

#EF6: Yup, Ahok is My Alter Ego.


Thinking about alter ego causes two things: confusion and imagination. I was confused because the articles i found in Google were mostly a theoretical explanation. Then, when I grasped the meaning of alter ego, my imagination went wild. What character could build my alter ego? Or, who will best describe my alter ego?

Monday, February 9, 2015

Masih Tentang Pakaian Bekas


Saat saya masih mahasiswa, penggemar dan penjual baju bekas belum sebanyak ini. Sekarang, saya melihat di Facebook banyak akun baju bekas, dari yang “benar-benar bekas” (ini sebutan saya untuk pakaian bekas yang kurang layak jual) hingga yang branded dan seperti baru.

Menurut saya, banyaknya peminat baju bekas ada hubungannya dengan tren berpakaian vintage alias jadul. Entah berapa lama tren ini akan bertahan, yang pasti sekarang yang jadul masih diminati. Adik saya salah satunya. Ia sekarang berdagang baju vintage dengan label Meet Me Dorothy. Harganya miring, tetapi bukan bekas. Entah dia dapat dari mana, katanya rahasia perusahaan. Saya juga sempat membaca profil Le Budget, bisnis baju bekas besutan dua orang remaja Surakarta di hipwee.com. Baju bekas koleksi Le Budget termasuk mempunyai nilai fashion, dan promosinya pun digarap serius.

Selain masalah tren mode, memilih baju bekas juga merupakan wujud gaya hidup hijau karena mengurangi limbah tekstil dan berbagai bahan baku yang tidak ramah lingkungan. Belum lagi kalau membicarakan upah buruh yang kurang layak (kalau tertarik masalah ini, bacalah artikel mengenai sweatshop). Di negara Amerika Serikat dan Kanada, cukup banyak toko pakaian bekas termasuk yang dijalankan oleh organisasi charity yang disebu thrift store dan organisasi keagamaan seperti Salvation Army. 

Jangan dibandingkan dengan toko pakaian bekas impor disini ya, karena disana barangnya bersih dan ditata rapi layaknya toko, lengkap dengan pramuniaga. Tidak hanya pakaian, mereka juga menjual sepatu sampai perabot rumah tangga. Salah seorang teman WNA menceritakan bahwa sejak kecil ia gemar membeli baju di thrift store dan itu bukan hal yang memalukan disana.

Di Indonesia, masih sedikit toko pakaian bekas atau barang bekas yang naik kelas. Di Jogja ada Barkas, toko barang bekas yang penataannya lumayan rapi dan berada di ruko. Harganya masih agak tinggi untuk barang bekas, menurut saya. Setidaknya, sudah ada usaha untuk melihat potensi tersembunyi dari barang bekas. :)

Saya sendiri belum pernah ke pusatnya baju bekas semacam Pasar Senen, bisa kalap nanti, haha.. Yang jelas, konsumen sekarang lebih cerdas. Mereka rela berburu barang murah berkualitas, dan tidak dibutakan oleh harga mahal dan merk. Kalau masalah bekas atau tidak, itu tergantung selera dan standar masing-masing orang ya. Saya sih tidak masalah, selama masih bagus, bersih, dan nyaman dipakai, kenapa tidak?

Yang Saya Suka dari Awul-awul


Saya sempat sedikit sedih ketika membaca berita koran kemarin. Pemerintah bakal melarang impor pakaian bekas. Alasannya, pakaian-pakaian tersebut berpotensi menyebabkan penyakit kulit hingga kutu kelamin. Sebagai seseorang yang beberapa kali menjadi pembeli pakaian bekas, alhamdulillah saya belum pernah terkena gatal-gatal atau bahkan panu gara-gara memakai pakaian bekas. Tentu saja, pakaian tersebut harus dicuci dulu, kalau perlu direndam air panas untuk mematikan kuman.

Karena itu, saya agak menyayangkan kebijakan pemerintah tersebut. Menjamurnya pedagang pakaian bekas impor menandakan banyaknya permintaan bukan? Menurut beberapa konsumen yang diwawancarai merdeka.com, harga yang jauh lebih murah menjadi alasan mereka membeli pakaian bekas, sehingga sisa uangnya masih bisa digunakan untuk keperluan lain. Hmmm..masuk akal sih, tetapi mungkin pengalaman saya agak sedikit berbeda.

