Sunday, November 10, 2019

Survey SD di Jogja Utara (Part 2: SDIT BIAS Palagan)


Post ini adalah bagian dari perjalanan saya mencarikan SD untuk si kakak. Baca review sebelumnya di sini.

Perkenalan saya dengan BIAS (Bina Anak Soleh) berawal pada tahun 2009 saat saya lulus kuliah dan tergiur dengan tawaran mengajar di sana. Sayang, calon guru diharuskan belajar di sekolah keguruan khusus jaringan BIAS, dengan membayar biaya layaknya kuliah.

Kini, 10 tahun berlalu dan BIAS sudah menjadi salah satu sekolah Islam terpadu yang cukup terkenal. Suami sempat mengajak si kakak melihat ke TKIT BIAS, waktu ia masih mogok di sekolah lamanya. Tapi, ia terlajur jatuh cinta dengan TK lain, haha.. Saya juga ragu memasukkan kakak ke BIAS waktu itu karena full day hingga jam 3 dan biayanya mahal.


Nah, sebagai rangkaian dari survey SD kemarin, akhirnya saya berhasil membujuk kakak untuk ke BIAS lagi, kebetulan bangunan TK jadi satu dengan SD. BIAS yang kami kunjungi adalah yang berada di Jalan Palagan, fyi. Saya tidak tahu mengapa kakak awalnya tidak mau mengunjungi BIAS. Padahal, dari video yang direkam oleh suami, ia tampak menikmati sesi pedekate ustadzah saat itu. Makanya, sewaktu kakak bilang “mau”, saya dan suami tidak ragu lagi untuk segera mengunjungi BIAS.
Bangkunya masih warna-warni, lho..
Saat berkunjung ke sana, ternyata sekolahnya mengingatkan saya akan sekolah alam tempat saya bekerja dulu dengan bangunan kayu semi terbuka dan berbagai hiasan yang membuat ruangan lebih berwarna. Kami disambut oleh seorang ustadzah yang menjelaskan sepintas mengenai aktivitas harian, kurikulum dan cara pengajaran, serta biaya. Si adek sibuk bermain dengan sejenis lego yang disediakan di ruang tamu, sementara si kakak yang tadinya keukeuh ga mau masuk menjadi tergoda ikut bermain.

Ruang kelas semi outdoor. Ini bagian belakang kelas, banyak mainan ya..
Salah satu statement yang saya suka dari ustadzahnya adalah, “Di sini anak nggak kerasa belajar. Kami memanfaatkan lingkungan sekitar untuk belajar, jadi kelas hanya seperti tempat singgah.” Saya pun mulai berdoa dalam hati semoga kakak mau sekolah di sini. Saya tahu, biayanya mahal. Tapi rasa senang anak ketika belajar akan membekas selamanya dan mempengaruhi persepsinya di kemudian hari tentang proses belajar itu sendiri.

Untuk uang masuk yang wajib dibayarkan sekitar 11 juta, ditambah dengan biaya seragam dan lain-lain menjadi 16 juta sekian kalau tidak salah. Nah, yang agak nyesek memang SPP nya yang mencapai 1,7 juta per bulan dan biaya tahunan 2,6 juta. Semoga dimudahkan rezekinya, aamiin.

Alhamdulillah, kami diperbolehkan untuk melihat-lihat ke dalam kelas dan sekolah. Ustadzah pun mendampingi sambil menjelaskan proses belajar yang biasa berlangsung di BIAS. Kalau tidak salah, untuk cabang Palagan baru sampai kelas 2 SD. Saya melihat kelasnya terang karena banyak jendela, tapi tidak panas karena banyak pohon dan sirkulasi udara bagus. Saat kami datang, kelas playgroup sedang belajar di selasar SD (murid SD sedang outing) sehingga atmosfernya teduh dan nyaman. 
Cuma memang kalau hujan, anak-anak terpaksa belajar di kelas saja. Gapapa lah ya, setidaknya setengah tahun bisa outdoor learning.

Perpustakaan 
Perpustakaannya memang nggak semewah SDIT Luqman Al Hakim, karena hanya sebuah rak di serambi (jika dapat disebut sebagai perpustakaan). Tapi saya suka buku-bukunya, hampir semua kisah Islami dan cerita nabi meski sudah lusuh. Tandanya, buku-buku tersebut sering dibaca, bukan sekadar pajangan. Tapi tetep yaa, harusnya ada pembaruan buku per tahun dalam jumlah signifikan. Kan, uang masuknya lumayan… (heyyy, belum jadi murid aja udah protes)

Nilai plus lain yang saya suka dari sekolah ini adalah masih adanya playground untuk siswa SD meskipun sharing dengan playgroup dan TK. Saya nggak bayangin kalau anak yang baru masuk SD, langsung full day tapi ga ada space yang layak buat bermain. Kan, SD kelas 1 masih masa transisi ya. Momen pertama akan selalu membekas, maka jadikanlah hal tersebut menyenangkan.

Ini pas terik. Di seberangnya ada kelas TK-PG, ayunan, pohon besar
Toilet
Apalagi yang memikat hati saya? Toilet. Yesss, saya memang orang yang lumayan picky soal toilet, walau kadarnya sudah jauh menurun sejak punya anak. Toilet di BIAS berjajar di ruang terbuka dan bersih. Kebetulan, kemarin lagi ada kelas yang praktek masuk kamar mandi (entah belajar wudhu atau adab masuk WC) dan ustadzahnya memimpin bacaan doa dengan anak-anak yang berbaris rapi di depan pintu toilet. Kalau musim hujan nanti, mungkin butuh payung kalau mau pipis, secara toilet merupakan bangunan yang terpisah dari kelas.

Baiklah, sekian review saya. Masih belum kepikir mau ke mana lagi setelah Luqman dan BIAS. Ada rekomendasi?


P.S: Tulisan ini juga sekaligus dimaksudkan untuk menyambut writing challenge dari Mbak Nikmah di grup watsap Antologi Gemar Rapi. Kata-kata yang dicetak tebal adalah bentuk tantangannya, yaitu dengan cara memasukkannya ke dalam tulisan.


Sunday, October 27, 2019

Survei SD di Jogja Utara (1): SDIT Luqman AL Hakim


Hai, kembali saya tergerak untuk berbagi mengenai pengalaman mencari sekolah untuk anak sulung saya. Kalau dua tahun lalu mencari TK, kini saatnya mencari SD untuknya, masih di daerah Jogja utara. Saya dan suami memutuskan untuk mencari SD swasta Islam dengan sejumlah pertimbangan, seperti kuatnya basic pendidikan agama untuk ke depannya, lingkungan pertemanan yang insya Alloh Islami, dan kualitas pendidik yang layak dijadikan role model, bukan sekadar penyampai ilmu.

Alhamdulilah, daerah Jogja utara alias Sleman berlimpah SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) yang memungkinkan kami untuk mengunjungi beberapa sekolah untuk mencari informasi.

