Dari dulu, saya punya kebiasaan menulis agenda, bukan untuk merencanakan sesuatu tetapi untuk menuliskan apa yang terjadi pada hari itu, sehingga kejadian tidak terlewat begitu saja dan terlupakan.
Sewaktu SD, bentuknya
hanya berupa diary warna warni. Naik ke SMP, sudah mulai buku agenda betulan.
Biasanya di toko buku besar banyak yang jual planner menjelang akhir tahun. Waktu SMA, agenda harian ditambah
foto (khususnya hasil photobox hehe). Apalagi waktu itu organizer lagi hits
banget, dengan loose leaf warna warni
dan stiker imut. Begitu kuliah dan banyak kesempatan mengikuti banyak event menarik, dosis dokumentator saya
pun bertambah menjadi kolektor memorabilia yang berhubungan dengan event-event tersebut. Tujuannya adalah,
membuat scrapbook!
Pertama kali saya melihat konsep scrapbook jaman SMA, ketika keluarga saya menjadi host family murid Australia yang berkunjung
ke sekolah saya. Mereka diwajibkan membuat sejenis album foto yang menceritakan tentang keluarga mereka dan
siapa mereka. Bahannya hanya dari buku gambar berukuran kecil dengan hiasan ala
kadarnya. Mereka juga memiliki buku sejenis, tetapi namanya journal. Kurang lebih seperti buku
harian tetapi mereka menempelkan beberapa benda, mulai dari tiket kereta hingga
bungkus permen! Seru ya..
Terinspirasi dari mereka, ditambah beberapa majalah remaja
yang kala itu mulai sering mengadakan kompetisi menghias foto maupun memberi
bonus agenda tahunan dengan kolom untuk menempel foto dengan desain colorful, jadilah saya mulai belajar
mendokumentasikan karya saya dalam bentuk scrapbook.
Walaupun belum jamannya ponsel berkamera, saya dan geng saya pada saat itu
tidak kehabisan stok foto karena kami rutin pelesir sekaligus photo session, bermodalkan kamera
otomatis dan 1 rol film isi 36. Hal yang paling bikin deg-degan, tentu saja
melihat hasilnya setelah dicetak!
Akhirnya, saya sampai kepada tahap dimana dorongan untuk
scrapbooking sangat-sangat tinggi. Apalagi kalau bukan karena kelahiran bayi
saya :-) mulailah
saya mendokumentasikan saat-saat saya hamil, termasuk mengumpulkan foto usg dan
testpack, hehe..begitu juga ketika proses kelahiran (sayangnya saya tidak
terpikir untuk merekam proses kelahiran, walaupun keputusan ini sekarang saya
syukuri karena prosesnya teralu horror untuk direkam #pain #scream). Saya masih
menyimpan gelang bayi, keterangan di box, sampai kartu-kartu ucapan selamat di
kado bayi dari teman-teman.
Lantas, bagaimana hasilnya? Memorabilia yang saya kumpulkan
masih tersusun manis di kotak penyimpanan, haha..tetapi at least saya sudah membuat beberapa halaman scrapbook di album
foto dengan bahan yang cukup simpel.
Sebetulnya, dokumentasi semacam ini selalu ada dari masa ke
masa. Kalau jaman kita bayi dulu, orangtua kita pasti punya album foto besar-besar,
bahkan kadang diletakkan di ruang tamu agar bisa dilihat orang yang datang.
Kalau sekarang, aplikasi edit foto menjadi andalan para orangtua yang mungkin tidak punya waktu banyak untuk
menceritakan kisahnya dalam bentuk scrapbook, tetapi memiliki stok foto
melimpah.
Bagi mereka yang punya lebih banyak waktu dan suka menulis, biasanya
mendokumentasikan cerita si kecil dalam bentuk blog, atau media sosial. Kalau
ingin yang lebih riil, pakai video. Apapun caranya, yang penting tidak ada
momen penting yang terlewatkan.
Sebagai seorang scrapbooker, saya merasa ada beberapa
manfaat membuat scrapbook.
Pertama,
mempertajam ingatan. Biasanya, proses membuat scrapbook tidak tepat saat
kejadian berlangsung. Karena itu, otak kita terpaksa recalling memories and trying to remember every detail that makes our
story more interesting. Detail ini akan membuat scrapbook lebih “bercerita”,
yang bisa ditambahkan melalui caption
atau teks. Lebih bagus lagi jika informasi tambahan tersebut unik.
Kedua, belajar
menyusun cerita yang runtut layaknya menulis. Jika Mommies ingin membuat
scrapbook berupa sebuah album atau buku, sebaiknya buatlah tema dan outline (garis
besar cerita) terlebih dahulu agar setiap halaman scrapbook tidak hanya menarik
secara visual tapi juga memiliki cerita yang utuh.
Ketiga, menghargai
setiap momen, tidak ada yang tidak penting. Terlebih lagi jika kita seorang
ibu, kita jadi bisa melihat milestones yg
berhasil dicapai bayi kita. Karena itulah, saya suka memotret anak saya setiap
kali ia melakukan suatu hal untuk pertama kalinya, ataupun kejadian lucu dan
momen penting.
Keempat, belajar
kreatif. Karena membuat scrapbook itu tidak hanya sekadar gunting tempel,
tetapi juga mengatur letak, warna, ukuran, termasuk juga menguji tingkat
kerapian kita. Oh iya, kita juga bisa tahu style
kita lho, Mommies!
Kelima, scrapbook
bisa bermanfaat buat orang lain. Misalnya, kita bisa mempererat attachment dengan anak dengan cara
menghias scrapbook bersama. Untuk eyangnya anak-anak, scrapbook tentu akan
lebih berkesan dan dapat dinikmati daripada kumpulan foto di computer atau
editan foto di layar gadget.
Bagaimana, tertarik mencoba?
0 komentar:
Post a Comment