Kalau di
post sebelumnya saya mereview sebuah hotel yang menurut saya “tua”, ternyata
kali ini saya akan berbagi pengalaman menginap di sebuah hotel yang lebih tua
lagi.
Awalnya,
suami menawarkan saya untuk ikut liputan ke Solo dan menginap di Lor In. Saya
setuju donk ya, karena saya tahu Lor In itu hotel bagus dan worth it kalau
bela-belain ngajak baby Argi dengan segala resiko rewelnya di mobil. Sehari
sebelum berangkat, suami dapat kabar kalau hotel full booked dan dapatnya Kusuma Sahid Prince. Langsung saya gooling
hotel tersebut dan langsung agak syok karena tidak sesuai ekspektasi saya. Bahkan,
hotel berbentuk semi keraton ini sempat direview tidak bagus tentang
kebersihannya. Well, okay, saya tidak mungkin membatalkan ini karena sudah
bilang iya ke suami. Bismillah, semoga hotel ini tidak seburuk yang saya kira.
Bagian hotel tempat kamar kami berada |
Kami tiba
sekitar pukul 11 malam dan clueless dimana lahan parkirnya, dimana
resepsionisnya. Kebetulan di hotel ini ada pendopo besar dan halaman parkirnya
disulap menjadi booth untuk pameran moge (motor gede). Ternyata, resepsionisnya
berada di pendopo tersebut, hanya berupa sebuah meja kayu dan seorang
resepsionis. Persis bersebelahan dengan meja panitia moge. Setelah check in,
kami pun masuk ke kamar yang berada di gedung paling dekat gerbang (dan
terlihat paling modern), sementara kamar lain berupa bungalow. Lahan parkir pun
outdoor dan berada di depan bungalow. Dengan dibantu seorang bellboy bertroli,
kami pun naik ke bangunan berlantai dua tersebut.
Saat masuk,
terlihat sekali bekas-bekas kejayaan hotel ini. Lantai full berkarpet, termasuk
tangga ke lantai dua. Beberapa frame dipasang berisi tanda tangan tokoh penting
yang pernah menginap disana. Sampai di kamar, ternyata lantainya berkarpet juga….dan
sudah sangat kusam. Begitu juga kondisi kamar mandi dengan noda di bathtub dan
lubang kloset, serta saluran pembuangan air bathtub yang rusak sehingga harus
ditarik secara manual.
Di penunjuk
jalan tadi, terlihat lima bintang di bawah namanya, sementara di ulasan
internet tergolong bintang empat. Kalau menurut saya sih…bisa saja bintang
empat asal lebih dirawat fasilitasnya. Tempat tidur dan yang lain-lain standar
sih. Saya suka lemarinya yang besar sehingga bisa memuat baju-baju tanpa harus
digantung. Amenitiesnya juga cukup lengkap dengan adanya sisir dan cotton bud. Yang
tidak saya temui disini adalah…krimer! Betul, kopi teh hanya ditemani gula dan
diasweet. Itu pun berlaku di restoran tempat kami sarapan. Padahal saya pecinta
kopi krimer…
Selalu pas sudah ada bayi ya kalau foto bednya.. |
Cukup luas untuk menyimpan semua barang bawaan |
Suasana kamarnya
cukup temaram. Sama seperti Inna Garuda, di meja nakasnya juga terdapat tombol
lampu. Hanya saja, AC sudah memakai remote. Alhamdulillah, kami masih dapat
tidur nyenyak walaupun mendapat kamar dengan twin bed yang artinya saya harus menjaga Argi agar tidak ngglundung (jatuh –red) dari bed, hehe… Dia pun mendadak jadi bayi manis yang doyan tidur disini. Alhamdulillah lagi, masih ada
penunjuk arah kiblat sehingga kami bisa langsung solat (hotel masa kini sudah
jarang yang memasang tanda kiblat, IMO).
