Pernahkah kita bertanya dalam hati, mengapa rumah orang tua kita (dan generasi mereka) rata-rata penuh dengan barang? I thought it was only my parents’ tapi ternyata barang mertua saya juga banyak, bahkan sampai berdebu tebal karena jarang digunakan (dan entah masih dipakai atau tidak). Rumah orang tua sahabat saya pun demikian: penuh barang. Will I be like them one day?
Saya jelas
berharap tidak memiliki rumah penuh barang seperti generasi mereka. Pengennya,
rumah rapi dengan barang pun tertata rapi, sehingga anak-anak bebas bermain
tanpa kita kuatir mereka bakal senggol sana berantakin sini dan beresinnya
butuh tujuh hari. Tapi, seiring dengan bertambahnya anggota keluarga, bertambah
pula rezeki saya dan suami, kok ya keinginan untuk membeli itu bertambah juga,
haha… Setiap melihat produk IKEA bawaannya pingin, kalau ke mal wajib mampir Informa,
namun alhamdulillahnya saya cukup kuat untuk tidak lapar mata, alias liat aja
cukup. Memang karena belum ada budgetnya sih #jujur, tapi kalau dipikir lagi,
rumah kami kecil jadi lebih bijak untuk ngerem
beli perabot besar (tapi buku nambah terus, gimana sihhh).
Karena itu,
saya tertarik baca buku Marie Kondo tentang seni merapikan barang. Tamat baca
buku
itu, sudut pandang saya tentang menata barang pun berubah. Namun, penyakit
“belum sempat” membuat penataan rumah saya masih belum Konmari enough. Menyortir
dan membuang barang tidak terpakai sudah saya lakukan, namun saya masih merasa
memiliki banyak barang. Terlebih, proses pindah rumah menyisakan kekecewaan
bahwa saya masih belum bisa let go
pakaian dan barang-barang yang jarang saya pakai. Akhirnya, saya simpan kembali.
Sabtu lalu,
saya mengikuti Seminar Gemar Rapi dengan Aang Hudaya sebagai pembicara. Ia
adalah co-founder Komunitas Gemar Rapi, sejenis Konmari-inspired lah ya. Saya senang sekali akhirnya ada seminar
seperti ini di Jogja setelah sekian lama hanya cuma bisa mupeng liat event
serupa diadakan di kota lain.
Meskipun
sudah membaca bukunya dan melihat videonya, dijelaskan secara langsung ternyata
rasanya beda. Dari materi kemarin, saya mendapat beberapa fakta penting:
Serapi apapun rumah kita, jika kita masih harus
MENCARI ketika membutuhkan barang, berarti belum rapi. Indikator rapi menurutnya adalah
ketika kita perlu barang dan kita tinggal ambil saja. Kenyataan sehari-hari
yang kita alami adalah, kita memiliki terlalu banyak penyimpanan barang “ekstra”
seperti di balik pintu, di atas lemari, di bawah meja, di bawah dipan, dll.
Mengapa kita harus berbenah? Selain menghilangkan clutter alias tempat “ekstra” yang bikin
kita tidak nyaman di atas, berbenah juga memastikan prinsip health and safety
terpenuhi (misal menyimpan daging terpisah dengan es batu di freezer, kabel tidak terurai). Lalu,
berbenah bisa membuat kita lebih bahagia (tidy
house tidy mind) dan yang paling penting adalah berbenah merupakan wujud
kita menyayangi bumi kita, lho.
For Muslims, ternyata ada hadits dan ayat
pendukung untuk kita berbenah. HR Bukhari no 1407 mengatakan bahwa sesungguhnya Alloh tidak suka kita
menyia-nyiakan harta (idho’atul maal).
Memiliki banyak barang tak terpakai merupakan salah satunya. Kemudian, setiap
benda itu ada hisabnya. Di akhirat
nanti, kita akan ditanya tentang usia kita, ilmu kita, dan harta kita –dari mana
saja ia diperoleh dan dibelanjakan untuk apa (HR Tirmidzi no 2147). Yang paling
serem, Al Imam Abu Ja’far bin Jarir mengatakan, barang timbunan akan menjadi
binatang buas yang melahap kita. Nah lo! Jadi, jangan sepelekan peniti or jepit
ya, karena kita akan dimintai pertanggungjawaban tentang benda remeh ini, bukan
cuma emas yang dihisab!
Trus, apa penyebab rumah berantakan? Undebatable,
jumlah barang terlalu banyak sehingga banyak benda tak berumah. Akhirnya dijejelin
kesana diselipin kemari. Boleh aja kita beralasan rumahnya kecil, tapi penyebab
lain rumah berantakan adalah kebiasaan dan pola asuh. Satu lagi, suka menunda. Kalau
saya nih, nunda ngelipet jemuran kering. Ah, nanti mau saya setrika dulu…dan
akhirnya numpuk karena nggak distrika. Rumah boleh rapi (tidak harus selalu ya,
we’re humans) dan boleh “hidup” –istilah
Pak Aang untuk mengganti kata tidak rapi. Karena itu, ajak anak dan anggota
keluarga untuk beberes juga. Jangan cuma ibu aja..
Aku sudah berbenah, kenapa masih juga enggak
rapi? Karena kebanyakan
orang ketika berbenah tidak melakukan proses mengurangi barang, namun hanya
memindahkan barang ke tempat lain. Selain itu, kita tidak mengubah mindset dan
lifestyle: masih pengen ini itu, beli barang karena ingin, membeli karena social pressure, dsb.
So, jika ingin berbenah yang efektif, ingat
prinsip ini ya!
1. Komitmen pada diri sendiri
Kalau tidak ada
komitmen, rasa jenuh dan malas bisa membuat kita kembali berantakan. Jangan
lupa, ini adalah teamwork jadi
libatkan anggota keluarga yang lain. Jangan sampai kita mengupah pembantu hanya untuk
membayar kemalasan kita.
2. Mimpikan gaya hidup ideal
Masih banyak orang sibuk
mengejar harta karena mereka tidak menentukan batas atasnya. Akihrnya, makin
banyak pendapatan makin banyak pula kebutuhan karena naiknya kelas sosial.
Kalau kita sudah menentukan gaya hidup kita mau seperti apa, insya Alloh kita
bisa istiqomah sebanyak apapun harta kita. Kita pun tak akan lelah mengejar
harta.
3. Awali dengan mengurangi barang
Jika ingin mengurangi barang dengan
metode KonMari, coba googling sendiri or baca bukunya ya. Intinya adalah
mengikhlaskan barang yang sudah tidak kita gunakan lagi dan memberikannya pada
orang yang lebih membutuhkannya.
Sebagai
penutup, Pak Aang mengatakan bahwa Alloh
memberikan rizki sesuai kebutuhan kita, tetapi Alloh tidak pernah memberikan
rizki sesuai keinginan kita….karena keinginan kita tidak ada batasnya.
P.S: Event ini adalah event zero waste, jadi peserta diminta membawa tumbler sendiri. Snack disajikan dalam pincuk daun pisang. Super cool!
0 komentar:
Post a Comment