Wednesday, November 13, 2013

Tentang Trisna



Selama saya menjadi kepala asrama di sebuah asrama bahasa Inggris di Jogja, tidak pernah saya dibuat takjub, heran, sekaligus kagum oleh murid-murid saya kecuali oleh satu orang. Sebut saja namanya Trisna. Kala itu ia masih berusia 16 tahun, rela menempuh beberapa hari perjalanan dari kampungnya di NTT, untuk menempuh masa SMA di Jogja seorang diri sembari belajar bahasa Inggris

Secara penampilan ia biasa saja, bahkan kulitnya sedikit legam dan rambutnya kemerahan karena hobinya beraktivitas di luar ruang. Gaya berjalannya gagah seperti pria. Namun tinggal dengannya setiap hari selama dua tahun lebih membuat saya memahami bahwa pribadinya jauh melebihi apa yang bisa kita lihat dari fisiknya.

Seperti penghuni asrama baru pada umumnya, kami pun mengobrol untuk saling bertanya mengenai hal-hal mendasar seperti keluarga, kampung halaman, dan sebagainya. Peraturan di asrama adalah, penghuni harus menggunakan bahasa Inggris dalam kondisi apapun, 24 jam penuh. Pada saat itu, Trisna hanya bisa 2 kata: yes dan no. Maka ia kerap bercerita dalam bahasa Indonesia, sembari berusaha keras menghapal kosakata-kosakata baru dalam bahasa Inggris.

“Saya itu Miss, (penghuni asrama memanggil semua pengajar dan sesama penghuni menggunakan Miss dan Mister) pertama kali pergi ke mal, heran saya Miss. Tangga itu Miss, bisa jalan sendiri,” ceritanya dengan logat khas Indonesia Timur. Ternyata, ia sedang menceritakan tentang eskalator! Hahaha...

Ini bukan satu-satunya kisah keluguannya yang membuat penghuni asrama terpingkal-pingkal.
Pada suatu hari, Trisna diajak oleh Miss Ndari, yang juga penghuni asrama, pergi naik motor. Ketika melewati Alun Alun Selatan, terlihat kerumunan orang. Ternyata sedang ada syuting. Trisna benar-benar tertarik rupanya, hingga ia terus-terusan mengamati kerumunan itu dari atas motor, dan menemukan bahwa sang artis adalah...

“Anjasmaraaa!!! Haaaiii...!!” Ia pun berteriak dan melambai-lambai kegirangan dari atas motor! Miss Ndari yang mengemudikan motor kontan kaget sekaligus malu dan terpaksa memenuhi bujukan Trisna untuk berhenti dan mendatangi lokasi syuting. Ia ceritakan kejadian itu dengan penuh semangat pada penghuni asrama malam harinya.

I am heran Miss, itu aku lihat itu banyak manusia masyarakat Miss. (maksudnya banyak orang) Akhirnya aku turun Miss, dan aku ajak salaman dia. He is very handsome Miss...” ujarnya sambil menunjukkan tangan yang disalami sang artis –yang tentu saja tidak berbekas. Kami pun hanya bisa tertawa mendengar kisah yang dia ceritakan dalam bahasa campuran, serta pilihan kata bahasa Indonesia yang sedikit kurang lazim..

Di lain waktu, kami dibuat takjub dengan pilihan bajunya. Dulu ketika pertama datang ke Jogja, koleksi pakaiannya hanya kemeja berkancing depan dan celana jins, serta beberapa kaos oblong. Melihat penghuni asrama lain yang sudah kuliah, ia pun tertarik mencoba wedges milik teman kamar sebelah, dan berjalan bolak balik bak peragawati. Beberapa hari berikutnya, kami melihatnya turun dari motor dan berjalan dengan penuh rasa percaya diri memakai wedges, dipadukan dengan celana pendek bermotif army dan kaos olahraga sekolahnya. Ck ck ck....

Seiring dengan berjalannya waktu, Trisna pun kini mulai mampu bercakap-cakap dalam bahasa Inggris walau tata bahasanya masih kacau. Itu pun setelah ia menghafalkan 20 vocabulary baru setiap malam, dengan kursus di pagi, sore, dan petang hari, sekaligus sejumlah tempelan yang memenuhi dinding kamarnya. Jangan heran ketika ada yang bertanya, “Miss Trisna, have you taken a bath?” Dan ia menjawab dengan mantap, “Have, Miss!” Maksudnya, “I have taken a bath” tapi dikorting hingga “have”nya saja yang muncul karena yang ia ingat, “have” artinya “sudah”. Trisnaa..Trisnaaa..

Yang mengherankan, di SMA nya, ia terkenal jago berbahasa Inggris. Mungkin karena teman-temannya tahu ia tinggal di asrama bahasa Inggris. Maka ia pun ditunjuk mewakili sekolahnya untuk mengikuti lomba debat! Kami yang mengetahui kemampuan bahasa Inggrisnya pun berusaha melatihnya di asrama sebagai persiapan, sekaligus memberikan support penuh. Hari yang ditunggu pun tiba. Kami di asrama hanya bisa berdoa semoga Trisna tidak mati gaya disana.

Sepulang lomba, ketika kami bertanya tentang hasil lomba, ia hanya tertawa terpingkal-pingkal. “Do you know, Miss? I don’t understand. Kami bingung mereka (tim lawan) ngomong apa, jadi saya gak bisa balas Miss..Mereka senyum-senyum waktu kami bicara,” ujarnya polos. Ia pun tidak kecewa, karena menganggapnya sebagai pengalaman berharga. Meskipun demikian, kami tidak habis pikir ketika suatu malam Trisna kedatangan tamu yang ternyata seniornya di sekolah yang sedang mempersiapkan UN (Ujian Nasional).  Dari kejauhan, saya hanya melihat mereka seperti sibuk belajar. Penasaran, saya tanyakan pada Trisna apa yang mereka kerjakan.

I teach them, Miss. They will exam English tomorrow, “ jawabnya bangga.

Oh...ternyata Trisna membuktikan bahwa pengorbanannya hidup merantau demi menuntut ilmu sudah membuahkan hasil, yaitu bisa berbicara (dan mengajar) bahasa Inggris.

Kini, Trisna sudah menjadi seorang mahasiswa jurusan bahasa Inggris. Bahkan, ia dipercaya menjadi semacam kepala asrama bagi teman-teman seasramanya di kampus. Mungkin mereka kepincut dengan orisinalitas dan kelucuan Trisna. Saya berpikir, pasti bahasa Inggrisnya sudah cas cis cus sekarang. Karena itu ketika ia sms saya untuk janjian menjenguk saya setelah melahirkan, saya balas dengan bahasa Inggris. Kurang lebih percakapannya seperti ini:

“ I am sure you haven’t taken a bath as usual,” goda saya.

Dan ia membalas: “Have kok, Miss...!”

Addduuuuhh.....

0 komentar:

Post a Comment