www.mindbodygreen.com |
Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah... Tapi sebagai
seorang remaja, hidup tidak semudah lirik lagu. Selalu saja ada yang kurang
dari diri kita dan membuat tidak percaya diri. Badan yang tidak seperti biola
lah, rambut yang tidak mirip iklan sampo lah, dan masih banyak lagi. Dari semua
itu, ada satu yang menjadi masalah bagi saya, yaitu wajah yang terlihat lebih
“dewasa” dibanding remaja seusia, alias...ehm
“boros”.
Saya sadar untuk pertama kalinya ketika saya berusia 14
tahun, kelas dua SMP. Saya pergi ke salon dengan mama. Saat sang kapster
memblow rambut saya, dia berkomentar.
“Mbak, kakaknya itu
cantik ya..”. Saya sempat bingung. Ternyata, kapster itu membicarakan mama
saya! Sambil berusaha tabah, saya bilang bahwa itu bukan kakak saya, tapi mama
saya. Eeh, bukannya percaya, kapster tersebut malah memanggil mama saya, “Mbak,
masa ini anaknya? Saya kira kakak adik..!” Sekarang mama saya yang sumringah
karena merasa awet muda, sementara dalam hati saya berurai air mata..
Beberapa tahun kemudian, kejadian serupa terulang lagi. Kali
ini kejadiannya di sebuah mall. Saya menemani kakak yang datang dari luar kota
dengan suami dan anaknya. Sebagai tuan rumah yang baik, saya membantu menjaga
anaknya yang berusia setahun ketika sang ayah dan ibu melihat-lihat pakaian.
Ketika sedang asyik menggendong keponakan saya, datanglah
seorang ibu yang dengan ramah menyapa si anak.
“Iiiih...lucunya! Anaknya umur berapa mbak?”, tanya si ibu
dengan penuh percaya diri, tanpa rasa bersalah sedikitpun. Walaupun sedikit
sedih, saya menjawab dengan tidak kalah ramah, “Oh, ibunya di sana... Saya
masih kuliah kok, Bu,”
Walaupun si ibu sudah minta maaf dan kalimat terakhir saya
seperti sebuah pembelaan bahwa aku-seorang-mahasiswa-bukan-ibu, tetap saja rasa
percaya diri saya terjun bebas. Rambut yang habis direbonding, pakaian andalan, dan pulasan make up pada saat itu pun
tidak dapat mengembalikan kepedean saya.
Lima tahun berlalu, saya sudah menjadi seorang guru
playgroup. Saya sudah bukan remaja lagi, sehingga wajah saya sudah sesuai lah
dengan usia saya, hahaha... Tapi kok, kejadian yang bikin gondok tersebut
masiiih saja terulang.
Pada saat saya mengunjungi pameran buku dengan bapak saya,
selalu saya memilih booth yang
menjual buku anak. Ini karena saya butuh referensi untuk mengajar. Saat saya
melihat-lihat buku cerita, si mbak SPG bertanya, “Putranya usia berapa bu?”
Huhhh, lagi-lagi..Jurus pembelaan diri saya pun keluar lagi,
“Oh, saya belum punya anak. Saya ngajar
di TK.”
Kejadian serupa terjadi di booth kedua. Dan jawaban yang sama pun saya lontarkan. Mungkin saja
karena saya hanya berdua dengan Bapak jadi dikira suami istri, pikiran positif
saya ketika itu. Tetapi ketika di booth
ketiga saya mendapat pertanyaan serupa, pikiran saya cuma satu: ternyata di usia saya yang hampir seperempat
abad, tampang saya masih juga boros..!
Akhirnya saya pun mengakhiri masa lajang saya. Sehari sebelumnya,
diadakan pengajian di rumah saya yang hanya dihadiri oleh saudara pihak wanita
saja. Sang ustadz pun memberikan wejangan-wejangan pranikah setelah membaca
doa. Dan di akhir kalimatnya, bapak ustadz bertanya, “Kalau calon (suami)nya
asli mana, Mbak?”, sambil menolehkan wajah ke arah...kakak saya!
“Bukan saya Pak, ini yang mau nikah! Saya mah anaknya sudah dua..”, ujar kakak
saya sembari menunjuk saya. Kakak saya pun tidak dapat menyembunyikan gurat
kebahagiaan di wajahnya, karena mendapat “diskon” umur sampai 8 tahun dari
ustadz. Sementara saya...yaaa, begitulah...
Saya benar-benar
sudah terbiasa dengan pengalaman-pengalaman serupa, dan sekarang sudah
mensyukuri apa adanya wajah ini. Termasuk ketika saya diharuskan operasi kuret
dadakan, sementara suami masih di luar kota, sehingga Bapak dan Mama yang
mendampingi. Pasca operasi, Bapak pun diperbolehkan masuk ke ruang operasi
untuk menemani saya yang mulai kehilangan efek anestesi. Mama yang tidak tegaan
memilih untuk menunggu di luar.
Setelah satu jam
lebih mengobrol, suster pun memperbolehkan saya pindah ke kamar. Bapak sudah
lebih dulu keluar, sementara saya masih harus menandatangani beberapa surat
keterangan. Sambil menunggu saya tanda tangan, suster pun bertanya, “Mau saya
panggilkan suaminya, Bu?”
Hahaha...Bapak
dikira suami saya! Saya kini bisa menanggapi hal ini sebagai sesuatu yang lucu,
dan masih berharap bahwa suatu hari nanti wajah boros saya tidak berujung pada
komentar seperti, “Oh itu suaminya? Saya kira adiknya...”
0 komentar:
Post a Comment