Selama saya menjadi kepala asrama di sebuah asrama
bahasa Inggris di Jogja, tidak pernah saya dibuat takjub, heran, sekaligus
kagum oleh murid-murid saya kecuali oleh satu orang. Sebut saja namanya Trisna.
Kala itu ia masih berusia 16 tahun, rela menempuh beberapa hari perjalanan dari
kampungnya di NTT, untuk menempuh masa SMA di Jogja seorang diri sembari
belajar bahasa Inggris
Secara penampilan ia biasa saja, bahkan kulitnya
sedikit legam dan rambutnya kemerahan karena hobinya beraktivitas di luar
ruang. Gaya berjalannya gagah seperti pria. Namun tinggal dengannya setiap hari
selama dua tahun lebih membuat saya memahami bahwa pribadinya jauh melebihi apa
yang bisa kita lihat dari fisiknya.
Seperti penghuni asrama baru pada umumnya, kami pun
mengobrol untuk saling bertanya mengenai hal-hal mendasar seperti keluarga,
kampung halaman, dan sebagainya. Peraturan di asrama adalah, penghuni harus
menggunakan bahasa Inggris dalam kondisi apapun, 24 jam penuh. Pada saat itu,
Trisna hanya bisa 2 kata: yes dan no. Maka ia kerap bercerita dalam bahasa
Indonesia, sembari berusaha keras menghapal kosakata-kosakata baru dalam bahasa
Inggris.
“Saya itu Miss, (penghuni asrama memanggil semua
pengajar dan sesama penghuni menggunakan Miss dan Mister) pertama kali pergi ke
mal, heran saya Miss. Tangga itu Miss, bisa jalan sendiri,” ceritanya dengan
logat khas Indonesia Timur. Ternyata, ia sedang menceritakan tentang eskalator!
Hahaha...
Ini bukan satu-satunya kisah keluguannya yang
membuat penghuni asrama terpingkal-pingkal.
Pada suatu hari, Trisna diajak oleh Miss Ndari,
yang juga penghuni asrama, pergi naik motor. Ketika melewati Alun Alun Selatan,
terlihat kerumunan orang. Ternyata sedang ada syuting. Trisna benar-benar
tertarik rupanya, hingga ia terus-terusan mengamati kerumunan itu dari atas motor,
dan menemukan bahwa sang artis adalah...
“Anjasmaraaa!!! Haaaiii...!!” Ia pun berteriak dan
melambai-lambai kegirangan dari atas motor! Miss Ndari yang mengemudikan motor
kontan kaget sekaligus malu dan terpaksa memenuhi bujukan Trisna untuk berhenti
dan mendatangi lokasi syuting. Ia ceritakan kejadian itu dengan penuh semangat
pada penghuni asrama malam harinya.
“I am
heran Miss, itu aku lihat itu banyak manusia masyarakat Miss. (maksudnya banyak
orang) Akhirnya aku turun Miss, dan aku ajak salaman dia. He is very handsome Miss...” ujarnya sambil menunjukkan tangan yang
disalami sang artis –yang tentu saja tidak berbekas. Kami pun hanya bisa
tertawa mendengar kisah yang dia ceritakan dalam bahasa campuran, serta pilihan
kata bahasa Indonesia yang sedikit kurang lazim..
Di lain waktu, kami dibuat takjub dengan pilihan
bajunya. Dulu ketika pertama datang ke Jogja, koleksi pakaiannya hanya kemeja
berkancing depan dan celana jins, serta beberapa kaos oblong. Melihat penghuni
asrama lain yang sudah kuliah, ia pun tertarik mencoba wedges milik teman kamar sebelah, dan berjalan bolak balik bak
peragawati. Beberapa hari berikutnya, kami melihatnya turun dari motor dan
berjalan dengan penuh rasa percaya diri memakai wedges, dipadukan dengan celana pendek bermotif army dan kaos olahraga sekolahnya. Ck ck
ck....
Seiring dengan berjalannya waktu, Trisna pun kini
mulai mampu bercakap-cakap dalam bahasa Inggris walau tata bahasanya masih
kacau. Itu pun setelah ia menghafalkan 20 vocabulary baru setiap malam, dengan
kursus di pagi, sore, dan petang hari, sekaligus sejumlah tempelan yang
memenuhi dinding kamarnya. Jangan heran ketika ada yang bertanya, “Miss Trisna, have you taken a bath?” Dan
ia menjawab dengan mantap, “Have, Miss!”
Maksudnya, “I have taken a bath” tapi
dikorting hingga “have”nya saja yang
muncul karena yang ia ingat, “have”
artinya “sudah”. Trisnaa..Trisnaaa..
Yang mengherankan, di SMA nya, ia terkenal jago
berbahasa Inggris. Mungkin karena teman-temannya tahu ia tinggal di asrama
bahasa Inggris. Maka ia pun ditunjuk mewakili sekolahnya untuk mengikuti lomba
debat! Kami yang mengetahui kemampuan bahasa Inggrisnya pun berusaha melatihnya
di asrama sebagai persiapan, sekaligus memberikan support penuh. Hari yang ditunggu pun tiba. Kami di asrama hanya
bisa berdoa semoga Trisna tidak mati gaya disana.
Sepulang lomba, ketika kami bertanya tentang hasil
lomba, ia hanya tertawa terpingkal-pingkal. “Do you know, Miss? I don’t understand. Kami bingung mereka (tim
lawan) ngomong apa, jadi saya gak bisa balas Miss..Mereka senyum-senyum waktu
kami bicara,” ujarnya polos. Ia pun tidak kecewa, karena menganggapnya sebagai
pengalaman berharga. Meskipun demikian, kami tidak habis pikir ketika suatu
malam Trisna kedatangan tamu yang ternyata seniornya di sekolah yang sedang
mempersiapkan UN (Ujian Nasional). Dari
kejauhan, saya hanya melihat mereka seperti sibuk belajar. Penasaran, saya
tanyakan pada Trisna apa yang mereka kerjakan.
“ I teach
them, Miss. They will exam English tomorrow, “ jawabnya bangga.
Oh...ternyata Trisna membuktikan bahwa pengorbanannya
hidup merantau demi menuntut ilmu sudah membuahkan hasil, yaitu bisa berbicara
(dan mengajar) bahasa Inggris.
Kini, Trisna sudah menjadi seorang mahasiswa
jurusan bahasa Inggris. Bahkan, ia dipercaya menjadi semacam kepala asrama bagi
teman-teman seasramanya di kampus. Mungkin mereka kepincut dengan orisinalitas
dan kelucuan Trisna. Saya berpikir, pasti bahasa Inggrisnya sudah cas cis cus
sekarang. Karena itu ketika ia sms saya untuk janjian menjenguk saya setelah
melahirkan, saya balas dengan bahasa Inggris. Kurang lebih percakapannya
seperti ini:
“ I am sure you haven’t taken a bath as usual,”
goda saya.
Dan ia membalas: “Have kok, Miss...!”
Addduuuuhh.....
0 komentar:
Post a Comment