www.manjur.net |
Sesuatu yang berlebihan tidaklah baik.
Setidaknya itu yang saya simpulkan dari
masa remaja saya dan suami.
Saat SD, saya termasuk anak yang
berprestasi di bidang akademik. Sering juara satu di kelas. Hal ini tidak
terlepas dari tangan dingin mama saya, yang membuatkan jadwal kegiatan saya
sehari penuh, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Sudah ranking pun masih
disuruh ikut les mata pelajaran, termasuk bahasa inggris, piano, mengaji, belum
termasuk ekskul di sekolah seperti menari dan paduan suara. Thank God I enjoyed my busy life, dan
masih sempat bermain barbie J
Masuk SMP,
orangtua saya masih menekankan pentingnya prestasi akademik. Les bahasa
Inggris dan bimbel masih menjadi menu utama, hanya saja di sekolah saya ikut
ekskul paskib. Pulang pergi sekolah dan les diantar jemput, sehingga hidup saya
hanya sekolah, les, pulang, belajar. Saya sudah keluar dari jajaran sepuluh
besar di kelas, tetapi prestasi belajar masih bisa dianggap bagus.
Menjelang lulus SMP, saya pun bertekad kuat
untuk mengikuti sebanyak mungkin ekskul dan organisasi di SMA kelak. Pokoknya,
pengen eksis!
Dan, saya membuktikan janji saya tersebut.
Saya mengikuti setiap ekskul yang saya minati, gabung di OSIS, berbagai
kepanitiaan, termasuk ikut macam-macam kompetisi. Rapot saya? Jarang tembus 15
besar, bahkan sempat bercokol di urutan ke 34, haha.. Tetapi saya tidak
menyesal, karena sebagai remaja pada saat itu saya merasakan kebutuhan sosial
saya terpenuhi.
Berbeda dengan suami saya. Ia masuk SD
favorit, dengan jam belajar hingga sore hari, pengelompokan kelas unggulan dan
non unggulan, ternyata membuatnya berpikir “that’s
enough, I’m tired”. Akhirnya, ketika SMP ia menjadi kurang semangat belajar
dan memutuskan untuk menikmati masa remajanya dengan banyak bergaul,
berolahraga, dan ehm…berpacaran. Efeknya, ia merasa bersalah pada sang ayah dan
bertekad: pokoknya, SMA saya mau giat belajar! Successfully, he became a study oriented highschooler :p
Dari pengalaman kami yang bertolak
belakang, ada satu hal yang menjadi persamaan. Apa itu?
Bisa diibaratkan, kalau kita
yang bekerja mengalami work-life
imbalance, maka saya dan suami ketika remaja mengalami study-life imbalance. Kami merasa terlalu banyak belajar, hingga
akhirnya yang muncul adalah ketidakpuasan. Ujungnya, kami mencari aktivitas
lain yang bisa membuat kami gembira. Naluriah sekali, ya. Syukurlah kegiatan
tersebut bukan hal yang negatif dan masih di dalam batas kewajaran.
So, was that our parents’ mistake to send us to the best school, a lot of courses, thus
made us study a lot also?
Saya rasa tidak, karena
niat semua orang tua adalah baik. They want
us to succeed. Hanya saja, ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari
kasus ini, ketika anak kita kelak mulai sekolah.
Pertama, pilihlah sekolah
yang ramah anak. Kita bisa melihat dari jam belajarnya, aktivitas belajarnya ,
staf pengajar, hingga kegiatan ekstra yang bisa dipilih oleh siswa. Jam belajar
yang terlalu panjang bisa membuat anak lelah, meskipun dari kacamata orang tua
kurikulumnya bagus. Apabila memungkinkan, ajak anak memilih sekolahnya. Sekarang
banyak sekolah swasta yang menawarkan trial
class, sehingga anak bisa merasakan bagaimana kelak proses pembelajaran
yang akan ia jalani.
Kedua, jalin komunikasi
yang intens dengan anak. Pastikan dari hal tersebut kita bisa mengetahui apakah
anak senang atau tidak dengan kegiatannya di sekolah, kursus, maupun
pergaulannya, begitu juga dengan siapa teman-temannya dan apa saja yang sering
mereka lakukan bersama. Bingung bagaimana cara berkomunikasi dengan anak kita? Artikel
“Berbicara Agar Remaja Mau Mendengar dan..” bisa menjadi inspirasi.
Ketiga, walaupun kita
produk pendidikan jadul, bear in mind
that smart doesn’t mean getting good exam score. Masih banyak orangtua
(termasuk saya sendiri) yang kadang terjebak berpikir bahwa nilai pelajaran
yang kurang bagus merupakan tanda bahwa si anak kurang cerdas, padahal kita
tahu bahwa pandai bergaul merupakan kecerdasan interpersonal dan cepat
mempelajari alat musik merupakan kecerdasan musikal. Dengan berpikir bahwa everybody is smart, kita tidak akan
memforsir anak kita untuk mahir di satu bidang yang ia tidak suka, atau bukan
keahliannya.
So, pandai secara akademis
bukan segalanya, yang penting adalah tanggung jawab dengan pilihan yang telah
dibuat, dan menjalaninya dengan senang. Setidaknya, dari study-life imbalance saat remaja dulu, saya jadi bisa menemukan apa
yang sebenarnya saya suka, dan sejauh mana “dosis” yang tepat untuk
melakukannya. Suami pun jadi bisa berempati terhadap orangtuanya yang telah
susah payah menyekolahkannya, dan akhirnya “bertanggung jawab” dengan cara
kembali belajar dengan benar.
Lessons learned!