Pilihan pertama jatuh pada SDIT Luqman Al Hakim Sleman (LH) yang berlokasi di Jalan Palagan Tentara Pelajar, tepat di sebelah Hotel Hyatt. Kenapa kami tertarik ke sini? Karena beberapa teman sudah menyekolahkan anak di LH dan mendapat kesan positif. Selentingan dari mulut ke mulut juga tidak ada berita miring, intinya berkualitas lah. Kelemahannya memang harganya mahal, tetapi tidak ada biaya daftar ulang setiap naik kelas. Lumayan kan ya, 2-3 jutaan dikali 5.

Oh iya, kalau tidak salah setahun lalu saya pernah mengunjungi booth SDIT LH di pameran pendidikan di Hartono Mall. Yang membuat saya tidak sreg hanya satu hal: gedongan banget. Maksudnya, maket dan brosur menunjukkan desain bangunan yang lux tapi full bangunan. Kurang hijau, kurang colorful… Saya mikir, apa nggak bosen ya anak saya 6 tahun dengan situasi flat gini, dengan target hafalan 10 juz hingga lulus kelas 6 nanti.

Nah, saatnya membuktikan benar tidaknya ambience tersebut.

So, minggu lalu kami mengunjungi SDIT LH. Bener sih, kaku banget suasananya. Apa mungkin saya terbiasa dengan pendidikan TK yang meriah, lalu ke sekolah alam yang super nyeni and out of the box, dan TK anak saya juga nggak kalah hijau dan nyeni.

Oke, itu satu hal saja yang membuat saya tidak sreg. Lalu, kami masuk ke bagian informasi dan diterima oleh seorang bapak yang menjelaskan tentang alur pendaftaran siswa baru, biayanya, sistem pendidikannya, ekskul, dll. Highlightnya adalah:

1. Uang pangkal minimal 22 juta, tapi juga ada pilihan 25 juta, 27 juta, dan nggak ada perbedaan di fasilitas. Jadi, kaya semacam infaq aja. SPP kok saya lupa ya... Kalau nggak 1,2 juta ya 1,4 juta..

2. Uang pangkal dicicil dua kali, lunas sebelum Desember 2020, minimal 13 juta dibayarkan setelah dinyatakan diterima. Ditambah seragam, buku paket, dll mungkin bisa sekitar 17 juta bayaran pertama.

3. Kelas putra dan putri dipisah. Untuk kelas satu SD tahun ini, ada dua kelas putra dan satu kelas putri dengan dua guru kelas, yaitu satu wali kelas dan satu guru agama untuk tahfidz mungkin ya. Saya agak lupa.

4. Makan siang disediakan di ruang makan semacam kantin prasmanan, dimana guru ikut makan bersama siswa, dan murid laki-laki dan perempuan dipisah. Setelah itu, mereka mencuci piring sendiri.

5. Masuk jam 7.15 dan pulang jam 14.00. Tapi, nanti awal masuk nggak langsung jam segini. Pulang jam 11 dulu.

Karena target hafalan yang 10 juz itu tadi, saya sempet keder donk secara kami ortunya aja juz 30 gak hapal. Kata ustadznya, nanti bisa disesuaikan kemampuan anak. Kalau gak salah sih sejauh ini sekitar 70%-80% capaian keberhasilan muridnya. Pak ustadz juga menawarkan kami untuk menengok ke dalam area sekolah, meskipun tidak diantar.


My favorite section: the cozy library
Nah, sekolahnya memang nggak luas dan memang bener beton banget. Di bagian luar pun nggak terlalu hijau. Ada lapangan di depan kelas tapi tidak terlalu luas dan hanya ada keran wudhu. Mungkin untuk wudhu anak kelas satu yang masih solat di kelas. Kelasnya cukup luas dengan dinding yang lumayan colorful karena display. Di deretan kelas, ada perpustakaan yang sangat cozy dengan karpet tebal dan AC, namun cara mendisplay buku ceritanya masih bisa diperbaiki agar anak-anak minat main ke sana.

Tidak banyak yang bisa dilihat, jadi tur selesai sampai disini. Situasi murid-murid cukup terkendali kalau saya lihat. Aman dan teratur.

Jadi, gimana? Anaknya sih nggak keliatan resisten. Saya cuma takut anaknya jenuh aja,,,atau ini hanya bisikan syaitan? Hehe…

Wednesday, July 10, 2019

Big Bad Wolf Book Sale Datang ke Jogja!


Finally! Big Bad Wolf Book Sale datang ke Jogja!


Alhamdulillah banget… Setelah sedikit deg-degan karena rumor BBW bakal ke Jogja sudah tersebar sejak awal tahun (dan saya mikir, mana mungkin…katanya butuh kota pelabuhan untuk membawa truk-truk berisi jutaan buku tersebut. Jogja kan nggak punya pelabuhan), ternyata kemarin akun Instagram resmi @bbwbooks_id sudah posting tentang BBW Jogja yang insya Alloh akan berlangsung dari 2-12 Agustus. Nampaknya, kontainer-kontainer tersebut berdiam di suatu tempat dulu biar bisa mengunjungi kota lain.

So, what to expect?

Ekspektasi saya, pengunjungnya beradab. Alasannya, Jogja kota pendidikan. Toko buku kecil aja masih hidup, perpustakaan kota always penuh, pameran buku sering banget, jadi buku bukan hal baru. So, make sense ya harapan saya.

Sebagai pemilik olshop buku anak dan pecinta buku, saya tidak pernah lepas memantau BBW sejak awal hadirnya di Indonesia. Awal BBW di Jakarta, buku berserakan. Sangat tidak manusiawi. Namun, penyelenggaraan di Jakarta tahun-tahun berikutnya, sudah aman. Saya datang sendiri (baca disini) dan tidak ada masalah dengan buku, selain juga sudah ada himbauan dari panitia untuk mengembalikan buku yang tidak jadi dibeli pada tempatnya. Cuma, BBW Jakarta yang Maret lalu aja ada jastip yang mengembalikan buku cancelan nya setumpuk brek di meja yang bukan kategorinya. Padahal kan, ada meja khusus untuk buku yang di cancel. Zzzz…sedih deh sama jastip model gini. Saya sendiri pernah buka jastip dan masih pake hati kalo memperlakukan buku.

Walaupun begitu, masih lebih brutal lagi di Bandung. Saya nitip sodara kesana. Antriannya panjang karena katanya venue nya kecil. Itu ga terlalu masalah sih, berarti animo masayarakat tinggi. Tapi….begitu saya video call untuk request buku di section Children’s Reference and Picture Books…semua udah campur baur dan banyak yang kondisinya udah nggak mulus layaknya buku obralan. Pengen nangis akutuuu… Entah ini pengunjung secara umum atau jastip, yang pasti saya cukup kecewa. Semoga di Jogja nggak brutal, apalagi sampe melempar buku kaya pas di BBW Surabaya (saya liat videonya yang sempat viral).

Ekspektasi kedua adalah tempatnya nyaman. Jogja Expo Center cukup besar untuk menghelat event sekelas BBW dan tempat solatnya nggak sejauh di ICE BSD. Mungkin juga nggak sedingin di ICE BSD. Parkiran luas dan toilet lumayan lah.

