Saya ingat
cerita Ibu, ketika tukang sayur langganan kami ijin untuk tidak berjualan hingga seminggu lamanya. Alasannya,
tetangganya ada yang menikah. Adat di desa, jika seseorang menikah maka satu
kampung akan membantu persiapan dan pelaksanaannya. Kegiatan membantu tetangga secara bersama-sama inilah yang disebut rewang.
“Yen kula
boten rewang-rewang, mangkeh digrenengi sak ndusun” (jika saya tidak membantu,
nanti bisa digunjing orang sekampung), begitu ujarnya. Saya heran, seminggu
banget gitu yang rewang-rewang. Maklum, saya dan mungkin kebanyakan dari kita lebih
familiar dengan acara pernikahan yang lebih simple dan menggunakan jasa vendor.
Keluarga hanya dilibatkan pada acara seremonial saja, atau konsep utama.
Dan….saya
sekarang mendapat rejeki merasakan rewang-rewang di hajatan tetangga, for the
first time. Apakah benar-benar seminggu? Iya!
Saya ingat
sekali, H-7 kami baru kembali dari rumah mertua sekitar jam 10 malam. Di depan
rumah sudah terdengar suara ramai-ramai. Ooh, mungkin pembentukan panitia. Saya
kebetulan baru pindah ke rumah ini setengah tahun yang lalu, sehingga belum
terlalu dekat dengan para tetangga. Malam berikutnya, terdengar ramai-ramai
lagi. Wah, tampaknya sudah mulai rewang-rewang. Hari berikutnya saya pun
bertemu dengan yang punya hajat dan memohon maaf kalau tidak bisa datang tiap
kumpul malam hari karena anak saya masih bayi.
Baru hari
keempat saya mulai datang dan melihat seperti apa sih rewang-rewang itu. Karena
sambil menggendong bayi, saya malah diperlakukan layaknya tamu. Disuguh teh,
diajak mengobrol, sementara ibu-ibu tetangga yang lain duduk di lantai sambil
mempersiapkan masakan. Duh.. Semoga tidak ada yang menganggap saya tetangga
baru yang tidak mau membaur..
Dari ngobrol-ngobrol
dengan tetangga depan rumah itulah saya tahu bahwa rangkaian acara memang
sekitar satu minggu. H-4 ada kenduri untuk bapak-bapak, kemudian H-3 tamu sudah
mulai datang sehingga para ibu sudah beraksi di dapur. Untuk tetangga yang
membantu, tuan rumah menyediakan “balas jasa” berupa jajanan pasar dan makan
berat, baik dinikmati di tempat ataupun dibawa pulang. Kegiatan membantu ini
bisa berlangsung hingga tengah malam and
started as early as 5 o’clock. Kok lama sekali? Karena porsi yang dimasak
banyak, peralatan masaknya pun masih banyak yang tradisional seperti kompor
kayu bakar, dan…diselingi gosip hehe…
Alhamdulillah,
saya akhirnya berkesempatan membantu membuat lemper serta memotong bawang dan
cabe. Bangga banget ya, haha..! Saya akui saya cukup bangga karena bisa membaur
dengan tetangga (apalagi di desa yang bahasanya full Javanese) walau hanya duduk dan mendengarkan obrolan mereka,
berkenalan dengan beberapa tetangga, mengetahui si A anaknya siapa, rumahnya
yang sebelah mana, dan sebagainya. FYI, ibu-ibu di desa ini kalau nyeletuk sungguh lucu-lucu dan sangat
ringan tangan. Saat saya menggendong bayi, mereka tidak segan bergantian
menggendong sehingga saya bisa berpartisipasi atau sekadar makan siang. Kadang saya
tidak enak sendiri, baru kerja 15 menit sudah disuruh makan. But it’s their
culture, I guess. Memuliakan tamu.
Oh ya,
untuk resepsinya, adatnya di sini ibu-ibu datang dua tiga hari lebih awal untuk
menyumbang. Jadi, pada hari H bapak-bapak datang sudah tidak perlu menyumbang
lagi. Tinggal member selamat mempelai dan makan. Ibu-ibunya? Ya masih di
belakang lah…kan tidak ada katering. Jadi, tim wonder women inilah yang menjadi tulang punggung hidangan pesta. Bapak-bapak
dan para pemuda biasanya terlibat pada saat pembuatan panggung.
Enak ya,
tidak usah membayar jasa untuk banyak hal, kan banyak dibantu tetangga. Ooh, jangan
salah. It is more costly to say thanks to
someone you know well. Dalam budaya Jawa yang saya tahu, tidak pantas jika
kita memberi sesuatu (karena sudah dibantu) ala kadarnya, apalagi kurang dari
seharusnya. Bentuknya memang bukan uang, tetapi berupa makanan dalam kotak
seperti ayam goreng, nasi kenduri, atau sembako yang kalau dinominalkan sudah
layak lah ya.
Balas jasa
ini bisa dianggap sebagai tanda terima kasih karena telah menyumbang. Untuk tetangga
yang sudah ikut rewang, bisa mendapat
lagi saat pembubaran panitia.
Jadi,
itulah on hands learning tentang adat
dan kebiasaan masyarakat tempat tinggal saya yang saya dapat seminggu ini. Walaupun
sama-sama orang Jawa, kebiasaan kami sudah berbeda. Cukup menarik untuk diketahui,
siapa tahu kelak rumah yang kita beli ternyata masih berada di lingkungan desa
walaupun bangunannya modern. Dimanapun kita tinggal, tetap prinsipnya di mana
bumi dipijak, di situ langit dijunjung.