Sampai saat ini, saya masih
percaya bahwa membaca buku itu wajib dilakukan setidaknya satu buku per bulan,
kalau kita sibuk. Alasannya, saya merasa selalu mendapat hal yang baru dan
mencerahkan, that it makes me reflect and contemplate of how I live my life.
Bulan ini, untuk pertama
kalinya saya bisa menyelesaikan 3 buku dalam waktu kurang dari sebulan (yeayyy!).
Sebenarnya tidak disengaja sih. Iseng-iseng saya meminjam buku Sepatu Dahlan di
perpustakaan guru, karena sedang ingin rehat dari maraton buku parenting.
Ternyata, buku ini adalah trilogi and I just couldn't stop to read it.
Sepatu Dahlan bukan buku
baru karena beberapa tahun lalu saya pernah melihat acara Kick Andy mengundang
Dahlan Iskan saat buku tersebut dilaunching. Tampaknya, itu pertama kalinya
saya melihat mantan Dirut PLN dan Menteri BUMN itu muncul di televisi.
Pembawaannya cukup informal, semacam Ganjar Pranowo dan Joko Widodo sebelum
menjadi presiden. Bisa mengundang tawa lah.
Beberapa waktu berikutnya,
saya cukup familiar dengan Dahlan karena ia sempat menjadi media darling dengan
ciri khas sepatu kedsnya, ngojeknya, dan aksinya yang berbeda dengan pejabat
kebanyakan. Yang saya tidak tahu, adalah kisah hidupnya sebelum ia sukses.
Di
buku Sepatu Dahlan, yang ditulis seperti fiksi oleh Khrisna Pabichara, saya
cukup miris mengetahui bahwa masa kecil Dahlan Iskan dilalui dengan penuh kerja
ekstra keras seperti merawat domba puluhan ekor dan menyabit daun tebu, penuh
rasa lapar karena keluarganya miskin, penuh perjuangan karena kemanapun ia
tidak beralas kaki hingga akhir masa SMPnya. Kadang, saking laparnya, ia dan
adiknya melilitkan sarung di perut. Pernah juga ia mencuri tebu hanya karena
orangtuanya harus berobat di luar kota sementara tidak ada sedikitpun makanan
di rumah selama berhari-hari hingga adiknya menangis kelaparan.
Membaca
usahanya untuk bertahan hidup dan obsesinya memiliki sepatu membuat saya merasa
tidak pantas untuk mengeluh. Wajar lah, pulang kerja suka capek, belum lagi
anak yang lagi rewel sehingga saya suka uring-uringan plus ngeluh ini itu ke
suami...lalu saya membaca bagaimana "kerja" bagi mereka yang hidupnya
di bawah garis kemiskinan dan merasa betapa saya tidak bersyukur jika hidup
yang penuh kemudahan ini masih saya keluhi.
Tidak hanya masalah
kemiskinan, di buku ini saya juga melihat betapa orangtua itu benar-benar
dihormati. Dahlan dan saudara-saudaranya tidak tega untuk menuntut orangtua
mereka memenuhi keinginan mereka meskipun usia mereka masih anak-anak. Instead,
they worked hard to help their parents fulfill the family daily needs. Memang
sih, Bapak disini menjadi sosok yang tidak bisa dibantah dan Ibu adalah
seseorang yang lembut dan patuh terhadap Bapak. Saya bersyukur jaman sekarang
hubungan dengan orangtua lebih demokratis, walau efek sampingnya adalah anak
jadi kurang hormat pada orangtua.
Saya jadi teringat broadcast message di grup
Whatsapp yang dikutip dari blog Adhitya Mulya. Inti dari pesan tersebut adalah,
orangtua sekarang cenderung menghilangkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi
anak mereka padahal kesulitanlah yang membuat seseorang lebih tahan banting. No
wonder, Dahlan bisa menjadi seperti sekarang ini karena ia dididik oleh masa
kecil yang keras.
Sebagai pemanis, tentu saja ada kisah cinta antara Dahlan remaja dengan gadis
sekolah tetangga. Jujur saja, kisah cinta keduanya yang membuat saya tidak
sabar membaca Surat Dahlan, buku kedua dari trilogi ini. Overall, buku ini
tidak semata menceritakan tentang obsesi Dahlan kecil untuk membeli sepatu
dengan segala usahanya, tetapi membuat kita berkaca tentang seberapa keras kita
telah berusaha untuk mengejar keinginan kita dan bersyukur atas apa yang telah
kita miliki: keluarga, teman-teman setia, kesehatan..tidak hanya harta.
Saya belom pernah euy baca buku beliau. Semacam skeptis sejak beliau jadi media darling, padahal dulu paling suka tulisan beliau sewaktu masih aktif di JawaPos :D
ReplyDeleteSaya coba baca ah nanti. Pinjem di perpus. :D
@danirachmat
saya malah belum pernah baca tulisan beliau sama sekali mas, walau di buku ketiga (Senyum Dahlan) ada beberapa cuplikannya..coba deh pinjem, ga berasa baca biografi soalnya modelnya novel fiksi banget :)
DeleteHidup tahan banting karena terpaksa. Soalnya, di zaman sekarang jarang ada orang tua yang biarin anaknya kerja keras dari kecil :)
ReplyDelete