Wednesday, November 21, 2018

Saat "Nyampah" adalah Biasa (Catatan Zero Waste Part 1)


Tidak perlu campur tangan Tuhan untuk membuat bumi ini “selesai”.

Salah satu kalimat dalam opening speech acara Menuju Hidup Minim Sampah bulan Oktober lalu tersebut sangat menohok. Bagaimana tidak, sampah yang dihasilkan oleh manusia sudah mulai merugikan lingkungan. Banjir tahunan hanya sebagian kecil dampak langsung kebiasaan membuang sampah secara tidak bertanggung jawab, TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang longsor dan meledak juga menjadi tanda bahwa menimbun sampah di suatu lokasi bukanlah solusi. Yang paling menyedihkan (dan baru saya ketahui beberapa bulan belakangan) bahwa sampah manusia sudah mencemari lautan, melukai hewan laut, dan masuk ke dalam rantai makanan kita.

Fakta di atas banyak saya dapatkan dari akun instagram bertagar #zerowaste yang kemudian menuntun saya untuk mengikuti akun @dkwardhani, seorang penulis buku anak yang menerapkan gaya hidup zero waste atau minim sampah. Dari akun DK Wardhani itulah saya mengikuti lebih banyak akun serupa dan mulai mencoba untuk mengurangi jumlah sampah yang saya hasilkan. Karena itu, I was beyond happy sewaktu tahu beliau ke Jogja untuk sharing session di Saorsa Kopi.
Saya sudah membaca bukunya yang berjudul Menuju Hidup Minim Sampah, termasuk mengikuti grup Telegram berjudul sama sehingga sempat mendapatkan banyak informasi dan tips untuk ber- zerowaste. Walaupun begitu, tetap banyak informasi baru yang saya dapat dari event tersebut, termasuk kesempatan untuk bertanya langsung.


So, here are important facts I got!

Yang berilmu belum tentu beramal. Dalem ya, kalimatnya. Tapi Dini –begitu ia biasa dipanggil- menyimpulkan hal tersebut dari pengalamannya saat mengajar tentang Manajemen Lingkungan. Hampir setiap hari mahasiswa dan dosen belajar tentang lingkungan tetapi masih banyak yang tidak membuang sampah pada tempatnya, mencampur sampah meskipun sudah disediakan tong terpisah, dan menghasilkan sampah yang banyak setelah acara-acara kampus.  

Ia sadar bahwa masalah sampah ada di hilir, di rumah tangga, sementara teori yang diajarkan di kampus lebih banyak penanganan di hilir. Dini pernah mengusulkan pada rekan-rekan dosen untuk do something mengenai sampah, tetapi yang ia dapatkan adalah jawaban, “Penyuluhan bukan tugas kita. Kita mengurusi bagian teknis.” Para dosen berteori, sampah harus dikurangi. Titik. Sampai di situ saja.

Dari situ, ia melihat bahwa akar masalahnya adalah saat kita membuang sampah pada tempatnya, urusan kita selesai. Padahal sebenarnya, kita hanya memindahkan sampah dari tong sampah ke TPA, sungai,  or oceans (who knows). Sampah tersebut tetap di ada di bumi dan kita merupakan satu ekosistem besar. Sebagai negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia, tentu kita tahu bahwa kebiasaan kita dalam memperlakukan sampah akan mempengaruhi belahan bumi lainnya. Buktinya, Pulau Menjangan yang tak berpenghuni saja penuh sampah.

Pemerintah, apa kabarnya? Kata Dini, urusan sampah bisa baru selesai tahun 2085 kalau mengandalkan pemerintah. There are laws, but waste hasn’t been their priority. Pemerintah menyediakan TPA, hanya saja sistemnya berupa open dumping. Artinya, sampah ditumpuk dan dirapikan saja oleh alat berat. Seharusnya, TPA berbentuk sanitary landfill dimana tumpukan sampah ditutup dengan tanah dulu sebelum ditumpuk oleh sampah yang baru. Sayangnya, sanitary landfill membutuhkan biaya penanganan 20-30 ribu rupiah per harinya, jauh di atas open dumping yang hanya 2000 rupiah. Dengan “setoran” sampah ke TPA Bantar Gebang sebanyak 7000 ton per hari atau ke TPA Malang sebanyak 950 ribu ton per hari, bisa dibayangkan ya gunung sampahnya akan setinggi apa nanti. Karena itu, menurut Dini, yang harus disadarkan adalah masyarakatnya.

Mungkin kita sebel sama orang yang buang sampah sembarangan. Tapi, kita juga sebenarnya sama 
saja dengan mereka. Hanya karena kita merasa sudah membayar tukang sampah, maka kita merasa lebih baik dari mereka. Kita tidak diajari untuk men-treat plastik sejak kecil. Kepraktisan begitu memanjakan kita.


Lalu, apa yang kemudian Dini lakukan? Cek post berikutnya ya!

0 komentar:

Post a Comment