Kemudian, makanannya semoga ga semahal di Jakarta dan nggak usah pake kupon-kuponan segala. Di ICE BSD harga 45 ribu rata-rata. Buset dah. Tapi orang Jogja terkenal ngirit kok, hahaha… Apalagi mau buka jastip, mending bawa bekal yah. Minum yang banyak. Jangan sendirian kalo mau cari buku agak lama biar bisa gantian solat n pipis.

Semoga juga ada playground buat anak, nursing room, dan reading corner yang ada storytellernya kaya BBW Jakarta terakhir yang mengundang Brenda-nya Hello.Library.

Kemudian, semoga crew nya well informed. Most cases, crew nya nggak bener-bener tahu buku yang ditawarkan. At least, crew nya hafal buku ini belongs to section mana. Jadi nggak malah menyesatkan pengunjung. Bisa dibikin penanggung jawab per section kan, karena nggak mungkin juga ngapalin semua. Kalau bisa, dipilih orang yang emang ngerti buku. 

Sekian, mari pengiritan dulu biar Agustus bisa belanja buku dengan leluasa.

Tuesday, July 9, 2019

Survey TK BIAS, Al Azhar, Primagama



Keengganan si kakak untuk sekolah membawa saya (kembali) ke dalam perjalanan mencari TK di Jogja utara. Rencana awalnya sih, kami akan membawa kakak ke TK radius 1-2 km dari rumah dengan jam sekolah yang pendek. Sekolah lamanya menjadi jauh dari rumah karena kami pindah beberapa kilometer ke selatan, yang membuat jarak sekolah rumah yang tadinya 5 menit menjadi 20 menit. Kemudian, target sekolah yang kami incar adalah yang biayanya tidak mahal karena setahun lagi kakak harus masuk SD. Sayang uangnya kalau masuk TK premium.

Nah, targetnya adalah Mutiara Qurani non tahfidz (karena yg tahfidz masuknya 7 juta), Taruna AlQuran, TK-TK kecil model konvensional sekitar rumah yang jelas jamnya pendek. Sayangnya, Mutiara Qurani maksimal 5 tahun. Untuk usia kakak, adanya yang kelas tahfidz. Baik, coret.
Taruna AlQuran…melihat dari jauh kayanya kakak ga akan bisa langsung fall in love. Masalah selera aja sih, karena saya sendiri belum pernah dengar reviewnya. Psikolog anak yang kami datangi sebenarnya konsultan juga di Taruna, tapi entah kenapa kami tidak memutuskan untuk mencoba masuk. #kurangsholeh


#1: TKIT BIAS

Di hari pertama, karena si dedek bobok, akhirnya survey TK hanya berdua saja: kakak dan ayah. Sama ayah dibawa ke BIAS Palagan. Hello, ayah, itu out of our budget banget donk donk. Tapi ayahnya membela diri dengan mengungkapkan bahwa ia hanya ingin melihat reaksi si anak dan mengambil video sesuai arahan psikolog.


Di sana, kakak diajak ngobrol oleh seorang ustadzah sambil membaca buku. Jadi, sambil si ustadzah dan kakak membuka-buka buku dan membahas isinya, terselip pertanyaan-pertanyaan seputar keseharian kakak. Ustadzah ini juga pintar mendongeng, lho! Beliau menirukan suara nenek-nenek sambil berjalan membungkuk, hehe.. Anak saya lumayan bisa banyak bercerita jadinya. Aslinya, dia termasuk enggan menjawab pertanyaan dari orang tak dikenal, apalagi disuruh cium tangan..
Sayangnya, kegiatan belajar mengajar sudah berjalan sehingga kakak tidak berkesempatan masuk kelas.

Sepulang dari BIAS, saya tanya kakak suka enggak? Katanya enggak.
Kenapa? Karena nggak kenal temennya (yeee…kalo itu mah balik sekolah lama aja Nak…!)

Dulu saya pernah review TKIT BIAS di sini, termasuk biayanya. Mungkin sekarang ada kenaikan ya.

#2: KB – TK Islam Al Azhar

Eh, eh, eh…katanya nggak mau TK premium, kok malah ke Al Azhar? Ini merupakan hasil diskusi saya dan suami yang akhirnya membuat suami rela merogoh kocek asal anak enjoy sekolah. Karena masih dalam kategori dekat (yes, rumah kami dikelilingi banyak sekolah), kami pun meluncur ke sana di siang bolong. Tetapi, teriknya siang tidak mempengaruhi kenyamanan lingkungan kampus Al Azhar. Saya sebut kampus karena sekolahnya luas sekali dan sangat tertata, rimbun oleh pepohonan, dengan bangunan TK, SD, SMP, SMA yang saling bertetangga.


Kami pun bertanya tentang pendaftaran dan diarahkan oleh satpam untuk ke kantor. Di bagian informasi, kondisinya mengingatkan saya pada kantor guru sewaktu saya SD: meja kayu berlapis kaca, rak kaca berisi file, deretan piala. Guru yang menerima juga kaya guru SD (lha emang guru TK gimana? Maksud saya, tidak menyapa anak saya dan less friendly. Mungkin bukan guru kelas, I’m sure)

Kami pun tanya kuota TK B, dan sudah tidak ada kursi tersisa tahun ini. Alhamdulillah…hahah…soalnya uang masuknya 14 juta cyin…! Tapi memang sih, sekolahnya asri, bersih, rapi, playground nya ada dua dengan instalasi besi yang lumayan beragam. Saya juga suka karena banyak tanaman dan himbauan di tembok untuk menjaga kebersihan. Kakak dan adik sempat main sebentar di playground, kelihatan banget mereka senang. Karena jelas tidak bisa daftar, kami pun tidak melongok ke kelas.
Sewaktu ditanya, mau nggak sekolah disini? Kakak bilang, nggak mau! Dia nggak jawab alasannya kenapa..

#3: TK PG Primagama

Ini yang paling dekat dari rumah tapi premium juga. Sebenarnya saat itu saya ragu, apakah masih buka karena jam sudah menunjukkan pukul 14.30. Namun, ke Budi Mulia Dua sudah jelas tutup kalau mengingat jarak tempuh, walau saya penasaran juga dengan BMD. So, kami pun menyusuri ringroad dan naik ke Jalan Plemburan. Karena gedungnya sudah pindah dari Jalan Kalimantan, kami sedikit mencari-cari Jalan Sebatik dan akhirnya menemukan bangunan bercat hijau tingkat.
Saya masuk duluan untuk memastikan sekolahnya masih buka (dan ternyata masih ada dua guru yang bisa ditanya-tanya). FYI, saya pernah mengajar di sini jadi sedikit banyak punya gambaran tentang kurikulum dan kualitas pengajarnya. Lihat di sini reviewnya.


