Saat tahu
saya mengandung lagi, pikiran pertama saya adalah, nanti melahirkan dimana ya? Sama
dokter siapa? Yang terpikir adalah mencari dokter kandungan yang tidak sesibuk
dr.Yasmini, karena beliau gagal mendampingi kelahiran anak pertama saya. Tanya kanan
kiri, saya mendapat beberapa options, seperti dr.Upik di Sadewa karena
komunikatif, dr.Enny di JIH yang penjelasannya detil, sampai dr.Dyah Rumekti di
Adinda dan Sardjito.
Karena
bayangan saya adalah melahirkan di RS Sadewa atau setara, maka yang di JIH saya
coret. Adinda terletak di Jogja Barat sementara saya di utara, akhirnya saya
coret juga. Berarti tinggal dr.Upik donk, sementara beliau pernah salah
mendiagnosis saya. Dalam kebingungan, saya sempat hampir kembali ke dr.Yasmini
hingga seorang teman habis bersalin dengan dr.Ariesta di Sadewa. Saya pernah
sekali kontrol pasca kuret dengan beliau tetapi tidak di periksa dalam (though
I thought she should’ve done that) jadi kurang puas.
Kebetulan sekali,
praktek dr.Upik dan dr.Yasmini kok malam, sementara suami kerjanya dari siang
sampai malam. Lihat-lihat kolom jadwal dokter, bertemulah dengan dr. Ariesta
dan dr.Ayu. Dokter yang terakhir disebut ini setahu saya awalnya berada di
Sakina Idaman, kebetulan teman saya melahirkan anak pertamanya dengan beliau.
Kesannya, “Aku lahiran anak kedua mau sama bidan aja deh, habis pas sama dr.Ayu
gak sabaran”, katanya. So, coret juga ya…
Well, dengan
dr.Ariesta ada satu kriteria utama yang saat itu membuat saya mau mencoba
periksa: beliau ada dari Senin sampai Jumat di Sadewa. Dengan pregnancy goal saat itu yang berupa “melahirkan didampingi dokter kandungan”, maka jadwal
praktek lima hari dalam seminggu memperbesar kemungkinan beliau ada di RS saat
saya melahirkan, insya Alloh. Lucky me,
jadwal praktek beliau jam 9 pagi sehingga suami masih bisa diminta antar kontrol.
Sejak
pertama kontrol, tidak ada keluhan berarti dengan dr.Ariesta. Orangnya
friendly, bisa menjawab pertanyaan yang saya ajukan, terlihat nyantai dan
humoris. Beliau juga tegas, apalagi suaranya lumayan lantang. Sewaktu saya
mengalami kesulitan dengan prosedur rujukan BPJS, beliau blak-blakan
mengungkapkan “anehnya” dokter di faskes saya yang memintanya menulis notes
terlebih dahulu. Untunglah bu dokter baik, jadinya tetap dibuatkan notes biar
dokter umum di faskes saya tidak kebingungan.
Sewaktu
janin saya terlilit tali pusar, dr.Ariesta lebih banyak menenangkan dengan
meyakinkan saya that I didn’t have to worry too much. Persalinan normal
tetap dapat dilakukan, and I didn’t have
to think about SC. Sampai-sampai tiap kali saya kontrol dan menanyakan soal
lilitan tersebut, beliau bilang, “Saya kadang suka bingung, kasitau gak ya
(kalau ada lilitan) soalnya jadi pada parno sih..”
Saat saya
sudah di UGD karena sudah flek, beliau sempat menengok dan bertanya pada dokter
jaga tentang kondisi saya dan menanyai saya tentang surat rujukan faskes. Saya cukup
lega that she’s around and every progress
I made beliau selalu dapat ditelpon oleh dokter jaga.
Keesokan
harinya, dr.Ariesta sudah standby di
ruang bersalin saat saya baru bukaan 7. Fiuhh… saya merasa tenang, karena janin
saya kan terlilit tali pusar, jadi kalau ada apa-apa bisa langsung tindakan
(walau akhirnya saya bersalin secara normal dan bayinya gak kelilit deh..).
Pertanyaannya, apakah beliau galak? Enggak sih menurut saya, malah lebih galak
bidan yang satunya deh…atau mungkin dokter lebih fokus ke tindakan ya,
sementara bidan lebih memastikan kondisi pasien kondusif bagi dokter untuk
mengeluarkan bayi.
Sewaktu
saya mengejan setengah power,
dr.Ariesta hanya berkata seperti ini, “Mbak, nanti kalau tiga kali ngeden nggak
keluar, saya terpaksa harus operasi ya..” Well,
nggak usah pake diomelin saya langsung ngedennya all out donk yaa..hahah… Akhirnya
sang baby pun lahir dengan selamat dan tidak lupa saya mengucapkan terima kasih
pada beliau dan para bidan J
Saat kontrol
jahitan pun beliau pun cek dalam dengan sangat pelan, karena saya bilang kalau
saya paling takut hal tersebut and it
always makes me scream a bit. Beberapa dokter pernah bereaksi seperti “plis
deh” ditambah ekspresi rada “rolling eyes”, but
she didn’t, neither did dr.Yasmini. Saya sangat menghargai dokter yang
memahami pasiennya..
Kesimpulannya?
Recommended.
0 komentar:
Post a Comment