Jujur,
proses decluttering buku merupakan salah satu tahap bebenah KonMari yang saya
lakukan dengan waktu paling cepat. Berbeda dengan proses menyortir baju yang
perlu banyak pertimbangan, saya bisa
dengan cepat memilih buku yang tidak lagi sparks
joy dan rela melepaskannya. Buku saya tapi ya… bukan buku anak, haha..
Meski sudah robek sana sini maupun anak nggak pernah tertarik, saya menganut
prinsip bahwa selera anak akan berubah seiring dengan usia dan kemampuan baru
yang ia kuasai. Jadi, daripada menyesal kemudian, saya pertahankan semua buku
anak. Toh, jumlahnya hanya sepersekian total buku saya dan suami.
Karena
prosesnya cepat, saya melakukan proses sorting tanpa melalui kategori. Most of our books are located in the living
room, beberapa di kamar tidur untuk bedtime stories, dan sekitar 15an buku
di storage room. Buku yang ini adalah buku yang saya beli di Gramedia Warehouse
Sale dan Mizan Out of The Boox dan masih disegel. Ada juga sih yang sudah saya
buka, tapi belum tuntas membacanya.
Jadi,
saat decluttering, saya hanya perlu memiringkan kepala mengikuti posisi
penyimpanan buku secara vertikal, dan mengambil yang kira-kira sudah tidak
ingin saya baca lagi ataupun tidak lagi memiliki nilai informasi di kemudian
hari, seperti novel.
Setiap buku
di rumah sudah memiliki tempat, hanya saja sudah pas. Jika menambah 5 buku lagi
misalnya, harus ada yang mengalah dan keluar dari rak buku, walaupun suami
memberi sinyal we-definitely-need-a-new-bookshelf,
hahhah..
Prinsip
decluttering yang saya gunakan di posisi pertama adalah rapi dan teratur. Saya
sempat berdebat sedikit dengan suami masalah ini. Buatnya, tidak masalah
meletakkan buku yang tidak muat secara horizontal di atas deretan susunan buku vertikal.
For me, it’s a big no no. Karena itu
saya sodorkan beberapa buku yang jarang ia baca dan merupakan gift dari konpers atau seminar, suami
pun memilih beberapa untuk direlakan.
Prinsip
berikutnya adalah aman. Ini saya berlakukan khususnya untuk buku anak premium
nan mulus yang saya letakkan di lemari kaca. Jadi, anak butuh effort lebih untuk mengambilnya meskipun
sekarang saya sudah tidak terlalu heboh jika si kecil mendzolimi buku-buku
tersebut. Dulunya, saya selalu meletakkan buku yang mahal ini di atas rak buku.
Karena makin lama buku yang eman-eman kalau rusak ini makin banyak (dan tidak
indah dipandang, berdebu pula), saya pun memindahkannya ke lemari kaca di saf
paling bawah agar tetap accessible bagi
anak-anak.
Dalam
proses organizing, buku saya simpan
berdasar kepemilikan. Milik suami di rak partisi ruangan bersama milik anak di
saf terbawah. Milik saya berada di lemari kaca beserta buku premium anak dan
sebagian buku suami. Alasannya, suami sering mengakses buku randomly and frequently jadi lebih
mudah rasanya jika ia tidak harus buka tutup pintu kaca. Selain itu, setiap
buku kami saya tata berdasar kategori yaitu parenting,
fiksi, mothering stories, teaching stories, kesehatan, biografi,
olahraga, agama, komik, bahasa, komunikasi, dan majalah.
Dengan
penataan demikian, saya dapat mempertahankan kebiasaan mengeluarmasukkan buku
dengan mudah, semudah menemukannya.
Eh tapi,
kalau dipikir-pikir, rak bukunya beneran udah nggak muat deh…soalnya ada tiga
kategori baru dalam penyimpanan buku: BBW, GramedSale, MizanSale,
hahaha..ketauan nih saya n suami bookworm yang menjurus ke Tsundoku. Tapi
semoga bukan hoarder yah. Buktinya, minggu lalu saya decluttering buku masa
remaja saya di rumah ortu dan alhamdulillah bisa mendonasikan buku-buku
tersebut (lebih dari 20kg!) dengan ikhlas. I
only saved less than 5 books, yeayy! Sebelum saya donasikan, saya tawarkan di grup preloved dan olshop saya. Lumayan. laku 5 buku. Motivasinya, saya tidak ingin membuat
koleksi buku saya berjamur karena terlalu disayang sampai harus diumpetin di
lemari, seperti saat saya SD dulu. Dan, tentang masalah hisab, saya juga
terpikir untuk membuka peminjaman buku online walau masih bingung bagaimana sistemnya kelak.
Buku yang di preloved lanjut donasi |
Jadi,
sukses nggak nih ya decluttering bukunya? Kalau lihat dari segi jumlah, jelas
tidak sukses ya hahaha… Tapi, inti decluttering kan menghilangkan clutter alias
hal yang membuat kita tidak nyaman, bikin suntuk, mood jelek karena berantakan.
Nah, buku-buku saya ini berfungsi sebaliknya: soothing corner where I find my happiness and fulfillment. Surga dunia
saya lah!
Hikmah dari
decluttering buku ini adalah, saya jadi mudah memahami mengapa ibu saya terus
menerus membeli tas-pakaian-sepatu seolah tidak pernah cukup. Padahal yang
dipakai juga itu-itu saja. Saya pun beli buku seolah tidak pernah cukup,
padahal 90% buku tidak saya baca ulang. Because
I found happiness when I read books, when I bought them, and when I own them.
At least, ilmu dalam buku tak lekang waktu, tak tergerus siklus layaknya
fashion items, dan bisa membuat kita lebih berdaya. Bokek itu hanya sementara,
khususnya habis BBW. Hahaha…