Kami pun disambut oleh Bunda Eni dan Bunda Leni, Kepala Sekolah. Nah, anak saya yang kecil langsung digendong walau menangis, kelihatan banget kepsek ini pasti sering pegang anak kecil. Akhirnya, mereka bermain di kolam bola dengan asyiknya (bukan yang bulet diisi bola ya, tapi seperti ruang berjaring ukuran 2x2 meter dengan tangga dan perosotan) sementara saya mengobrol di bagian informasi.

Saat ditawarkan untuk melihat kelas, kami pun ikut naik dan anak-anak langsung mengambil buku di rak. Sambil membaca, Bunda Leni mengajak kakak berbicara dan surprisingly kakak nggak terlihat malu-malu. Malah sempat berakting konyol, hehe.. Seneng banget dia kelihatan enjoy. Kebetulan sekali, ada Holiday Class selama 5 hari seharga Rp 250.000. Saya pikir, itung-itung trial class. Kalau cocok, bisa daftar kan. Kalau nggak cocok, kami nggak rugi bandar membayar sekian juta dan mogok seperti di sekolah lama.

Berapa duit? Masuknya 10 juta buibu #elusbukutabungan. Uang naik kelas di sekolah lama 3,2 juta. Tapi kalau bandingin keluar berapa, ngapain kita cari-cari sekolah? Wong tujuannya cari yang anaknya seneng kok.

Nah, hari-hari setelahnya, saya rutin bertanya ke kakak tentang kesan-kesan di tiap sekolah. Jawabannya, dia suka yang terakhir. Saya belum cerita tentang seragam (karena dia anti seragam, di sekolah lama menolak berseragam), itu kita urus belakangan. Saat saya konsultasi via watsap dengan psikolog, dia sudah menduga kakak akan memilih primagama di antara tiga TK tadi, karena beberapa klien beliau juga memilih TK ini karena gurunya diangap komunikatif.

Sekarang, saatnya pengiritan. Demi anak. Alhamdulillah bisa dicicil.




Monday, June 17, 2019

Influencer, "Artis"nya Generasi Z dan (Milenial Parents)



Saya memang bukan Gen Z yang tumbuh bersama gadget, namun saya merasa bahwa public figure yang saya perlakukan layaknya artis saat ini (sesuai definisi saat saya remaja dulu) adalah mereka-mereka yang beken di dunia maya. Mostly are influencers. Kalau menurut Google, influencer artinya orang-orang yang punya followers atau audience yang cukup banyak di social media dan mereka punya pengaruh kuat terhadap followers mereka, seperti artis, selebgram, blogger, youtuber, dsb. Jadi, artis juga termasuk ya sebenernya. Hanya saja, dalam tulisan saya kali ini, yang saya maksud adalah mereka yang murni orang biasa kemudian populer sehingga menjadi influencer.

Bedanya, kalau dulu saya ngefans sama artis itu karena fisiknya, sifatnya (yang ditangkap oleh publik), atau karyanya, sekarang lebih ke arah pemikirannya. Wajar lah ya, dulu kan orang tahu berita artis melalui media, jadi yang kita suka adalah image yang ditampilkan oleh media tersebut. 
Sekarang, orang bisa muncul sesuai image yang ingin mereka tampilkan. Ga ada perantaranya. Jadi, kita bisa memilih sosok mana yang kita kagumi. Mungkin juga dulu saya masih remaja, suka sama artis karena dia cantik dan ganteng, suara bagus, acting keren. Sekarang juga ada sih artis yang saya kagumi karena faktor tersebut, tapi biasanya nggak sampe nginfluence diri saya. Sekadar suka lihatnya aja.

Memang bisa ya nobody on social media influences your life? Bisa aja sih. Sebagai seorang ibu, pola pikir saya tentang ideal parenting banyak dipengaruhi oleh sejumlah mommygram (alias mommies on Instagram). Dulu banget, masa awal Instagram, saya suka Stella Sutjiadi yang menurut saya sabar, fun, kreatif, dan jujur. Lalu dengan algoritma IG yang saya nggak ngerti, ia mulai menghilang dan saya banyak lihat akun Grace Melia, yang menurut saya jujur, detil, meliputi banyak topik, kocak pula. Saya juga suka blog nya. Later, we became friends. Artis seperti Andien dan Enno Lerian juga sempat rutin saya lihat IG nya.

Seiring dengan makin solidnya prinsip saya dalam pengasuhan –dulu masih mencari-cari banget- sekarang yang muncul di feed IG sudah nggak terlalu banyak mommygram yang fokus ke masalah pengasuhan. I like Puty Puar, kreatif, kocak, suka buku juga, dan desainnya enak dilihat. Topiknya pun kekinian (aku tahu Adu Rayu juga dari sini, hehe). Kemudian, para zerowaster alias mereka yang mengangkat gaya hidup minim sampah di akunnya ternyata lumayan membuat feed IG saya banyak iklan lingkungannya, seperti DKWardhani dan Icha-nya @lesswastehousewife.

Nah, influencer paling baru yang saya lagi suka lihat adalah Gitasav alias Gita Savitri Devi. Bukan lewat IG, melainkan YouTube. Ketemunya pun nggak sengaja, gara-gara lagi browsing pas bikin artikel, trus nyangkut ke IDN Times yang ngebahas tentang 10 Youtuber yang layak follow, and she’s the first on the list. Sukanya dengan vlog Gitasav adalah selain enak dilihat, topiknya juga lumayan refreshing untuk rutinitas kerumahtanggan saya. Kuliah di Jerman, kunjungan ke Google, cukup membuat saya merasa muda kembali hahah…sama ya kaya pas lihat video Maudy Ayunda dan kegalauan kampusnya. (baca di post ini)

Trus, pas minggu lalu ke Gramedia, ternyata Gitasav punya buku Rentang Kisah. Bagus juga tulisannya, nggak jauh dengan tulisan di blognya. Ntar deh di post terpisah, insya Alloh. Berarti makin banyak yang dari sosmed turun ke buku kan ya, and it’s something to applaud.   

So, mereka-mereka para influencer ini benar-benar memberi pengaruh pada hidup para followers nya kah? Buat saya, iya sih walau sedikit. Mungkin bagi mereka yang die hard fans bisa jadi lebih besar pengaruhnya. Yang penting, kita punya prinsip dan tahu mana yang layak diikuti, mana yang harus dieliminasi. The choice is yours to make them merely as entertainers, inspiration, or role models.


Sunday, May 19, 2019

Bukuku Sayang, Harus Berkurang



Jujur, proses decluttering buku merupakan salah satu tahap bebenah KonMari yang saya lakukan dengan waktu paling cepat. Berbeda dengan proses menyortir baju yang perlu banyak pertimbangan,  saya bisa dengan cepat memilih buku yang tidak lagi sparks joy dan rela melepaskannya. Buku saya tapi ya… bukan buku anak, haha.. Meski sudah robek sana sini maupun anak nggak pernah tertarik, saya menganut prinsip bahwa selera anak akan berubah seiring dengan usia dan kemampuan baru yang ia kuasai. Jadi, daripada menyesal kemudian, saya pertahankan semua buku anak. Toh, jumlahnya hanya sepersekian total buku saya dan suami.

