Dear Mommies,
Kemarin saya merasa bersalah sekali. Entah mengapa beberapa
hari terakhir kesabaran saya kok tipis ya.. Sedikit saja anak saya bertingkah
di luar harapan saya, saya dengan mudahnya mengeluarkan nada tinggi.
Padahal biasanya saya masih bisa berpikir lho, walaupun
setelah beberapa kali menahan diri akhirnya kelepasan juga. Mau menahan diri
beberapa kali pun, tetap saja kalau kelepasan marah, bahkan sampai membentak,
rasa bersalahnya itu tidak kunjung hilang.
Seperti kemarin, Aksa
membawa pel karet ke atas kasur, dilanjutkan menumpahkan sebotol air ke atas
majalah, yang ujung-ujungnya membuat saya “melegalkan” amarah saya. Dan…Aksa
hanya menatap saya bingung. Tidak menangis, tidak takut..
Saya jadi makin merasa kuatir. Bagaimana jika dalam
kebingungannya itu otaknya sedang menyerap apa yang barusan dilihatnya? Bagaimana
jika kemudian memorinya mengumpulkan rangkaian amarah dan emosi saya? Bagaimana
jika kelak dia jadi mudah marah karena meniru saya?
Mungkin ketakutan saya terdengar berlebihan, tetapi saya
punya alasan. Keluarga saya termasuk keluarga ekspresif: kalau seneng bisa
sampe ngakak, kalau kesel pasti diungkapin, dan kalau marah bisa seperti perang
dunia, haha.. Positifnya sih, biasanya masalah tidak berlarut-larut karena
langsung diselesaikan, walau kadang prosesnya seperti sinetron. Negatifnya,
kami jadi kurang mampu mengendalikan emosi, baik positif maupun negatif. Inilah yang saya ingin ubah ketika saya
berkeluarga.
Masalahnya, mengubah sesuatu yang sudah kita lakukan
bertahun-tahun itu perjuangan sekali. Sudah tak terhitung rasanya saya
mengalami marah-sesal-marah-sesal, walau saya yakin sebagai seorang ibu saya
jauh lebih sabar daripada ketika masih lajang.
Kadang saya menghibur diri, bahwa “besok tidak akan saya
ulangi lagi”, tetapi selalu saja ada waktu dimana saya gagal menahan diri. Belum
lagi mengingat bahwa Aksa masih dalam masa emas pertumbuhannya, dimana otak
anak menyerap berbagai macam informasi tanpa melihat baik dan buruk, makin stress
pula saya!
Dalam kegalauan, saya cek timeline twitter (lho?). Kebetulan sekali @24hrparenting dan
@RumahMain Cikal sedang #NGORBIT alias ngobrol bareng di twitter bersama
psikolog @tarisandjojo dan membuka
kesempatan untuk bertanya. Langsung deh saya curhat, haha.. Saya tanyakan saja, apakah anak usia 17 bulan
sudah bisa mengingat atau bahkan meniru ibunya ketika sedang marah, karena saya
kuatir kelak Aksa jadi anak pemarah pula.
Saya senang sekali ketika akhirnya pertanyaan saya terpilih
untuk dibahas :) walau saya baru tahu keesokan harinya.
Jadi, menurut psikolog Tari Sandjojo, emosi itu wajar. Hanya
saja, kita perlu mengenali dan mengendalikannya. Misalnya, ketika kita mulai
merasakan tanda-tanda seperti tangan mulai mengepal, nafas lebih cepat, dan
mulut sudah bersiap meluncurkan kata-kata dengan cepat, berarti kita tahu kita
marah. Setelah kita mengenalinya, maka kita diharapkan bisa mengekspresikan
emosi tersebut dengan lebih baik. Ibaratnya, amarah tadi “diproses” agar less harmful bagi kita ataupun anak
kita.
Hmm, kalau saya sedang marah kok kayaknya tahap pemrosesan
emosi tadi hilang ya? Tahu-tahu sudah meluncur saja kata-kata atau bahkan teriakan.
Lalu, bagaimana kalau sudah terlanjur marah seperti ini?
Mintalah maaf. Tidak hanya maaf saja, namun sertakan alasan
mengapa kita marah pada saat itu. Dari sini, anak pun belajar bahwa tidak ada
kesalahan yang tidak bisa diperbaiki.
Satu lagi, meskipun kita bukan orang tua yang pemarah, anak
tetap berpotensi untuk marah-marah atau agresif lho, Mommies. Ini karena anak
pun mengalami fase dimana ia sedang belajar memahami emosinya, seperti senang,
sedih, marah, kecewa, panik, dan sebagainya. Disinilah peran kita sebagai orang
tua untuk memberi contoh bagaimana cara memproses emosi tersebut, karena anak yang
terbiasa mengenal dan mengendalikan emosinya tidak akan langsung “mengamuk”,
namun menggunakan waktu untuk berpikir “Ini emosi apa ya? Aku kenapa ya?”
Fiuhh…sedikit lega sih membaca penjelasan Mbak Tari di atas.
Setidaknya saya merasa masih ada kesempatan untuk mengenali emosi saya. Meskipun
demikian, ia menambahkan bahwa anak menyerap semua stimulus dari lingkungannya.
Belum tentu apa yang mereka serap akan langsung mereka tiru. Namun, ketika ada
suatu masalah atau situasi tertentu maka anak akan menggunakan informasi atau
pengalaman tadi untuk menyelesaikannya.
Ada sedikit tips tambahan yang saya dapat dari Timothy
Wibowo, seorang konsultan pendidikan di www.pendidikankarakter.com, yaitu cobalah
untuk melihat dari sudut pandang anak. Misalnya, jika kita menjadi anak,
mengapa asyik sekali bermain pasir yang kotor walau sudah mandi? Bisa jadi itu
merupakan barang baru bagi anak dan anak sedang belajar sesuatu disana,
sehingga dengan melihat dari sudut pandang yang berbeda kita bisa lebih sabar.
Oke, tampaknya saya siap memulai lembaran baru dalam
mengelola emosi saya. Hitung-hitung pemanasan sebelum memasukkannya ke dalam
resolusi tahun baru, hehe..
see the published version on http://mommiesdaily.com/2015/01/20/rkelepasan-marah-lagi/
see the published version on http://mommiesdaily.com/2015/01/20/rkelepasan-marah-lagi/
0 komentar:
Post a Comment