www.healthyfruitz.com.au |
Kalau
ada yang bilang makan buah itu menyiksa, tanyalah Tevin.
Salah
satu murid kelas 4 SD yang saya ajar ini benar-benar antibuah. Ya sebetulnya
tidak sebegitunya, hanya saja setiap ada Hari Buah di sekolah, dia selalu alpa
membawa buah dengan berbagai alasan.
Dua
kali dalam seminggu, siswa di sekolah kami diwajibkan membawa buah sebagai
snack, sementara hari lainnya mereka bebas membawa makanan apa saja. Tujuannya,
tentu saja agar mereka memiliki pola makan yang seimbang, cukup serat, dan
lebih cinta buah.
Namanya
juga anak-anak, lupa adalah hal yang biasa. Alasannya mulai dari ketinggalan di
rumah (sambil menepok jidat), di rumah tidak ada buah, lupa beli, hingga mama
tidak menyiapkan. Nah lo, siapa yang sekolah?
Dari
semua yang lupa, Tevin termasuk yang menduduki urutan pertama rekor lupa di
kelas. Dan setiap murid yang lupa membawa buah, akan mendapat konsekuensinya.
Konsekuensinya
adalah menikmati snack time di kelas
lain. Biasanya, penentuan kelas mana yang menjadi tujuan merupakan hak veto
kami sebagai guru. Dan itu tergantung dari “level” ketidakdisiplinan si anak.
Kalau yang cuma sekali lupa, biasanya mereka makan di kelas adik-adik playgroup
atau TK. Kalau yang kelas “berat”, kami kirim ke kelas 5 atau 6, dan yang
gurunya galak, hehehe..
Seingat
saya, Tevin sudah merasakan makan snack hampir di semua kelas. Dan dia tetap
saja tidak membawa buah. Akhirnya, konsekuensinya pun saya ganti, yaitu
menyesuaikan situasi dan kondisi.
Saya
tahu, bahasa Inggris merupakan salah satu hal yang tidak ia sukai, karena itu
saya minta ia untuk menuliskan 20 kosakata buah-buahan dalam bahasa Inggris.
Maksud saya, agar ia mencari tahu kosakata tersebut dan mengingatnya. Tapi yang
terjadi berbeda.
“Bu,
bahasa Inggrisnya melon apa?” tanyanya sambil memegang secarik kertas dan
pensil. Lah, kok malah balik tanya ke saya. Sama saja saya yang mengerjakan
konsekuensinya dong..
“Coba
tanya Ersa, dia pasti tahu”, jawab saya, menyuruhnya bertanya pada anak yang
terkenal jago bahasa Inggris. Sesaat kemudian, Tevin kembali.
“Bu,
kalau salak apa? Ersa nggak tau,” tanyanya lagi, sedikit membuyarkan
konsentrasi saya menyiapkan materi pelajaran berikutnya. Akhirnya saya jawab
saja, “Salacca.”
“Tulisannya
gimana?” tanyanya lagi. Dan pertanyaan ini pun akhirnya berlanjut dengan sesi
dikte kosakata antara saya dan dia, hhh...
Jadi,
konsekuensi macam itu ternyata kurang berhasil, karena Tevin tidak menghapal
kosakata, juga tetap tidak membawa buah. Pernah saya minta Tevin untuk
mengajari adik-adik kelas TK beberapa kosakata dalam bahasa Inggris waktu snack
time. Yang kemudian terjadi adalah, mereka mengajari Tevin bahasa Inggris
buah-buahan karena Tevin lupa artinya.
Mungkin
karena sudah jengah “dihukum”, akhirnya pada suatu hari Tevin membawa variasi
buah. Yaitu jus melon. Kami memang
memperbolehkan mereka membawa jus buah sejauh jus tersebut dari buah segar,
bukan minuman kemasan. Dia pun meyakinkan saya bahwa itu melon asli, walau saya
tak dapat melihatnya karena tertutup termos. Saya pun senang.
Namun,
hal tersebut tak berlangsung lama. Kembali dia “lupa” membawa buah.
Saya
dan partner mengajar sudah mencium gelagat tidak membawa karena sengaja.
Karena, mamanya sendiri pernah bercerita kepada kami sebagai guru kelas Tevin,
bahwa satu-satunya buah yang disukainya adalah jus alpukat dengan topping susu
kental manis coklat. Hahaha...enak pastinya...
Karena
itu, partner saya berinisiatif mengganti konsekuensi dengan cara “berbagi
buah”. Mereka yang tidak membawa buah, harus rela “dibagi” buah oleh mereka
yang membawa. Supaya mereka tidak pilih-pilih, kami menentukan siapa bertukar
dengan siapa. Maka, Tevin pun kami pasangkan dengan temannya yang membawa buah
banyak dan kurang menggoda, seperti pepaya atau pisang. Dan ternyata benar,
konsekuensi kali ini ia jalani dengan sedikit tersiksa, tidak seperti ketika ia
makan di kelas lain atau menulis kosakata bahasa Inggris.
Keesokan
harinya, ia pun membawa buah mangga. Tapi dalam bentuk puding, hahaha... Yaa,
tidak apa-apalah, setidaknya ia terlihat usahanya. Sewaktu anak-anak menikmati
snacknya, saya lihat Tevin berusaha membagikan puding mangga dalam cup plastik
tersebut ke temannya. Hmmm, seperti kasus pencucian uang saja. Akhirnya saya
tegur dia.
“Bu,
mama bawain empat, saya kenyang!” begitu protesnya ketika saya larang. Namun
ukuran cup itu sungguh kecil, sehingga saya tahu itu hanyalah alasannya saja.
Akhirnya dia pun saya perbolehkan membagi satu saja, sementara sisanya dia yang
memakan. Jam istirahat makan siang, Tevin tiba-tiba datang ke meja saya.
“Bu,
ini buat ibu,” ujarnya seraya menyodorkan satu cup puding. Lho, ternyata belum
dihabiskan toh? Walaupun menggoda, saya menolak.
“Kan
itu punya Tevin, kalau belum bisa menghabiskan, nanti dimakan sepulang sekolah
saja sambil menunggu jemputan,” alasan saya. Misinya membagi habis “jatah
buah”nya hari itu pun gagal. Dan saya pun tidak jadi menjadi korban pencucian
uang, eh, buah. Hehehe...