Karena prosesnya cepat, saya melakukan proses sorting tanpa melalui kategori. Most of our books are located in the living room, beberapa di kamar tidur untuk bedtime stories, dan sekitar 15an buku di storage room. Buku yang ini adalah buku yang saya beli di Gramedia Warehouse Sale dan Mizan Out of The Boox dan masih disegel. Ada juga sih yang sudah saya buka, tapi belum tuntas membacanya. 

Jadi, saat decluttering, saya hanya perlu memiringkan kepala mengikuti posisi penyimpanan buku secara vertikal, dan mengambil yang kira-kira sudah tidak ingin saya baca lagi ataupun tidak lagi memiliki nilai informasi di kemudian hari, seperti novel.

Setiap buku di rumah sudah memiliki tempat, hanya saja sudah pas. Jika menambah 5 buku lagi misalnya, harus ada yang mengalah dan keluar dari rak buku, walaupun suami memberi sinyal we-definitely-need-a-new-bookshelf, hahhah..

Prinsip decluttering yang saya gunakan di posisi pertama adalah rapi dan teratur. Saya sempat berdebat sedikit dengan suami masalah ini. Buatnya, tidak masalah meletakkan buku yang tidak muat secara horizontal di atas deretan susunan buku vertikal. For me, it’s a big no no. Karena itu saya sodorkan beberapa buku yang jarang ia baca dan merupakan gift dari konpers atau seminar, suami pun memilih beberapa untuk direlakan.


Prinsip berikutnya adalah aman. Ini saya berlakukan khususnya untuk buku anak premium nan mulus yang saya letakkan di lemari kaca. Jadi, anak butuh effort lebih untuk mengambilnya meskipun sekarang saya sudah tidak terlalu heboh jika si kecil mendzolimi buku-buku tersebut. Dulunya, saya selalu meletakkan buku yang mahal ini di atas rak buku. Karena makin lama buku yang eman-eman kalau rusak ini makin banyak (dan tidak indah dipandang, berdebu pula), saya pun memindahkannya ke lemari kaca di saf paling bawah agar tetap accessible bagi anak-anak.

Dalam proses organizing, buku saya simpan berdasar kepemilikan. Milik suami di rak partisi ruangan bersama milik anak di saf terbawah. Milik saya berada di lemari kaca beserta buku premium anak dan sebagian buku suami. Alasannya, suami sering mengakses buku randomly and frequently jadi lebih mudah rasanya jika ia tidak harus buka tutup pintu kaca. Selain itu, setiap buku kami saya tata berdasar kategori yaitu parenting, fiksi, mothering stories, teaching stories, kesehatan, biografi, olahraga, agama, komik, bahasa, komunikasi, dan majalah.

Dengan penataan demikian, saya dapat mempertahankan kebiasaan mengeluarmasukkan buku dengan mudah, semudah menemukannya.

Eh tapi, kalau dipikir-pikir, rak bukunya beneran udah nggak muat deh…soalnya ada tiga kategori baru dalam penyimpanan buku: BBW, GramedSale, MizanSale, hahaha..ketauan nih saya n suami bookworm yang menjurus ke Tsundoku. Tapi semoga bukan hoarder yah. Buktinya, minggu lalu saya decluttering buku masa remaja saya di rumah ortu dan alhamdulillah bisa mendonasikan buku-buku tersebut (lebih dari 20kg!) dengan ikhlas. I only saved less than 5 books, yeayy! Sebelum saya donasikan, saya tawarkan di grup preloved dan olshop saya. Lumayan. laku 5 buku. Motivasinya, saya tidak ingin membuat koleksi buku saya berjamur karena terlalu disayang sampai harus diumpetin di lemari, seperti saat saya SD dulu. Dan, tentang masalah hisab, saya juga terpikir untuk membuka peminjaman buku online walau masih bingung bagaimana sistemnya kelak.

Buku yang di preloved lanjut donasi
Jadi, sukses nggak nih ya decluttering bukunya? Kalau lihat dari segi jumlah, jelas tidak sukses ya hahaha… Tapi, inti decluttering kan menghilangkan clutter alias hal yang membuat kita tidak nyaman, bikin suntuk, mood jelek karena berantakan. Nah, buku-buku saya ini berfungsi sebaliknya: soothing corner where I find my happiness and fulfillment. Surga dunia saya lah!

Hikmah dari decluttering buku ini adalah, saya jadi mudah memahami mengapa ibu saya terus menerus membeli tas-pakaian-sepatu seolah tidak pernah cukup. Padahal yang dipakai juga itu-itu saja. Saya pun beli buku seolah tidak pernah cukup, padahal 90% buku tidak saya baca ulang. Because I found happiness when I read books, when I bought them, and when I own them. At least, ilmu dalam buku tak lekang waktu, tak tergerus siklus layaknya fashion items, dan bisa membuat kita lebih berdaya. Bokek itu hanya sementara, khususnya habis BBW. Hahaha…


Tuesday, May 7, 2019

Ramadhan Kali Ini: Less Anger, Less Sugar, Less Gadget



Alhamdulillah, tahun ini masih diberi usia panjang hingga bisa bertemu dengan Ramadhan lagi. Entah mengapa, satu-dua minggu sebelumnya, saya sudah tidak sabar merasakan 30 hari indahnya bulan suci. Kata-katanya klise banget ya, haha… 

I mean it. Dulu, nggak pernah saya ngerasain Ramadhan itu indah, yang ada nunggu lebarannya aja. The celebration, new dress, food, and stuff. Lalu kemudian berhijrah, dan merasakan privilege untuk genjot ibadah habis-habisan karena belum menikah dan beranak pinak. Sempat mencoba i’tikaf di masjid juga dan setelah ada anak mari kita ibadah di rumah saja..pahalanya alhamdulillah sama kok.

Saat-saat awal punya anak, Ramadhan tidak terlalu terasa greget, karena nggak bisa tarawih di masjid, nggak kuat puasa karena menyusui. Kalau tidak salah, saya bayar fidyah sampai 3x Ramadhan deh. Lalu setelah tahu bahwa kita tetap harus mengganti puasa selagi masih sehat dan mampu, bayar fidyah saya stop. Tahun-tahun berikutnya saya back to work, puasa ngajar TK di sekolah alam yang luasnya hektaran itu lumayan rasanya, dan excitement saya berganti ke mudik. Rasanya nggak sabar nunggu akhir Ramadhan karena pengen ketemu orang tua dan saudara. Tarawih pada masa ini dikuat-kuatin banget karena capek pulang kerja. Kalau wiken bisa gantian tarawih di masjid sama suami sih, tapi agak kurang sreg dengan cara solat yang ngebut, hehe..

