www.speakupforsuccess.com |
Seberapa sering anda mengucapkan terima kasih pada
orang-orang terdekat anda?
Semoga bukan saat menerima hadiah saja ya, Moms :p
Jujur, saya dulu bukan orang yang mudah mengucapkan terima
kasih khususnya pada keluarga saya. Kalau teman memberi tumpangan atau dokter
selesai memeriksa, pasti saya ucapkan terima kasih. Tetapi, setelah Mama
membantu mencarikan pakaian saya, rasanya kok jarang sekali saya mengucapkan kata-kata
tersebut kepada beliau. It seemed awkward
to say thanks for something that you have it daily, to people that you see
everyday..
Sampai pada suatu hari, saya berkesempatan untuk tinggal beberapa bulan di benua Amerika. Saya sempat bingung ketika diminta membuat thank you card untuk juru masak tempat kami mengadakan training. Mengucapkan terima kasih saja, kok harus pakai kartu? Ternyata begitulah orang disana menghargai jerih payah orang lain, meskipun itu hanya karena sesuatu yang sederhana, seperti masakan si juru masak tadi.
Dalam keseharian pun, saya paling sering menemui kata ini.
Setelah transaksi di restoran atau minimarket, wajar ya kalau bilang terima
kasih. Disini pun sekarang juga begitu, walau terkadang minus senyuman J
Yang tidak biasa itu ketika turun dari bus, para penumpang say thanks ke supir bus. Atau ketika seseorang menahan pintu untuk
anda, dan anda mengucapkan terima kasih. Dan, pelukan hangat serta ucapan
terima kasih untuk ibu setelah memasak makan malam yang super lezat.
Membayangkan suami atau anak kita yang melakukannya, pasti
akan sangat menyenangkan bukan..?
Hal-hal diatas sudah cukup merubah cara pandang saya tentang
how to appreciate something. Maka
ketika kembali ke Indonesia, saya jadi sedikit culture shock: dikit-dikit bilang makasih, dan nggerundel kalau ada
yang tidak bilang terima kasih. Saya masih ingat ekspresi bingung dosen saya
ketika saya bilang, ”Mas, makasih ya kuliahnya tadi seru banget.” Sejenak
beliau bengong, dan akhirnya tersenyum..
Lalu bagaimana dengan orang-orang terdekat, seperti orangtua
dan suami serta anak?
Kepada suami dan anak sih, budaya berterima kasih sudah
lumayan diterapkan dengan baik. Misalnya, saat suami membersihkan kamar mandi
atau hal lain yang memang sudah menjadi tugasnya, saya tetap mengucapkan terima
kasih. Apalagi kalau suami melakukan hal yang membutuhkan effort lebih, terima kasihnya paket lengkap (hugs kisses smile :D).
Makanya, saya suka bilang “sama-sama, Ayah” kalau suami langsung melahap habis makanan
yang saya masak dengan penuh perjuangan, dan lupa mengucapkan terima kasih (lho
kok jadi pamrih ya?).
Karena saya memulai berkeluarga dalam keadaan sudah punya thank awareness, rasanya lebih mudah
untuk menerapkan sesuatu yang baru dari awal daripada merubah kebiasaan lama. Kepada
orangtua saya, hal tersebut terasa lebih susah karena sejak kecil saya tidak
dibiasakan untuk berlaku demikian. Orangtua saya pun jarang mengucapkan terima
kasih kepada saya. Yang saya ingat, kita diharuskan mengucapkan terima kasih
kalau diberi sesuatu. Bukan, bukan salah orangtua saya sebenarnya, karena
setiap keluarga dan masyarakat memiliki budaya yang berbeda. So, perbedaan itu
saya anggap wajar.
Meskipun demikian, saya sudah berhasil membuat beberapa
perubahan. Sekarang saya sudah bisa say
thank you ke Mama dan Papa, khususnya setelah mereka memberi bantuan
seperti mengantar ke RS, menjaga Aksa, memijit saya kalau kelelahan… walau
kadang ucapan itu bernada lirih dan tanpa memandang wajah mereka karena rasanya
masih malu dan canggung, haha..
Karena itu, walaupun Aksa masih belum bisa berbicara, saya
sudah membiasakan dia untuk mengucapkan terima kasih. Situasi yang paling mudah
untuk menerapkannya adalah ketika ia meminta sesuatu dan saya memberi apa yang
ia minta. Saya pun demikian. Setelah mengajaknya ke acara yang lokasinya jauh
dan ia tidak rewel, misalnya, saya bilang,
“Terima kasih ya anakku, sudah jadi anak yang sholeh..” Saya menggunakan
kalimat tersebut karena terdengar lebih positif dibandingkan “Terima kasih ya
Nak, karena tidak rewel sepanjang perjalanan..”
Saya pernah iseng-iseng menguji murid-murid saya, usia
mereka antara 9-10 tahun. Salah seorang dari mereka membawa oleh-oleh berupa
makanan dari luar kota. Ia pun mempersilakan teman-temannya untuk mengambil kue
tersebut. Saya katakan padanya, “Salsa, nanti coba hitung ya, ada berapa yang
mengucapkan terima kasih.” Satu per satu teman-temannya pun mengambil kue
hingga habis. Guess what, hanya satu
anak yang mengucapkan terima kasih!
Dari sini saya belajar bahwa mengajarkan sesuatu harus
dilakukan terus menerus, tidak boleh cepat puas, apalagi berhenti ketika
hasilnya tidak kunjung terlihat. Saya percaya, anak adalah peniru yang ulung.
So, cara yang paling efektif untuk mengajarkan terima kasih adalah dengan
menjadi role model mereka. Inilah salah satu alasan mengapa saya suka memberi
thank you card kepada setiap murid saya setelah final test, saat saya menjadi
guru les bahasa Inggris. Saya tambahkan pula motivasi serta hal-hal yang bisa
mereka tingkatkan. Everybody loves
personal touch.
Sementara bagi yang memiliki orangtua seperti Mama Papa
saya, cara yang paling tepat untuk membiasakan berthank you ria adalah dengan memulai terlebih dahulu. For this case, I don’t really expect them to
thank me, tetapi lebih kepada mendobrak rasa canggung untuk mengekspresikan
rasa terima kasih kita. Mengirim sms juga bisa menjadi alternatif lho,
khususnya jika kita benar-benar merasa kurang nyaman mengatakannya secara
langsung.
Seperti sms saya untuk Papa, kali pertama saya
mengucapkannya pada beliau 7 tahun lalu:
Pa, makasih ya udah
banyak berkorban buat aku selama ini. Maafin aku yang jarang sms Papa, kecuali
kalau ada butuhnya. Aku sayang Papa.
Walau Papa hanya menjawab, “Sama-sama, Papa juga sayang
Mbak”, I know that it means a lot for
him. And I’m glad that finally I let
him know.
see the published version on http://mommiesdaily.com/2014/11/13/rsay-thanks-please/
0 komentar:
Post a Comment