Ketika saya memutuskan untuk kembali bekerja, salah satu hal
yang menjadi pertimbangan adalah emosi yang mudah tersulut ketika saya 24 jam
berada di rumah. Memang benar, ketika saya sudah memiliki kegiatan di luar
rumah, saya lebih mudah menghadapi anak saya dengan sabar. Tentu saja karena
saya merasa waktu saya jauh berkurang dengannya, sehingga sepulang kerja dan
harus menjadi quality time bagi kami berdua.
Entah apa yang berubah dari kesadaran saya di atas, kini
saya kembali mudah marah. Bentuknya berbeda dari yang dahulu. Kalau yang dulu,
saya bisa “meledak” karena menahan rasa kesal lalu mendadak menangis karena
menyesal. Sekarang, saya cenderung mudah mengomel. It’s not as shocking as yelling for my son, but it last longer and
annoying, haha.. Ia mungkin kebal
kalau saya mengomel, jadi setiap bentuk larangan tidak diresponnya seperti
dahulu. Bisa jadi karena anak saya mulai memasuki usia 2-3 tahun yang kata
orang memang lagi susah-susahnya diatur, atau juga karena saya mulai merasakan
workload yang banyak di sekolah. Ibadah saya jadi tidak khusyuk dan berkurang,
sehingga hati juga kurang “adem”.
So, ketika momen libur sekolah datang, saya sangat senang.
Berlibur berdua bersama Aksa ke kampung halaman bisa mengurangi penat saya dan
otomatis amarah saya pun berkurang. Ternyata yang terjadi tidak demikian.
Beberapa kali saya sempat emosi hanya karena hal sederhana, seperti Aksa
mengompol (ia sebenarnya sudah lulus toilet training, tetapi proses menyapih
membuatnya ngompol lagi), tidak mau makan, memukul kepala saya, dan sebagainya.
Akhirnya, ibu mertua saya pun menegur saya untuk tidak
memarahinya. Padahal menurut saya, yang saya lakukan hanya memberitahu anak
saya dengan tegas. Hal itu ditangkap sebagai amarah oleh ibu karena mungkin
nada yang saya gunakan tinggi, dan keluarga suami memang keluarga yang hampir
tidak pernah marah (they tend to keep silent if they’re angry). Saya ceritakan
hal itu kepada adik saya, and surprisingly she said so! Adik saya ini
sekeluarga paling temperamental dan saya kira standar kemarahannya jauh lebih
tinggi dari saya, tetapi ia melihat saya memang terlalu mudah marah ke Aksa. So, it’s time to evaluate.
Saat saya mulai bebenah diri untuk sebisa mungkin menahan
amarah, dan merapal-rapal kalimat “he just doesn’t understand yet” anak saya
mulai menunjukkan perubahan perilaku:
sedikit saja saya menunjukkan nada melarang, ia akan mulai menjerit dan
memukul saya. Ia juga menolak bujukan dan ajakan orang tuanya dengan kata
“enggak” namun nadanya persis seperti nada saya ketika menolaknya. Duh, hati
saya langsung menangis. Saya merasa memetik buah amarah yang selama ini saya
tunjukkan di depannya. Anak saya mengadopsi cara saya untuk menunjukkan
emosinya.
Sedih? Pasti. Kemudian tadi pagi saya menemukan judul thread
menarik di discussion forum theurbanmama.com, “Bagaimana Melatih Sabar”.
Langsung saya klik dan saya baca dari page 1 yang ternyata post dari tahun
2012. Saya memang belum selesai membacanya, tetapi kurang lebih kesimpulannya
adalah ujian kesabaran ini dihadapi oleh setiap mama di luar sana. Alhamdulillah
saya seperti mendapat pencerahan di penghujung tahun ini. Merasa mendapat
banyak teman seperjuangan dan juga mengetahui bahwa hampir semuanya merasa it’s not okay to get angry to your child
easily. Semua mama pasti ingin menjadi sosok yang sabar, lembut, dan bisa
dicontoh oleh anak-anaknya dan hal tersebut membutuhkan konsistensi dan
kesabaran. Oya, juga support dari pasangan.
Sudah pasti, bersikap bijak dalam menghadapi perilaku anak
akan menjadi resolusi utama saya di tahun 2016. Tarik napas, ingat-ingat bahwa
Aksa belum paham apa yang dilakukannya, hindari nada tinggi (because he won’t get our message), kalau
masih emosi juga pindah ruangan untuk menenangkan diri. Good luck for me!
Sebagai kalimat penutup, saya ambil dari blog zataligouw: Mothers are Angels in
Training. Setuju?