Nah, dua tahun terakhir di Jogja ini lah yang saya kembali merasakan nyawa dari Ramadhan itu sendiri. Khususnya, setelah si bungsu lahir. Alasannya saya temukan saat Ramadhan tahun lalu hampir berakhir: saya lebih jarang marah. Jujur saja, love and hate relationship saya dengan si sulung dimulai menjelang adiknya lahir hingga setahun kemudian (atau mungkin lebih). Kalau ingat masa itu, rasanya menyesal. Otak reptil saya aktif banget, huhu… Makanya sewaktu Ramadhan, emosi bisa lebih terkendali.

Tahun ini, misi utama yang sama kembali saya usung: menahan amarah. Meskipun I control my anger better than last year, tapi tetap saja ada letupan-letupan emosi yang saya sendiri masih belum bisa menyalurkannya dengan cara yang lebih nggak painful.

Second mission-nya adalah: menahan makan berlebihan. Lho, kamu kan kurus? Masa mau diet? Diet makan makanan yang toxic buat tubuh, itu maksud saya. Meskipun underweight, konsumsi makanan bergula tinggi saya lumayan. Sudah baca buku clean eating dan food combining, masih belum maksimal saya mengubah pola makan. I could’ve eaten better, for a better life. Dengan puasa, kerasa banget saya nyemilin biskuit jadi jarang. Di depan laptop juga lebih minim distraksi, because I am a chewing-while-working type of writer. Ketika buka puasa, sebanyak-banyaknya saya makan, tetap saja tidak bisa sebanyak pada saat saya tidak puasa. Yang saya makan pun mostly makanan berat, bukan cemilan unfaedah yang banyak menyisakan sampah sachet. So, I feel satisfied and happy with this holy month.

Third mission (yang mungkin banyak orang juga pengen lakuin): gadget detox. Sering nggak sih, kita ngerasa seharian kok gak accomplish anything and the answer was too much scrolling? Walau saya merasa my screen time is nothing compared to my husband (ya iyalah dia orang media, kerjaannya di hape #alasandia), masih ada keinginan untuk membuat 24 jam saya itu hitungan pahalanya berat. Kita nggak tau mati kapan, jangan sampai alasan yang kita kemukakan kok nggak ngaji, cari ilmu, menghafal Quran adalah karena: main hape. Aduduh…

Jadi, Ramadhan ini saya membuat Ramadhan Tracker, terinspirasi oleh @byputy yang ilustrasi trackernya kiyut abis (kiyut!!!), I made my own with different target. Semoga saja tahun ini, setiap hari di bulan Ramadhan terasa memuaskan dan berfaedah, dan kebiasaan baik yang susah payah dibangun bulan ini bisa bertahan di bulan-bulan berikutnya, atau selamanya. Aamiin…


Sunday, May 5, 2019

Bebenah Pakaian, Begini Praktiknya!


Bye Kitchen!

Setelah dua mingguan bebenah dapur, now we’re moving to the closet…! Enggak closet doank sih benernya, karena setelah dicermati, yang tercakup dalam bebenah kategori pakaian itu termasuk juga aksesoris, tas, sepatu, seprai dan sejawatnya. Huhuu…banyak banget ya. Karena itulah _honestly_ saya belum selesai decluttering kategori ini. But I’m going to answer the questions anyway.

Lipat ala KonMari. Mencegah pakai baju itu-itu saja.
Proses decluttering
Saya memisahkan pakaian yang dipakai sehari-hari dengan yang jarang dipakai (hari khusus). Alasannya, lemari saya berupa lemari plastik Napoli empat pintu, sharing dengan suami. Lemari anak berupa laci plastik empat tingkat serta rak buku kayu Olympic tiga tingkat. So, baju khusus akhirnya saya taruh di storage box. Apa saja baju khusus itu? Baju kondangan, baju formal non busui (saya masih proses menyapih), jaket, baju renang. Sisanya adalah sprei, selimut, bed cover, korden, tas. Merekalah penghuni kontainer plastik. Namun, dua minggu lalu akhirnya saya membeli gantungan baju single untuk menggantung gamis-gamis saya. Beberapa kali saya kesulitan mencari pakaian resmi untuk acara keluarga dan kondangan karena mereka ngumpet di peti. Setelah dikeluarkan pun baunya apek plastik. Jadi, Alhamdulillah sekarang pakaian licin nan agak luxurious tersebut bisa bernapas, hehe..

Kalau sepatu, saya masih simpan dengan boksnya. They’re not exactly on their original boxes, banyak yang sudah saya kombinasi khususnya sepatu anak. Satu boks dewasa bisa untuk dua pasang sepatu si bungsu. Total, saya hanya punya rak sepatu plastic tiga tingkat, namun saf paling atas tumpuk dua boks plus sepatu yang sering dipakai (tanpa boks).

Tentang tas, ada dua lokasi, yaitu container dan rak besi. Yang di container rasanya tidak pernah dipakai, akhirnya kemarin saya jual di preloved group tapi belum ada yang minat. Yang di rak besi pun demikian, terjual satu saja. Insya Alloh ramadhan nanti saya sertakan di bakti sosial sekolah anak. Agak kaget juga sih ternyata saya punya banyak tas, tapi karena alasan sentimental jadi disimpan aja. Banyak juga tas freebies yang didapat suami dari konferensi pers. Saya sudah memutuskan untuk hanya menyimpan 40% nya.

Aksesoris? Hanya satu laci kecil di meja rias. Isi beberapa bros jilbab, jepit rambut, peniti. Kalau jilbab, sudah direlakan beberapa saja, karena saya hanya punya satu wadah sepatu gantung bahan plastik yang memuat sekitar 20 jilbab.

Kalau soal prinsip RASA (Rapi nyAman Sehat Alami) dalam proses decluttering kategori pakaian, yang paling utama adalah rapinya. Meski cara melipat pakaian saya dan suami masih tumpuk vertikal, tapi pakaian anak sudah 30% model konmari karena lemari model laci. Tas di rak besi pun saya jejer rapi. Sepatu di rak juga rapi. Yang di teras yang kadang masih berantakan karena anak masih belajar merapikan. Kalau prinsip nyaman dipakai dan sehat, rata-rata setiap pakaian yang saya beli sudah memenuhi unsur itu sehingga frekuensi pemakaian lebih banyak dipakai sebagai bahan pertimbangan. Memenuhi unsur alami dan berkelanjutan, ada dua daster yang saya jadikan korden dapur, kemudian celana anak yang pinggangnya melar hampir saya buang tapi akhirnya saya putuskan untuk membetulkan karet pinggang di vermak jeans (karena kalau didonasikan nggak terlalu pantas, padahal bahannya pewe). Sisa pakaian dalam saya jadikan lap, namun belum semuanya saya potong. Masih saya letakkan di kardus.

Oh ya, saya melakukan decluttering tidak dengan cara menumpuk semua di tengah…jadi masih berdasar lokasi. Alasannya, anak saya masih sering interupsi. Lihat gundukan pakaian bisa buat berenang ntar, hahah…lagipula, saya bisa cut sewaktu-waktu anak membutuhkan saya, tanpa harus meninggalkan lokasi pertempuran.

