Alhamdulillah,
tahun ini masih diberi usia panjang hingga bisa bertemu dengan Ramadhan lagi.
Entah mengapa, satu-dua minggu sebelumnya, saya sudah tidak sabar merasakan 30
hari indahnya bulan suci. Kata-katanya klise banget ya, haha…
I mean it. Dulu,
nggak pernah saya ngerasain Ramadhan itu indah, yang ada nunggu lebarannya aja.
The celebration, new dress, food, and stuff. Lalu kemudian berhijrah, dan
merasakan privilege untuk genjot ibadah habis-habisan karena belum menikah dan
beranak pinak. Sempat mencoba i’tikaf di masjid juga dan setelah ada anak mari
kita ibadah di rumah saja..pahalanya alhamdulillah sama kok.
Saat-saat
awal punya anak, Ramadhan tidak terlalu terasa greget, karena nggak bisa
tarawih di masjid, nggak kuat puasa karena menyusui. Kalau tidak salah, saya
bayar fidyah sampai 3x Ramadhan deh. Lalu setelah tahu bahwa kita tetap harus
mengganti puasa selagi masih sehat dan mampu, bayar fidyah saya stop. Tahun-tahun
berikutnya saya back to work, puasa
ngajar TK di sekolah alam yang luasnya hektaran itu lumayan rasanya, dan
excitement saya berganti ke mudik. Rasanya nggak sabar nunggu akhir Ramadhan
karena pengen ketemu orang tua dan saudara. Tarawih pada masa ini dikuat-kuatin
banget karena capek pulang kerja. Kalau wiken bisa gantian tarawih di masjid
sama suami sih, tapi agak kurang sreg dengan cara solat yang ngebut, hehe..
Nah, dua
tahun terakhir di Jogja ini lah yang saya kembali merasakan nyawa dari Ramadhan
itu sendiri. Khususnya, setelah si bungsu lahir. Alasannya saya temukan saat
Ramadhan tahun lalu hampir berakhir: saya lebih jarang marah. Jujur saja, love and hate relationship saya dengan
si sulung dimulai menjelang adiknya lahir hingga setahun kemudian (atau mungkin
lebih). Kalau ingat masa itu, rasanya menyesal. Otak reptil saya aktif banget,
huhu… Makanya sewaktu Ramadhan, emosi bisa lebih terkendali.
Tahun ini,
misi utama yang sama kembali saya usung: menahan amarah. Meskipun I control my anger better than last year,
tapi tetap saja ada letupan-letupan emosi yang saya sendiri masih belum bisa
menyalurkannya dengan cara yang lebih nggak painful.
Second mission-nya adalah: menahan makan berlebihan. Lho,
kamu kan kurus? Masa mau diet? Diet makan makanan yang toxic buat tubuh, itu
maksud saya. Meskipun underweight, konsumsi makanan bergula tinggi saya
lumayan. Sudah baca buku clean eating
dan food combining, masih belum
maksimal saya mengubah pola makan. I
could’ve eaten better, for a better life. Dengan puasa, kerasa banget saya
nyemilin biskuit jadi jarang. Di depan laptop juga lebih minim distraksi, because I am a chewing-while-working type of
writer. Ketika buka puasa, sebanyak-banyaknya saya makan, tetap saja tidak
bisa sebanyak pada saat saya tidak puasa. Yang saya makan pun mostly makanan
berat, bukan cemilan unfaedah yang banyak menyisakan sampah sachet. So, I feel satisfied and happy with
this holy month.
Third
mission (yang mungkin banyak orang juga pengen lakuin): gadget detox. Sering
nggak sih, kita ngerasa seharian kok gak accomplish anything and the answer was
too much scrolling? Walau saya merasa my screen time is nothing compared to my
husband (ya iyalah dia orang media, kerjaannya di hape #alasandia), masih ada keinginan
untuk membuat 24 jam saya itu hitungan pahalanya berat. Kita nggak tau mati
kapan, jangan sampai alasan yang kita kemukakan kok nggak ngaji, cari ilmu,
menghafal Quran adalah karena: main hape. Aduduh…
Jadi,
Ramadhan ini saya membuat Ramadhan Tracker, terinspirasi oleh @byputy yang
ilustrasi trackernya kiyut abis (kiyut!!!), I
made my own with different target. Semoga saja tahun ini, setiap hari di
bulan Ramadhan terasa memuaskan dan berfaedah, dan kebiasaan baik yang susah
payah dibangun bulan ini bisa bertahan di bulan-bulan berikutnya, atau
selamanya. Aamiin…
0 komentar:
Post a Comment