Tentang bahaya menonton televisi bagi anak, saya sudah mengerti. Cukup banyak artikel yang saya baca ketika Aksa menginjak usia tiga bulan, mengingat saat itu kami mulai sering memperlihatkannya acara kartun di saluran khusus bayi tv kabel kami. Beberapa artikel mengatakan bahwa batasnya adalah tiga jam per hari. Kami pun berusaha untuk tidak melebihi durasi tersebut.
Karena saya dan suami berkacamata, maka PR kami berikutnya
adalah mengatur jarak pandang menonton tv yang ideal bagi Aksa. Apalagi
televisi konon memancarkan sinar biru yang membahayakan retina mata bayi.
Hingga usia Aksa setahun lebih, acara menonton televisi
bersama masih menjadi salah satu rutinitas harian di sore hari. Apalagi,
makannya agak lebih mudah kalau sambil menonton TV, karena ia fokus pada layar
televisi. Kadang rasa bersalah sering muncul, karena saya juga pernah membaca
bahwa menonton televisi sambil makan menghambat anak untuk belajar makan dengan
baik. Saat itu saya berpikir, yang
penting ada makanan yang masuk perut Aksa deh!
Sampai sekitar sebulan lalu, saya membaca artikel KonsentrasiDonk, Nak dimana sang ibu menceritakan bahwa anaknya memiliki attention span (rentang perhatian) yang
rendah karena penggunaan gadget dan menonton TV yang ternyata lebih lama dari
yang seharusnya. Dari sekian banyak artikel yang saya baca sejak Aksa lahir,
yang ini langsung membuat takut! Beneran..
Sejak saat itu, saya benar-benar membatasi akses Aksa ke
televisi. Kalau biasanya saya bela-belain menidurkan Aksa di depan televisi
demi menonton The Voice atau Got to Dance, kali ini saya benar-benar tahan
mental untuk tidak menyaksikan episode terbaru acara TV favorit. Kebiasaan Aksa
dan saya menonton Berpacu Dalam Melodi sambil menyanyi dan joget berdua pun
terpaksa harus dihilangkan, hiks..
Apalagi, seminggu sebelumnya, saya sempat datang ke sebuah
seminar mengenai penggunaan gadget pada anak, dimana Anna Surti Ariani sebagai
pembicaranya menyarankan bahwa anak usia di bawah dua tahun tidak disarankan
untuk menonton televisi maupun menggunakan gadget. Makin mantap saya
menjalankan tv-free-life buat Aksa,
meskipun ini berarti saya harus menyediakan aktivitas pengganti. Untuk saat ini
belum sampai nol persen sih, karena suami saya terkadang perlu menonton
pertandingan bola untuk urusan pekerjaannya, sementara rumah kecil kami memungkinkan
televisi terlihat dari pintu ruang tamu sekalipun.
Lantas, bagaimana reaksi anak saya?
Pada awalnya, Aksa masih suka mendatangi televisi dan
menyalakan tombol, lalu duduk manis di depan televisi. Ketika saya matikan
televisi dan mencabut kabelnya dari stop kontak, paling-paling Aksa berusaha
menyalakan tombol lagi. Kalau tidak menyala, maka dia akan berlalu dan mencari
mainan lain. Bisa saja karena frekuensi menontonnya sejak awal tidak terlalu
lama juga, jadi tidak ada acara merengek atau menangis.
Untuk mengganti tv
time berdua Aksa di sore hari sepulang aktivitas bermain di luar rumah,
saya memperpanjang acara main di luar hingga menjelang Magrib. Aksa bertambah
semangat, karena anak-anak di kompleks saya pada jam tersebut hampir semua bermain
bersama. Selepas Magrib, Aksa langsung saya ajak bermain di kamar tidur, mulai
dari gelitik-gelitikan, baca buku, menyanyi, sampai drama boneka, hingga
akhirnya Aksa mengantuk.
More effort, of course.
Saya dituntut untuk lebih kreatif, lebih menghibur, dan pastinya lebih
staminanya. Saya baru tahu kalau menemani anak bermain bola selama 5 menit
sudah bisa bikin saya berkeringat, hehe..
Hasilnya? Seminggu dua minggu, Aksa sudah mulai jarang
menyalakan tombol televisi. Beberapa kali saya kabulkan permintaannya, dan
menonton bersamanya dengan jarak pandang yang aman. Kira-kira 10 menit kemudian
dia sudah beralih ke mainan yang lain. Syukurlah.. Mungkin karena yang kami tonton
acara berita kali ya.. Beda halnya ketika saya pilihkan channel kartun semacam Upin Ipin. Aksa terlihat sangat fokus menatap
layar televisi dan tertawa terbahak-bahak meskipun ceritanya tidak lucu, saking
excitednya! Tetapi, paling lama 15 menit dan dia mulai
teralih perhatiannya.
Sebenarnya tidak hanya dalam kasus televisi. Saya amati
sejak ia kecil, perhatiannya memang mudah teralih. Kalau sedang menyusui di nursing room mal atau rumah sakit misalnya,
maka ia bisa batal menyusu hanya karena asyik melihat bayi lain menyusu. Contoh
lain, ketika ia minta dibacakan buku A, maka bisa saja tiba-tiba ia menengok ke
buku lain ketika saya sudah siap membacakan cerita. Setelah browsing sana sini, ternyata memang
rentang perhatian anak seusia Aksa tidaklah lama. Menurut Wikipedia, anak
berusia dua tahun rata-rata memiliki attention
span sekitar 5 menit. Jadi, saya bisa bernapas lega..
Sekarang sudah hampir sebulan Aksa move on dari televisi. Yang menakjubkan adalah, Aksa memilih untuk
mendatangi toy box-nya daripada
televisi, padahal posisi keduanya tepat bersebelahan. Senang sekali rasanya. Saya
juga jadi ikutan jarang menonton TV, dan ternyata saya masih hidup, haha..
Hari ini, Aksa membuat kejutan. Ia bisa menyusun balok-balok
mini selama 20 menit! Seingat saya, belum pernah ia fokus pada satu hal selama
ini. Setiap kali menara baloknya runtuh, ia pun mengulang dari awal. Apakah ini
karena frekuensi menonton tv nya berkurang (sehingga ia bisa lebih fokus), atau
karena tadi saya temani ya (sehingga ia lebih semangat)?
Ah, buat saya yang manapun penyebabnya tidak menjadi soal.
Yang terpenting adalah, saya belajar bahwa untuk menciptakan suatu kebiasaan
yang positif orangtua harus mau repot, harus mau belajar. Semoga saja kita
selalu bisa mengambil keputusan yang tepat untuk anak kita ya, Mommies :)
see the published version on http://mommiesdaily.com/2015/01/06/rpicberalih-dari-tv/
0 komentar:
Post a Comment