Dulu ketika masih mahasiswa, saya dan beberapa teman suka berburu pakaian awul-awul. Istilah tersebut digunakan khususnya untuk pakaian bekas yang ditaruh di boks, sehingga kita harus mengaduk-aduknya untuk mencari pakaian yang cocok, karena itu dinamakan awul-awul (dari kata awut-awutan alias berantakan kali, ya?). Walaupun sama-sama pakaian bekas, awul-awul tidak sama dengan toko bertuliskan “pakaian impor”.

Pertama, awul-awul biasanya dijual musiman sementara toko pakaian impor buka terus. Di Jogja, awul-awul bisa ditemui di alun-alun utara saat perayaan Sekaten. Kedua, pakaian yang dijual di awul-awul belum tentu dari luar negeri. Ketiga, (ini yang paling penting) saya lebih banyak menemukan pakaian “keren” di awul-awul, sementara toko pakaian impor lebih banyak menjual jaket, celana jins, serta pakaian yang berukuran besar dan warnanya sudah kusam.

Percaya atau tidak, pakaian yang saya beli tahun 2007 di awul-awul masih saya pakai hingga sekarang lho! (dan tidak pakai gatal-gatal) Saat itu harganya Rp 15.000, lebih mahal dari standar awul-awul yang Rp 5000an, karena modelnya bagus. Saya mendapatkannya di Jalan Wirobrajan, tetapi sekarang toko tersebut sudah tidak ada.

Sekarang, saya tinggal di pinggiran Bogor dimana ada lebih dari satu kios pakaian bekas impor di komplek perumahan saya. Ada satu yang pernah saya datangi karena dari luar baju-bajunya terlihat lebih “cewek” dan berada di salah satu ruko sehingga cukup bersih. Baju batik kuning berkancing batok kelapa di gambar di atas, adalah salah satu hasil buruan saya disini, hanya seharga Rp 15.000. Saya tidak tahu apakah ini karena daya beli saya menurun, atau baju dan rok batik lucu di luar sana yang harganya ratusan ribu rupiah.

Setiap kali berhasil mendapatkan baju bagus dan murah, saya kok merasa berhasil sekali ya, haha.. Beda dengan ketika berhasil membeli pakaian bagus tapi harganya lumayan, saya jadi takut.. Takut kalau bajunya luntur lah, kecoret pulpen, atau kecantol paku. Kalau yang bekas kan, tidak semenyesal itu kalau nanti terkena noda :p

Selain itu, ada beberapa alasan tambahan mengapa baju bekas pantas dilirik. Lihat post saya berikutnya, ya!

Thursday, February 5, 2015

#EF5: The Life After BEC



A mom is busy in the kitchen, cooking for lunch. While frying some chicken, she was checking some messages on her phone. Scroll..scroll , her fingers were moving up and down on the phone screen. Her face looked so serious, until she heard her husband shouted at her.

Wednesday, February 4, 2015

Dilema Anak Tetangga




“Aksa mau main ke rumah Tian?” tanya Mama Tian seusai kami berdua mengobrol di depan rumahnya sembari menemani anak kami latihan berjalan. Saya menolak dengan halus, dengan alasan mau lanjut jalan-jalan keliling kompleks.

Tawaran semacam ini, entah sungguh-sungguh atau hanya sekadar basa basi, sering dilontarkan tetangga-tetangga saya. Hingga kini, belum pernah saya mengiyakan tawaran mereka, haha.. Alasan saya sederhana, karena Si Mama Aksa ini dari kecil biasa main di rumah sendiri, di lingkungan tempat tinggal yang individualis (saya pernah ceritakan di sini). Jadi, untuk masuk ke “area pribadi” orang lain seperti rumah, dan orang lain masuk ke rumah kita, adalah hal yang menimbulkan rasa kurang nyaman. Tentu saja, bertamu tidak termasuk lho ya.