www.visualphotos.com |
Saat remaja, saya sempat iri dengan mereka yang bisa curhat
masalah cinta ke mamanya. Bukannya mama saya tidak bisa dicurhatin, bisa banget
malah kalau saya mau. Apalagi mama tahu semua teman saya, aktivitas saya,
karena saya selalu ngobrol dengan beliau tentang apa yang saya alami hari itu.
Kecuali masalah cinta, ya.
Awalnya adalah ketika masa puber tiba. Saat itu usia SD,
dimana dada mulai tumbuh, perasaan ke lawan jenis mulai beda, yang tadinya main
Barbie jadi mantengin boybands di
MTV, and so on. Beberapa teman saya pun mulai ada yang pacaran. Mungkin mama
saya kuatir kalau saya berpacaran terlalu dini sehingga beliau mulai menasehati
saya bahwa pacaran itu tidak boleh, terlarang, dan segala macam embel-embel
negatif lainnya.
Saya ingat sekali, cara beliau menyampaikan wejangan
tersebut benar-benar tegas, dengan mimik muka disgusted (beneran..!) sehingga saya pun tercuci otak dengan
suksesnya. Sukses banget karena saya kemudian menjomblo hingga usia 20 tahun,
hahaha.. Oh ya, mama tidak menjelaskan mengapa tidak boleh pacaran terlalu
dini, saya pun tidak bertanya mengapa. Bisa jadi, pola asuh orangtua pada saat
itu lebih bersifat satu arah sehingga mama pun tidak membuka ruang diskusi.
Meskipun demikian, mama dan papa memperbolehkan saya berlangganan majalah
remaja so I know more about teenage life
that they weren’t comfortable to talk about.
Lantas, apa efeknya? Saya
jadi sangat tertutup tentang masalah cinta dan pubertas ke beliau karena saya
tahu beliau tidak menyukainya. Untuk curhat, saya curhat ke teman. Bahkan, saat
surat menyurat dengan artis sedang booming,
saya pernah curhat via surat ke Lusi AB Three, haha.. Begitu teman membocorkan curhatan saya ke
teman lainnya, saya jadi trauma dan memilih buku harian. Eeh, buku harian
enggak sengaja dibaca teman, bocor juga rahasia saya.. Akhirnya saya trauma
memiliki buku harian. Yaa, kalau curhat ke teman tetep lah ya, hanya akhirnya
saya belajar untuk lebih selektif.
Ternyata efeknya tidak hanya di saya. Mama pun juga merasa
“iri” ketika beliau tahu siapa kecengan saya dari wali murid lain yang suka
ngobrol sewaktu menjemput anak. Kok bukan ke beliau ceritanya ya? Sebenarnya
ada satu lagi yang membuat saya jadi malu bercerita ke mama: karena mama suka
menjadikan hal-hal tersebut sebagai lelucon. Misalnya, saat dada saya tumbuh,
aroma badan mulai berubah, termasuk punya kecengan itu tadi. Saya kan jadi malu
kalau keluarga besar saya jadi ikutan tertawa atas sesuatu yg privat menurut
saya.
Hingga saya SMA, mama benar-benar clueless about my love life. Sampai-sampai beliau menanyai sahabat
saya, apakah saya sudah punya pacar. Lah, saya jadi bingung ya, kan dulu enggak
boleh pacaran. Begitu anaknya enggak pacaran beneran, malah enggak percaya,
haha..
Akhirnya, saya punya pacar pada saat kuliah, dan….saya
enggak bilang mama! Jujur, saya enggak bermaksud backstreet. Namun, saya benar-benar merasa canggung, malu, rikuh
untuk mengatakan ke mama bahwa saya punya pacar. Orang pertama yang tahu pun
menjadi adik saya, bukan mama atau papa. Akibatnya, pacar saya dijutekin mama
tiap kali ngapel, hhhh….
Dari pengalaman ini, saya memutuskan untuk menggunakan cara
yang berbeda ketika kelak Aksa remaja. Bagaimana caranya?
Beri dukungan moral
ketika anak memulai masa pubernya
Di saat anak mengalami perubahan besar pertamanya, jangan
sampai kita menunjukkan ekspresi yang akan membuatnya malu. Bersikaplah biasa
ketika mengetahuinya, ataupun menanyainya. Ketika ada saudara, tetangga, atau
orang dewasa yang dekat dengannya bertanya mengenai masa pubernya, jawablah sesuai
apa yang ditanyakan, tanpa menjadikan anak merasa tidak nyaman, apalagi
mengejeknya. So, kita sebagai orangtua harus sensitif melihat bahasa tubuhnya,
khususnya apabila anak memiliki tipe introvert.
Berilah informasi
yang diperlukan anak seputar perubahan tersebut
Sekarang sudah banyak referensi tentang apa yang harus
disampaikan ke anak pada masa pubertas, berikut tips cara bagaimana
menyampaikannya pada anak. Meskipun sudah banyak media yang bisa diakses anak
untuk mengetahui informasi tersebut, tetap orangtua harus berbicara langsung
pada anak karena anak pasti akan mengingatnya. Ini juga untuk menghindarkan
anak dari bertanya dan mencari tahu pada sumber yang salah.
Biasakan selalu
menjalin komunikasi dengan anak sejak dini
Agar anak bersikap terbuka pada kita, usahakan selalu
mengajaknya bercerita tentang apa yang dialaminya hari itu. Saya yakin,
komunikasi yang lancar sejak anak belum memasuki usia remaja akan mempermudah
kita tetap dekat dengan anak ketika masa remajanya tiba. Ini bukanlah suatu
jaminan karena lingkungan dan karakter anak akan berpengaruh juga. Setidaknya,
kita mencoba kan?
Semoga saja semua tips saya diatas bisa terlaksana dengan
baik ketika Aksa mulai beranjak remaja *degdegan*. Apalagi suami dulu mengaku
tidak diberi wejangan apapun ketika orangtuanya tahu ia mengalami mimpi basah.
Saya ingin agar kami berdua kelak bisa membicarakan hal-hal yang dulu dianggap
tabu oleh orangtua kami -seperti seks dan pubertas- secara nyaman dan terbuka kepada
anak-anak kami.
Saking paranoidnya, saya sering menggendong Aksa sambil
berbicara, “Besok kalo udah gede jadi anak yang sholeh ya Nak, ayah ibu
disayang ya, kalo ada apa-apa ceritain ke ayah ibu ya Nak, jangan ke orang
lain…” Suami saya pun cuma bisa geleng-geleng kepala, wong Aksa baru juga 16 bulan..
Oya, saya menemukan beberapa slideshow bagus tentang
mendampingi anak di masa pubertas di www.24hourparenting.com.
Atau, Mommies ada yang mau share tips lain?
See the published version on http://mommiesdaily.com/2014/11/05/curhat-bukan-ke-mama/
See the published version on http://mommiesdaily.com/2014/11/05/curhat-bukan-ke-mama/
0 komentar:
Post a Comment