Ramadhan kemarin, saya benar-benar merasakan perjuangan untuk beribadah. Hingga H-7, saya harus puas bisa tarawih sekali saja di masjid, sisanya di rumah. Tidak jauh berbeda dengan mengaji, saya tidak rutin melakukannya tiap hari. Jadi, sekalinya ada tenaga tersisa, saya rapel sekalian beberapa halaman. Yang paling “instan” sekalipun, yaitu mendengarkan tausyiah di televisi, hampir tidak pernah. Semua alasannya sama: karena anak.
Juni kemarin, anak saya Aksa genap berusia dua tahun.
Sebulan sebelumnya, saya kembali mengajar setelah hampir dua tahun
mendampinginya full time. Bisa
ditebak, ketika sekolah libur ramadhan, Aksa seperti ingin memanfaatkan waktu
sebaik-baiknya dengan saya. Saya pun demikian, ingin meluangkan waktu
berkualitas bersamanya sebagai “tebusan” telah meninggalkannya bekerja.
Sehingga, ramadhan kemarin temanya adalah bermain bersama anak, haha..
Tahun lalu jelas lah, saya ramadhan bersama anak dan suami
juga. Hanya saja, saat itu Aksa masih belum menuntut banyak hal seperti
sekarang. Usianya masih setahun, makan gampang, main kita yang tentukan, jalan
juga baru bisa. Ngaji, tarawih, bahkan menyiapkan hidangan buka puasa masih
sempat saya lakoni. Sekarang, dari Aksa melek mata seolah tidak ada jeda
kecuali tidur. Sebenarnya bisa sih saya
memanfaatkan waktu tidurnya untuk mengaji, misalnya. Sayangnya, saya tidak
kuat. Selain masih menyusui, puasa juga membuat saya mengantuk hingga akhirnya
saya pun ikutan tidur hehe..
Saya sempat curhat ke
suami tentang kualitas ramadhan saya tahun ini. Saya bilang, sepuluh hari kedua
sudah hampir usai, kenapa saya cuma dapat lapar dan haus. Ternyata Alloh
menunjukkan bahwa pendapat saya salah. Beberapa hari kemudian saya menyadari
bahwa ada yang berbeda dengan ramadhan ini, yaitu kesabaran saya menghadapi
anak saya.
Jujur saja, saya mudah “meledak” jika Aksa sedang ekstra
aktif dan saya ekstra lelah. Karena setelah marah saya selalu merasa bersalah
(walau kemudian can’t control to do that
again), saya terbiasa menghitung frekuensi amarah tersebut. Minimal seminggu
sekali ada adegan ngomel atau peringatan nada tinggi. Sementara ramadhan ini
saya mendadak menjadi ibu peri, serius! Apa entah karena kesadaran bahwa amarah
mengurangi pahala puasa atau karena semangat quality time dengan anak mumpung tidak kerja, atau mungkin tidak
ada energi untuk marah karena lemas puasa, saya tidak tahu.
Saya sangat bersyukur akhirnya bisa sabar menghadapi anak
ketika rewel karena menahan lapar jauh lebih mudah daripada menahan marah. Setuju
ibu-ibu? :D Satu hal lagi yang patut disyukuri adalah ketika saya kembali ke
kampung halaman seminggu sebelum Lebaran, saya akhirnya berkesempatan
menunaikan tarawih dan subuh di masjid lebih sering, begitu juga dengan mengaji.
Kalau ini thanks to mama saya yang
mau menemani Aksa main selama saya pergi .
So, for me it’s a
happy ending ramadhan. Bukankah sesuatu itu dilihat dari akhirnya?
Masih ingin berbagi cerita ramadhan? Bisa kok..ikutan IHB Blog Post Challenge Ramadhan dari Indonesian Hijab Blogger aja. Masih ada 4 hari lagi :)
Alhamulillah ya Mba Menur bisa banyakin ibadah di hari2 terakhir :)
ReplyDeleteIya alhamdulillah banget Mbak Nia ..
Delete