Saya sempat sedikit sedih ketika membaca berita koran
kemarin. Pemerintah bakal melarang impor pakaian bekas. Alasannya,
pakaian-pakaian tersebut berpotensi menyebabkan penyakit kulit hingga kutu
kelamin. Sebagai seseorang yang beberapa kali menjadi pembeli pakaian bekas,
alhamdulillah saya belum pernah terkena gatal-gatal atau bahkan panu gara-gara
memakai pakaian bekas. Tentu saja, pakaian tersebut harus dicuci dulu, kalau
perlu direndam air panas untuk mematikan kuman.
Karena itu, saya agak menyayangkan kebijakan pemerintah
tersebut. Menjamurnya pedagang pakaian bekas impor menandakan banyaknya
permintaan bukan? Menurut beberapa konsumen yang diwawancarai
merdeka.com,
harga yang jauh lebih murah menjadi alasan mereka membeli pakaian bekas, sehingga sisa uangnya masih bisa digunakan untuk keperluan lain. Hmmm..masuk akal sih, tetapi mungkin pengalaman saya agak
sedikit berbeda.
Dulu ketika masih mahasiswa, saya dan beberapa teman suka
berburu pakaian awul-awul. Istilah tersebut digunakan khususnya untuk pakaian
bekas yang ditaruh di boks, sehingga kita harus mengaduk-aduknya untuk mencari
pakaian yang cocok, karena itu dinamakan awul-awul (dari kata awut-awutan alias
berantakan kali, ya?). Walaupun sama-sama pakaian bekas, awul-awul tidak sama
dengan toko bertuliskan “pakaian impor”.
Pertama, awul-awul biasanya dijual musiman sementara toko
pakaian impor buka terus. Di Jogja, awul-awul bisa ditemui di alun-alun utara
saat perayaan Sekaten. Kedua, pakaian yang dijual di awul-awul belum tentu dari
luar negeri. Ketiga, (ini yang paling penting) saya lebih banyak menemukan
pakaian “keren” di awul-awul, sementara toko pakaian impor lebih banyak menjual
jaket, celana jins, serta pakaian yang berukuran besar dan warnanya sudah
kusam.
Percaya atau tidak, pakaian yang saya beli tahun 2007 di
awul-awul masih saya pakai hingga sekarang lho! (dan tidak pakai gatal-gatal)
Saat itu harganya Rp 15.000, lebih mahal dari standar awul-awul yang Rp 5000an,
karena modelnya bagus. Saya mendapatkannya di Jalan Wirobrajan, tetapi sekarang
toko tersebut sudah tidak ada.
Sekarang, saya tinggal di pinggiran Bogor dimana ada lebih
dari satu kios pakaian bekas impor di komplek perumahan saya. Ada satu yang
pernah saya datangi karena dari luar baju-bajunya terlihat lebih “cewek” dan
berada di salah satu ruko sehingga cukup bersih. Baju batik kuning berkancing
batok kelapa di gambar di atas, adalah salah satu hasil buruan saya disini,
hanya seharga Rp 15.000. Saya tidak tahu apakah ini karena daya beli saya
menurun, atau baju dan rok batik lucu di luar sana yang harganya ratusan ribu
rupiah.
Setiap kali berhasil mendapatkan baju bagus dan murah, saya
kok merasa berhasil sekali ya, haha.. Beda dengan ketika berhasil membeli
pakaian bagus tapi harganya lumayan, saya jadi takut.. Takut kalau bajunya
luntur lah, kecoret pulpen, atau kecantol paku. Kalau yang bekas kan, tidak
semenyesal itu kalau nanti terkena noda :p
Selain itu, ada beberapa alasan tambahan mengapa baju bekas
pantas dilirik. Lihat post saya berikutnya, ya!