I'm a bookworm.
Saya tidak ingat sejak kapan persisnya saya mulai sangat menyukai buku, ataupun
buku-buku pertama saya ketika saya masih balita. Seingat saya, kalimat pertama
yang saya baca adalah headline surat
kabar, umur saya 3tahunan saat itu. Setelah itu, memori belajar di kelas 1 SD
dengan buku berisi "i-ni i-bu bu-di" masih terekam kuat dalam ingatan.
Jangan bayangkan buku warna warni
dengan ilustrasi artistik, ya… karena awal 90an isi perpustakaan sekolah adalah
buku Balai Pustaka dan sejenisnya. Tulisannya banyaaak, gambarnya dikit, hitam
putih. Mungkin itu sebabnya hanya anak kelas 6 saja yang datang ke sana, itupun
untuk mengerjakan tugas.
Tapi, saya tetap suka buku lho,
karena papa saya mengajak saya dan adik ke toko buku seminggu sekali, dengan
jatah beli satu buku per minggu. Buku pertama saya: komik Mari Chan Bintangnya
Cinta (masih ingat?) yang membuat saya tergila-gila pada sepatu balet. Sejak
saat itu, buku demi buku mulai memenuhi lemari saya. Saya sampul plastik dengan
rapi, ujungnya tidak pernah saya lipat, pokoknya I treated them as kings deh… sampai-sampai adik saya pun mau pinjam
tidak saya perbolehkan, takut rusak. Pelit banget ya? Walau akhirnya saya
"kualat": buku2 saya berjamur karena disimpan di lemari tertutup! Hahaha..
What a life lesson.
Maksud saya sebenarnya baik, ingin saudara-saudara sepupu dan keponakan saya
kelak bisa mewarisi buku-buku saya ketika mereka dewasa. Sayangnya, mereka
tidak menunjukkan minat yang sama. Saya yang patah hati pun, ditambah insiden
"jamur", merelakan buku koleksi saya untuk disumbangkan. Pikir saya,
pasti banyak anak-anak diluar sana yang lebih membutuhkan buku-buku tersebut.
Meskipun demikian, ensiklopedi tidak
pernah saya sumbangkan. Selain karena orangtua saya yang berinisiatif membeli,
isinya juga tidak akan usang, fisiknya awet, dan harganya lumayan :p
Kini, koleksi buku saya kembali
beranak pinak, karena suami saya ternyata juga pecinta buku. Ke toko buku pun
menjadi me-time kami, sejak awal
menikah hingga Aksa lahir.
Saya pun tidak menyangka, ternyata
Aksa lebih suka ke toko buku daripada toko mainan. Memang usianya baru setahun
lebih, tetapi kalau melihat deretan buku anak langsung deh meloncat dari
gendongan saya, hehe..
Akhirnya saya dan suami pun pakai
"shift" kalau ke toko buku bertiga. Kalau saya ambil shift pertama,
berarti suami yang menemani Aksa sekaligus mengembalikan buku ke rak (Aksa suka
memindah buku dari 1 rak ke rak lain J). Begitu pula sebaliknya.
Meskipun repot, kami tetap senang
membawa Aksa ke toko buku, membelikannya buku, membaca untuknya, karena saya
dan suami telah benar-benar merasakan manfaat menjadi pecinta buku.
Aksa pun lebih cepat menyerap
kosakata baru melalui gambar di dalam buku, termasuk menirukan adegan-adegan
dalam dongeng yang disukainya.
Tentu saja saya dan suami senang
melihatnya begitu lengket dengan buku, walau kami harus rela diinterupsi ketika
sedang sibuk. Tidak tega menolak membacakan buku ketika Aksa dating ke dapur
dengan semangat, membawa buku yang cukup besar dengan tangan mungilnya *hugs*
Ternyata memang memberi contoh
adalah guru terbaik. Karena ayah ibunya suka buku, Aksa jadi suka buku juga. Pilihan
buku juga harus dipertimbangkan dengan baik. Untuk usia Aksa, ia menyukai
cerita yang pendek, gambar berwarna kontras dan mencolok, dan boardbooks sehingga halamannya mudah
dibalik dan tidak gampang sobek.
Sejauh ini, kami belum memperkenalkannya
pada gadget secara intens. Paling
banter melihat foto dan video di smartphone.
Semoga saja kecintaannya pada buku kelak tidak berkurang ketika ia mengenal
teknologi. Yang penting, kita sebagai orangtua yang harus aktif mendampingi dan
mengarahkan anak kita, agar mereka tetap dapat menyerap ilmu, apapun medianya.
Setuju?
0 komentar:
Post a Comment