Tidak perlu campur tangan Tuhan untuk membuat
bumi ini “selesai”.
Salah satu
kalimat dalam opening speech acara
Menuju Hidup Minim Sampah bulan Oktober lalu tersebut sangat menohok. Bagaimana
tidak, sampah yang dihasilkan oleh manusia sudah mulai merugikan lingkungan.
Banjir tahunan hanya sebagian kecil dampak langsung kebiasaan membuang sampah
secara tidak bertanggung jawab, TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang longsor dan
meledak juga menjadi tanda bahwa menimbun sampah di suatu lokasi bukanlah solusi.
Yang paling menyedihkan (dan baru saya ketahui beberapa bulan belakangan) bahwa
sampah manusia sudah mencemari lautan, melukai hewan laut, dan masuk ke dalam
rantai makanan kita.
Fakta di
atas banyak saya dapatkan dari akun instagram bertagar #zerowaste yang kemudian
menuntun saya untuk mengikuti akun @dkwardhani, seorang penulis buku anak yang
menerapkan gaya hidup zero waste atau
minim sampah. Dari akun DK Wardhani itulah saya mengikuti lebih banyak akun
serupa dan mulai mencoba untuk mengurangi jumlah sampah yang saya hasilkan.
Karena itu, I was beyond happy
sewaktu tahu beliau ke Jogja untuk sharing
session di Saorsa Kopi.
Saya sudah
membaca bukunya yang berjudul Menuju Hidup Minim Sampah, termasuk mengikuti
grup Telegram berjudul sama sehingga sempat mendapatkan banyak informasi dan
tips untuk ber- zerowaste. Walaupun
begitu, tetap banyak informasi baru yang saya dapat dari event tersebut, termasuk kesempatan untuk bertanya langsung.
So, here are important facts I got!
Yang berilmu belum tentu beramal. Dalem ya, kalimatnya. Tapi Dini
–begitu ia biasa dipanggil- menyimpulkan hal tersebut dari pengalamannya saat
mengajar tentang Manajemen Lingkungan. Hampir setiap hari mahasiswa dan dosen
belajar tentang lingkungan tetapi masih banyak yang tidak membuang sampah pada
tempatnya, mencampur sampah meskipun sudah disediakan tong terpisah, dan
menghasilkan sampah yang banyak setelah acara-acara kampus.
Ia sadar
bahwa masalah sampah ada di hilir, di rumah tangga, sementara teori yang
diajarkan di kampus lebih banyak penanganan di hilir. Dini pernah mengusulkan
pada rekan-rekan dosen untuk do something
mengenai sampah, tetapi yang ia dapatkan adalah jawaban, “Penyuluhan bukan
tugas kita. Kita mengurusi bagian teknis.” Para dosen berteori, sampah harus dikurangi.
Titik. Sampai di situ saja.
Dari situ,
ia melihat bahwa akar masalahnya adalah saat
kita membuang sampah pada tempatnya, urusan kita selesai. Padahal
sebenarnya, kita hanya memindahkan sampah dari tong sampah ke TPA, sungai, or oceans
(who knows). Sampah tersebut tetap di ada di bumi dan kita merupakan satu
ekosistem besar. Sebagai negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di
dunia, tentu kita tahu bahwa kebiasaan kita dalam memperlakukan sampah akan
mempengaruhi belahan bumi lainnya. Buktinya, Pulau Menjangan yang tak
berpenghuni saja penuh sampah.
Pemerintah, apa kabarnya? Kata Dini, urusan sampah bisa baru
selesai tahun 2085 kalau mengandalkan pemerintah. There are laws, but waste hasn’t been their priority. Pemerintah
menyediakan TPA, hanya saja sistemnya berupa open dumping. Artinya, sampah ditumpuk dan dirapikan saja oleh alat
berat. Seharusnya, TPA berbentuk sanitary
landfill dimana tumpukan sampah ditutup dengan tanah dulu sebelum ditumpuk
oleh sampah yang baru. Sayangnya, sanitary
landfill membutuhkan biaya penanganan 20-30 ribu rupiah per harinya, jauh
di atas open dumping yang hanya 2000
rupiah. Dengan “setoran” sampah ke TPA Bantar Gebang sebanyak 7000 ton per hari
atau ke TPA Malang sebanyak 950 ribu ton per hari, bisa dibayangkan ya gunung
sampahnya akan setinggi apa nanti. Karena
itu, menurut Dini, yang harus disadarkan adalah masyarakatnya.
Mungkin
kita sebel sama orang yang buang sampah sembarangan. Tapi, kita juga sebenarnya
sama
saja dengan mereka. Hanya karena kita merasa sudah membayar tukang sampah,
maka kita merasa lebih baik dari mereka. Kita tidak diajari untuk men-treat plastik sejak kecil. Kepraktisan
begitu memanjakan kita.
Lalu, apa yang kemudian Dini lakukan? Cek post berikutnya ya!
0 komentar:
Post a Comment