Proses organizing
Semua pakaian sisa decluttering yang akan didonasikan sudah saya masukkan ke dalam dua kardus, terlipat baik, hanya saja kategorinya masih tercampur antara pakaian pria wanita anak. Batasan waktu donasi adalah hari ke 10 ramadhan.

Dilema seorang pelanggan laundry ;p

Label storage box hasil kolaborasi dengan anak
Pakaian yang masih digunakan saya simpan seperti cerita di atas. Kemudian seprai yang sering digunakan saya letakkan di container tanpa tutup karena sering sekali ganti. Selimut saya masukkan plastik ex laundry dan saya letakkan di storage box karton berlapis kain serta di kontainer plastik.
Oh ya, karena saya hanya mencuci pakaian anak bungsu saya dan sisanya masuk laundry, saya punya tugas tambahan saat memasukkan pakaian ke lemari, yaitu menyesuaikan lebar lipatan pakaian. Laundry nya agak labil, kadang lipatannya standar, kadang super lebar…jadinya, saya sering melipat ulang. Tapi kalau lebar sekali, saya lipat dua. Takes time banget kalo semua dibongkar. Tapi kalau nggak sempet banget, saya tumpuk apa adanya walau jadi nggak lurus rapi. Yang penting nggak lecek.

Yasss! Selesai sudah cerita declutteringnya. Yang belum selesai malah prosesnya, hahaha.. Mari kita lanjutkan pilah pilihnya ya.


P.S: Post ini adalah bagian dari tugas kelas online Gemari Pratama

Wednesday, April 24, 2019

Decluttering Dapur Part 2


Setelah bebenah kulkas
Alhamdulillah, saya cukup puas dengan kondisi kulkas saya karena tidak terlalu penuh, baik sebelum dibersihkan maupun setelahnya. Jika mengacu pada teori penyimpanan makanan di kulkas, yang perlu dievaluasi hanya memasukkan tomat saja, haha.. Lalu, saya juga menghindari meletakkan rimpang dan daun bumbu di kulkas. Sementara ini masih di pantry, mau coba cuci bersih lanjut freezer.

Karena saya di rumah, food prep saya tidak terlalu heboh. Belanja sayur seminggu 2-3 kali, belanja daging seminggu sekali yang langsung dicuci lanjut Tupperware masuk freezer. Jadi habis belanja, sayur langsung masuk laci kulkas. Sejauh ini makanan jarang ada yg kebuang. Yang sering kebuang biasanya cabe/tomat/bumbu dapur yang sudah busuk di laci kulkas. Leftover food biasanya maksimal habis dalam dua hari, kecuali makanan yg tidak difavoritkan seisi rumah dan berupa pemberian.
Kalau masalah anggaran sudah sesuai, Alhamdulillah. Prinsip saya belanja sayur ga banyak-banyak karena cepet layu. Mending nggak ada lauk bisa beli, daripada ngebuang makanan. Rasanya guilty. Kalau daging sih prinsipnya sebaliknya: beli sebanyaknya, biar ga bolak balik ke pasar. Sekalian capek, sekalian kotor.
Atas: kiri gelas tamu, tengah bumbu instan, kanan tumbler
Bawah: kiri blender, tengah kursi anak, kanan isi perlengkapan makan jarang pakai
Setelah bebenah pantry
Kalau masalah pantry, Alhamdulillah libur panjang pemilu kemarin berhasil menuntaskan decluttering dapur. Rata-rata yang dieliminasi adalah bumbu instan yang sudah menggumpal atau kadaluwarsa. Banyak juga sambal sachet sisa take away, saya cuci dan saya simpan di wadah terpisah. Wadah penyimpanan stok makanan instan semacam mie dan bumbu saya perbesar dan perbarui (tetap dengan boks sisa makanan arisan yang masih bersih). So far, evaluasi hanya di sambal sachet saja. Sisanya sudah sesuai kebutuhan.

Tambahan, saya jatuh cinta dengan eco enzyme! Seriusss, kinclong banget hasilnya. Saya pernah pakai Mr.Muscle, tapi ada seperti residu yang membuat saya paranoid, nanti kalau masuk ke makanan toxic gak ya? So, I will always use this homemade cleaner. Saya buat di botol air mineral ukuran besar, baru saya pakai seperlimanya. 


Counter bawah kompor (atas kotor, bawah setelah dibersihkan dgn eco enzyme)
Kebiasaan baik yang akan dilakukan
Setelah bebenah dapur, kebiasaan yang harus saya lakukan dengan disiplin adalah:

Harian: membersihkan counter, kompor, dan tepi sink. Dulu, saya males banget. Akhirnya kotoran numpuk, sisa keperluan memasak jadi berantakan, dan bikin males ke dapur. Untuk sampah organik, saya buang ke rumah mertua 1-2 hari sekali karena di sana ada ayam. Lap kotor, saya cuci 1-2 hari sekali. Lap kering dicuci kalau sudah kotor.

Mingguan:
A. Memilah sampah anorganik. Setelah saya cek isi tong sampah kering, ternyata isinya adalah sachet jajanan anak, huhuhu… Si kecil yang picky eater dan underweight ini sering saya kasi biskuit, tapi banyak juga yang dari event ultah (lagi banyak nih) dan Sari Roti. Kenapa targetnya adalah dipilah mingguan, karena I still don’t know where to discard them! Ga ada yg mau nerima sampah sachet. Ecobrick saya berisi guntingan ujung sachet (saat dibuka), foil kemasan obat, segel AMDK. Kalau sachetnya..ga sangguppp…banyak banget…

B. Sortir isi kulkas. Biasanya titik terkotor adalah laci penyimpanan sayur, esp rontokan bayam or kangkung. Semoga istiqomah nyuci laci kulkas.  

Bulanan: Deep cleaning kulkas dan pantry. Kalau pantry, sumber kotorannya biasanya debu di tepi dan bawah rak piring, cipratan minyak di bawah kompor, dan juga area penyimpanan yang sudah mulai berantakan karena ada barang yg tidak pada tempatnya.

Baiklah, sekian cerita (tidak) singkat tentang dapur saya. Never thought cleaning a kitchen could be this detailed, categorized, and challenging. Dibutuhkan kedisiplinan agar dapur tetap cantik dan bersih seperti di Instagram, hahah…

P.S : Post ini merupakan tugas dari @gemarrapi

Saturday, April 20, 2019

Sexy Killers: A Post Election Note



Nyesek. Belum pernah rasanya saya menonton film dokumenter sampai mewek-mewek begini. Adalah Sexy Killers, sebuah film dokumenter tentang bisnis batubara di Indonesia yang membuat saya cukup berurai air mata.

Well, maybe I took it too personally
. Ngeliat ibu yang kehilangan anak karena tenggelam di bekas galian tambang, saya nangis. Membayangkan jika anak tersebut adalah anak saya. Ngeliat petani yang mau ke sawah nggak bisa karena sudah dipagari, dan mereka nggak dikasi ganti rugi, saya nangis lagi. Membayangkan teriakan mereka tidak akan bisa melawan kedzoliman. Ngeliat penderita kanker saluran nafas yang akhirnya meninggal akibat udara yang dihirupnya tercemar PLTU, saya nangis juga. Membayangkan ada ketidakadilan yang menjadi penyebab orang harus terikat dengan obat-obatan seumur hidup itu…saya mengerti sekali rasanya, because it happens in my family. Rasanya powerless. Ujian keikhlasan.