Keesokan
paginya, saya dan suami bergantian turun sarapan karena anak-anak masih bobok
juga sementara kami sudah lapar. Saya sarapan berdua dengan Aksa yang baru saja
melek mata. Suasana restoran Gambir Sekethi sudah ramai. Selain karena
ukurannya tidak besar, ada dua rombongan yang menginap disana. Saat itu jam
setengah delapan kalau tidak salah. Menu buffetnya standar, nasi putih, nasgor,
sayur, ayam. Saya sempat mencoba nasi goring yang tampaknya menjadi favorit
karena selalu ludes dan refillnya lama. Bahkan saat saya mau nambah sudah habis.
Jus buah pun habis dan tidak direfill. Sisanya, saya mencoba bubur ayam, sup
sayur, omelet, dan roti selai. Semuanya enak. Petugasnya yang beberapa masih
seperti PKL cukup ramah, bahkan di mbak yang membuat omelet selalu menawarkan
untuk mengantar pesanan ke meja. Sampai pada suatu titik tampaknya ia sudah
tidak mampu mengingat siapa pesan apa duduk di mana, hahah…
Kesimpulannya,
rasa tidak mengecewakan tetapi stoknya yang harus diperbanyak.
Sambil menunggu
suami pulang liputan, saya terpaksa stay di kamar saja karena Argi masih bayi,
riskan kalau diajak jalan-jalan keluar. So, di kamar saya sempat main petak
umpet dengan si sulung, nonton TV, baca koran, menemani Aksa main hewan-hewan
mininya, sampai bikin popmie. Dalam masa pingitan tersebut, saya baru sadar
bahwa bed tempat Argi bobok kok sering kedatangan semut kecil ya.saya yakin,
saya menemui lebih dari sepuluh selama saya menginap di sana. Jadi, saya rutin
ngecek kondisi kasur.
Tapi yang
paling menyebalkan, tas saya disemutin gara-gara ada sebungkus yupi. Di rumah
saya saja tidak pernah kejadian seperti ini. Sampai-sampai saya jemur tas di
dekat jendela yang ada terik mataharinya. Semakin banyak makanan di meja, makin
banyak pula semut ini datang. Bahkan, ada semut yang besar dan mereka berjalan
di sudut tembok. Di malam kedua kami disana, malah si semut besar ini berani “nyebrang
jalan” dari tembok ke tempat sampah. Saya jadi parno sendiri, sering ngecek
barang-barang, apalagi lampu temaram membuat everything looks fine.
Mobil kami
pun sempat parkir di luar hotel sepulang suami liputan. Area parkir hotel sudah
full oleh peserta yang ikut acara moge tadi. Ohya, satu lagi, the wi-fi didn’t work. Berkali-kali saya
masukkan username dan password di tiga gadget berbeda, semua gagal. Ketika telepon
ke room service, mereka hanya menyarankan untuk mencoba lagi. Wewwww. Saya sempat
agak bete karena kebetulan hape saya yang ada LINEnya habis kuotanya, modem
juga (di rumah kami terbiasa ber wifi) sementara hari itu live shopping Big Bad
Wolf Books. Akhirnya keesokan paginya saya isi pulsa modem.
Dari sini,
sudah bisa disimpulkan bagaimana kesan saya selama disini. Dengan room rate sekitar 400ribuan semalam,
mungkin kita masih bisa menginap di tempat yang lebih bersih. Jangan berpatokan
pada bintang berapa karena mungkin sudah tidak sesuai lagi. Sebaiknya memang
membaca review dulu di internet. Namun,
mengingat ini adalah gratisan, saya sudah sangat bersyukur bisa weekend-an di luar kota.
Kolam renang
bagaimana kabarnya? Kata suami sih bersih walau ramai. Suami batal mencoba
fitness karena sudah gatel pengen renang. Kalau lokasinya termasuk strategis,
hanya belok sekali dari Jalan Slamet Riyadi, jalan utama kota Solo. Aksa pun
sempat naik becak dengan ayahnya sambil cari makan, and he looked happy. And that’s what matters to me J
0 komentar:
Post a Comment