Kalau membaca tentang anak-anak
sekarang yang stres menghadapi ujian nasional, saya jadi ingat masa-masa ujian
jaman saya sekolah dulu. Rasanya, ujian tidak semenakutkan sekarang, walau
tetap dihadapi dengan belajar serius.
Namun, ada saat dimana saya “menempuh”
jalan pintas, yaitu dengan cara mencontek. Motifnya berbeda-beda sih untuk
setiap jenjang pendidikan, ada yang coba-coba, ikut-ikutan temen, takut
dibilang pelit, sampai memang karena kepepet beneran, hehe..
Kalau tidak salah, pertama kali
saya mencoba menyontek, atau tepatnya contek-contekan, ketika kelas tiga SD.
Padahal guru saya selalu memperingatkan di awal ulangan umum (dulu namanya
bukan ujian, tapi ulangan), “Yang bekerja sama nilainya dikurangi!”
Waktu itu, caranya memberi
contekan adalah melalui sepatu. Saya duduk di bangku paling belakang, dan
menyelipkan kertas contekan ke sepatu. Kemudian, saya ayunkan kaki ke bangku
seberang saya. Teman saya pun menunduk (pura-pura mengambil pensil yang jatuh)
sembari mengambil kertas di sepatu saya, haha... Entah kenapa, waktu itu kok
rasanya bangga sekali mencontek tidak ketahuan. Mungkin karena buat anak-anak,
itu menantang kali ya..
Alhamdulillah, setelah itu saya
enggak main contek-contekan lagi. Bahkan, tergolong pelit kasi contekan
(pertarungan ranking di kelas sengit, Bung!). Kalau ulangan, saya dan
teman-teman meletakkan map dan buku dalam posisi berdiri di kanan, kiri, depan
kami, seperti benteng, haha..
Karena itu, saya sempat takjub
ketika diterima di SMP favorit di kota saya, karena para senior ternyata punya
budaya saling memberi contekan..! Dari cara yang klasik seperti saling
meminjamkan alat tulis yang telah diberi jawaban, menulis contekan penting di
anggota tubuh, sampai bertanya langsung ketika guru pengawas sedang lengah.
Untuk kasus terakhir, salah
seorang senior saya pernah kena batunya. Dalam satu ruang kelas, setiap
bangkunya diisi oleh seorang senior dan seorang junior (misal: kelas 1 sebangku
dengan kelas 2). Saat itu, ruang kelas yang digunakan memiliki banyak jendela
berukuran besar dan terbuka. Saat pengawas meninggalkan kelas, mulailah salah
seorang senior beraksi.
Ia berusaha memanggil temannya
dengan berbisik. Sayang sekali, yang dipanggil tak kunjung menoleh walau ia
sudah mengeraskan suaranya. Hingga akhirnya...
“Mas, mas...itu dipanggil
temannya..!”
Ternyata sang pengawas telah
berdiri di luar jendela, berusaha “membantu” si senior memanggilkan temannya
untuk dimintai contekan, haha.. Kalau sudah ketahuan, yaa...apa boleh buat.
Paling-paling menunduk malu. Syukur-syukur tidak dikurangi nilainya.
Belajar dari pengalaman kakak
kelas yang ketahuan, teman saya Wira tidak mau mengandalkan orang lain untuk
membantunya. Maksudnya bukan tidak mau mencontek lho ya, tetapi melihat buku.
Bagaimana bisa? Peraturan ujian menyebutkan bahwa semua tas siswa harus
diletakkan di depan kelas. Tidak kurang akal, Wira menyobek satu halaman penuh
buku pelajaran elektro dan melipatnya jadi kecil, lalu diselipkan di bawah jam
tangan. Ckckck... Saya tidak tahu apakah usahanya sukses atau tidak. Semoga
saja halaman yang ia sobek muncul di ujian, kalau tidak berarti apes..
Ninta, teman SMP saya punya jurus
jitu ketika hampir ketahuan nyontek. Saat itu ia memberi kode menggunakan jari
tangannya, sementara bibirnya mengucapkan nomor yang ingin ditanyakan, tanpa
suara. Mendadak ia bertemu mata dengan pengawas. Maka, ia pun berpura-pura
merenggangkan jari jemarinya seolah habis melakukan manikur...!
Jari dan tangan masih menjadi
andalan teman-teman saya ketika SMA. Memang contek-menconteknya sudah tidak
seheboh waktu SMP, tetapi tetap saja ada teman saya yang kepepet. Irene salah
satunya. Karena tidak yakin bisa mengingat rumus fisika yang dipelajarinya
semalam, Irene menuliskannya di telapak tangannya.
Saat beraksi pun tiba. Irene
membuka telapak tangannya dan memandanginya dengan seksama. Ketika mendongak,
ia melihat guru fisika sedang mengamatinya. Karena panik, ia mendadak
berpura-pura mengelap keringat. Fiuh..untungnya Irene tidak ketahuan. Saat
kesempatan tiba lagi, ia membuka telapak tangannya dan....rumus-rumusnya telah
luntur oleh keringat! Hahaha..
Kalau jaman kuliah, nyontek sudah
tidak jaman lagi karena jawabannya esai. Lagipula, saya kuliah di FISIP, tidak
ada rumus matematika atau ekonomi. Meskipun demikian, saya pernah mendengar
trik dari seorang senior. Apabila ada mata kuliah umum, yang ruangannya besar,
dimana kesempatan kita untuk bertanya teman juga besar, maka sediakanlah
tabloid di meja pengawas. Kenapa tabloid? Karena ukurannya cukup besar.
Sehingga ketika pengawas tertarik dan membacanya, niscaya sebagian pandangannya
tertutupi tabloid. Dan, kita pun bisa berdiskusi sebentar dengan teman sebelum
mulai menjawab. Hmmm..
Saya tidak tahu bagaimana cara
anak sekarang mencontek, karena jaman saya dulu handphone belum banyak yang
punya. Tapi, seandainya saya menjadi pelajar saat ini, saya memilih untuk tidak
mencontek. Takutnya, ketika asyik mencontek, ada teman yang memotret dan
mengunggahnya ke media sosial. Bisa beken mendadak nih, haha..!
0 komentar:
Post a Comment