Suatu ketika saya membaca artikel di tabloid hiburan
mengenai tips mengajarkan anak cinta membaca. Ada enam poin yang disebut, dan
poin terakhir membuat saya heran: bacaan tidak mengandung unsur pornografi.
Dalam hati, saya pun tertawa. Ya jelaslah, masa orang tua memberi bacaan berbau
pornografi pada anak? Mungkin kalau anak usia SD ke atas, orang tua bisa saja
kecolongan memberikan komik yang ternyata di dalamnya ada konten berbau
pornografi, tapi anak saya kan masih balita.
Ternyata saat itu saya terlalu berpikir sempit, karena
beberapa hari kemudian saya menyadari apa yang dimaksud oleh tabloid tersebut.
Saat itu saya seperti biasa menemani Aksa membaca buku di
depan rak buku. Rak buku ini berada di ruang keluarga yang juga pusat kegiatan
bermain dan belajar anak saya. Sejak ia mulai bisa membuka halaman buku tanpa
dibantu, ia lebih sering membuka-buka buku sendiri. Sebagai catatan, rak buku
ini berisi buku saya dan suami juga, termasuk majalah dan novel.
Salah satu yang sangat disukai Aksa adalah majalah,
khususnya majalah ibu dan anak seperti Ayahbunda atau Mother&Baby, karena
didalamnya banyak sekali gambar anak seusianya, berikut gambar anggota keluarga
lain, makanan, serta mainan. Karena majalah parenting
tersebut bercampur dengan majalah lain, ia pun beberapa kali membuka majalah
Femina, National Geographic, ataupun Gogirl! (aduh, ketahuan deh masih baca
majalah remaja).
Biasanya sih saya biarkan saja, tapi entah mengapa saat itu
ia membuka halaman iklan produk fashion asing yang menampilkan pria dan wanita
dalam posisi yang cukup sensual. Saya pun seperti orang yang baru sadar dari
lamunan. Ini kan kontennya dewasa, kenapa saya tidak menyadarinya ya? Detik
berikutnya, saya buka-buka semua majalah remaja dan dewasa yang ada di rak
buku. Ternyata cukup banyak yang menurut saya sebagai orang dewasa adalah hal
yang lumrah, tetapi untuk anak 1,5 tahun yang sedang dalam proses menyerap
apapun yang ada di lingkungannya merupakan konten berbau pornografi. Beberapa
diantaranya seperti foto wanita berpakaian minim ataupun ilustrasi artikel
tentang hubungan dengan pasangan.
Akhirnya majalah-majalah tersebut saya amankan di bagian
dasar tumpukan, sehingga Aksa tidak dapat mengambilnya. Saya kemudian teringat
hasil observasi sebuah lembaga psikologi di SD tempat saya bekerja dulu. Mereka
melakukan penelitian dan pelatihan seputar sex
education kepada murid berusia 10-11 tahun. Salah satu poin yang cukup
menohok adalah: anak-anak tersebut melihat “adegan dewasa” secara tidak sengaja
ketika orang tua mereka menonton film di saluran tv kabel di rumah!
Di satu sisi, saya menyesali diri sendiri, kok bisa-bisanya
tidak sadar akan hal tersebut. Apalagi, sebelum Aksa "puasa” menonton tv,
saya suka mengajaknya menonton America’s Next Top Models yang jelas banyak
sekali adegan dewasanya. Pada saat itu saya menganggap ia masih terlalu kecil
untuk mengerti. Di sisi lain, saya bersyukur karena saya menyadari kesalahan
saya sekarang, ketika usianya masih kecil. Semoga saja belum terlambat..
So, for you Mommies,
be careful in deciding what’s okay and not okay for your kids because sometimes
we forgot to put off our glasses as adults.
0 komentar:
Post a Comment