Tapi puncaknya, ketika semua sosok di belakang konglomerasi tambang batubara dimunculkan, dan semua berkaitan, itu rasanya seperti dihianati. Apalagi saya menyelesaikan menonton film ini setelah saya memberikan hak pilih saya dalam pilpres. I wish I didn’t choose one of them. Sekarang saya mengerti mengapa film ini dituduh mengajak orang untuk golput. Because after watching this, we knew that these guys are actors in environmental degradation.

Saya juga penikmat listrik yang dihasilkan oleh industri batubara, saya tidak mengelak. I don’t have any choice on how to protect the environment unless to use the electricity more responsibly. Tetapi mereka yang menjalankan dan menguasai bisnis ini tentu saja memiliki pilihan untuk bagaimana pay back ke lingkungan sesuai hati nurani dan undang-undang. Sayangnya, hati nurani tersebut nampaknya sudah tertutupi oleh sesuatu, you know what.

Lalu, setelah kumpulan rasa kecewa itu datang, I was pulled back into reality. Memang kenyataannya seperti ini, ya Indonesia itu seperti ini. Ketidakadilan itu ada dimana-mana. So do what you can, never stop praying although we’re lucky enough to have life like this. Berdoalah semoga hidup kita berkah, tidak ada tetes darah dan airmata orang lain di sana. Semoga para caleg yang terpilih bisa membawa perubahan, bukan malah terbawa pusaran. Kawan-kawan yang berhati bersih, jika kelak terpilih, semoga bisa kerja tanpa pamrih.

Satu pelajaran utama dari Sexy Killers: jangan mendewakan sosok, Bung! They’re humans. Bersiaplah kecewa jika kita menggantungkan harapan pada seseorang, karena hanya Alloh lah tempat bergantung.



Sunday, April 14, 2019

Mengajak Anak ke Museum Cokelat



Saya penggemar coklat, tapi baru kali ini saya ke museum coklat. Bukan, bukan di Swiss atau negara Eropa lain yang identik dengan oleh-oleh coklatnya, tapi di Jogja. Kaget? Saya juga. Besar di sini kok nggak tau kalau Jogja ternyata punya museum coklat, ya? Ternyata, Museum Coklat Monggo ini baru berdiri awal tahun 2017 meskipun coklatnya sendiri sudah diproduksi sejak tahun 2005.

Awalnya, saya mendaftarkan Aksa (5 tahun) untuk mengikuti playdate yang diadakan oleh Apple Kids Jogja, EO Playdate besutan teman semasa kuliah dulu. Agenda dalam playdate tersebut adalah mengunjungi Museum Coklat Monggo, photo session dengan atribut chef, dan yang paling ditunggu: praktek membuat coklat! Yeayy..!

Lokasinya sekitar setengah jam dari tengah kota, tetapi sampai disana saya langsung takjub karena bangunannya unik dengan mural yang Instagrammable. Musholla bernuansa jawa dengan bedug berada satu lokasi dengan toilet yang tidak kalah cantik. Setelah opening di selasar belakang museum, anak-anak diarahkan masuk museum. Alhamdulillah adem, hahah.. Soalnya saat kami ke sana, hawanya sedang terik luar biasa.



Tur di dalam museum dipandu oleh mbak guide yang menurut saya cocok untuk anak-anak: suaranya lantang, ramah, tanpa kehilangan intonasi bercerita. Saat memasuki museum, kami disuguhi foto-foto orang di balik layar Cokelat Monggo dalam pose belepotan coklat, termasuk Thierry sang pendiri. Etalase berisi berbagai macam cetakan cokelat dan biji cokelat pun menyambut kami di depan pintu masuk. Ada cokelat berbentuk ayam segala lho! Jadi inget coklat ayam jago waktu kecil dulu…

Masuk ke dalam, kita bisa membaca informasi tentang produksi kakao di Indonesia dan DIY dalam bentuk lukisan dinding yang cantik. Tahu kan, Indonesia penghasil kakao terbesar ketiga di dunia?
Di bagian selanjutnya, terdapat penjelasan sejarah coklat di dunia beserta diorama. Guide memandu anak-anak untuk menghitung bersama gambar 30 biji kakao yang harganya pada masa Aztec setara dengan seekor kelinci, karena itu coklat dianggap sebagai barang mewah. Ada juga alat pembuat minuman coklat pada jaman dulu serta etalase berisi berbagai macam jenis cokelat dari zaman dahulu.


Di bagian tengah, terdapat display dengan setting perkebunan coklat dilengkapi dengan biji kakao serta alat panennya. Buat anak-anak yang belum bisa membaca, hal ini seru karena bisa sambil memegang display. Selanjutnya adalah proses pembuatan coklat, dari masih berbentuk biji hingga menjadi coklat siap cetak.

Nah, informasi paling penting yang saya dapat dari kunjungan ini adalah tentang jenis coklat. Kenapa ada coklat yang mengandung vitamin dan mineral tapi ada juga coklat yang bisa bikin batuk? Ternyata kuncinya ada pada kandungan lemak tambahannya. Jajanan coklat yang murah biasanya sudah tidak mengandung padatan coklat lagi, namun hanya mentega coklat yang ditambah minyak nabati dari kelapa sawit dan gula. Termasuk di dalamnya biskuit dan kudapan dengan lapisan coklat. Sementara dark chocolate dengan kandungan kakao 58% lah yang masih mempertahankan mineral penting tersebut, meskipun sudah ditambah gula. Makanya, harganya lebih mahal hehe..


Selesai berkunjung ke museum, anak-anak diajak memakai apron dan topi chef ala chocolatier alias koki pembuat coklat. Setelah itu, acara pungkasan adalah membuat coklat di showroom coklat. Ada meja besar, spuit berisi coklat leleh, tray, dan topping kacang serta dried fruit. Meskipun hanya dipandu seorang chocolatier, anak-anak sukses membuat kepingan coklat dengan topping yang kemudian mereka bawa pulang setelah mengeras. Di showroom ini pula dijual berbagai macam coklat dari yang harganya belasan ribu hingga ratusan ribu. Tidak kalah cantik dengan coklat negeri empat musim, lho!


Oh ya, selain museum dan showroom, ada pula café di sisi kanan pintu masuk. Menunya andalannya adalah hot chocolate 58%. Smoking area terletak di sudut luar museum, terpisah dengan café bernuansa jawa. Plus point nya, café ini memiliki sudut dolanan anak, mulai dari egrang, angklung, bakiak, sampai gasing. Gak akan mati gaya deh kalau ajak anak ke sini.




Yang jelas, for me it’s a must visit one kalau liburan ke Jogja. Museumnya kecil dan tidak membosankan, cocok untuk anak-anak yang nggak betah serius berlama-lama.